Fabian,

*postingan ini dibuat dalam rangka program Hear & Write

Note from author :

Kisah Nila dan Bian ini merupakan potongan dari ide plot besar yang masih dalam proses penulisan. Ceritanya, suatu hari saya sedang mendengarkan lagu We Don’t Talk Anymore gubahan Charlie Puth & Selena Gomez dan entah kenapa saya teringat pada Nila dan Bian. Rasanya tidak sabar untuk berbagi barang sedikit mengenai kisah 2 tokoh tersebut. Selamat menikmati, semoga suka 🙂

Fabian,

by : Rainy Amanda

I just heard you found the one you’ve been looking

You’ve been looking for

I wish I would have known that wasn’t me

(We Don’t Talk Anymore – Charlie Puth)

Sebising apapun duniaku, kamu selalu ada, Bian.

Dentum musik menyalurkan gemanya ke tubuhku. Sesekali sinar laser berkedip menari-nari di tengah ruangan temaram. Bartender menyodorkan gelas kaca berleher tinggi ke hadapanku, menyunggingkan senyum dan berkomentar satu-dua hal remeh. Aku menyesap sedikit minuman yang kupesan, sebelum memberi jawaban yang kupastikan sesuai dengan apa yang pria itu tanyakan.

Tidak, aku belum mabuk, Bian. Alkohol pertamaku malam ini masih kunikmati perlahan. Ini bukan sekali aku memaksakan konsentrasi. Bukan sekali aku berharap untuk melunakkan perasaan di tempat ini. Dan bukan sekali pula aku bertarung hasrat diri untuk berbicara denganmu lagi.

Aku tersenyum tipis. Merasakan kehangatan yang lamat-lamat merambat. Biasanya setelah ini aku akan memesan gelas kedua, ketiga, sampai aku tak peduli untuk menghitung lagi. Mungkin aku akan menikmati suasana di tengah lantai dansa. Mungkin juga aku akan terbangun di pelukan seseorang yang baru kukenal esok pagi.

Sesungguhnya, aku tak tahu apa yang benar-benar kuinginkan, Bian. Apakah dengan begini aku berharap untuk dapat membisikkan namamu tanpa merasakan perih di dadaku lagi? Ataukah aku justru ingin mematikan rasaku supaya aku bisa berbicara lagi denganmu tanpa ada di antara kita yang merasa terbebani? Aku sendiri tak mengerti.

Terdorong jenuh, aku merogoh clutch hitam milikku. Jariku mengambang di atas layar sentuh– mungkin karena alkohol, karena sesaat aku ragu dengan password ponselku sendiri. Namun itu semua hanya berlangsung selama sepersekian detik, sesudahnya aku sadar bahwa aku memang menggunakan tanggal ulang tahunmu sebagai kata kunci. Bukan berarti apa-apa. Hanya karena itu adalah kode yang sama yang kugunakan bertahun-tahun lamanya.

Beberapa sentuhan pada layar kemudian, aku membaca ulang pesan singkat yang dikirimkan padaku tadi sore. Kabar bahwa kau akan bertunangan.

Mendadak, suara-suara di sekitarku terasa samar. Aku seakan tenggelam, meresapi kalimat demi kalimat yang ditujukan Silvi padaku. Kakak perempuanku itu memiliki kebiasaan menyingkat-nyingkat kata, bukan sekali salah paham terjadi karena hobi anehnya itu. Kali ini pun aku berusaha meneliti ulang tanda baca dan makna, mencari-cari apakah ada ambigu atau salah persepsi dari info yang diberikannya. Lama aku mencoba, dan akhirnya aku harus menerima. Kau memang berencana untuk mengikat janji akhir minggu ini.

Lalu, apa jadinya janji kita, Bian? Apakah waktu telah melunturkan semua kenanganmu akan kita? Apakah benar kau tak lagi ingin bersamaku? Apa salahku? Bencikah kau padaku? Akankah kau menjawab berbeda saat kutanyakan semua ini lagi padamu?

“Ini demi kebaikan semua orang, Nila. Demi kamu. Demi keluarga kita. Lupakan semuanya.”

Kau bilang ini semua untukku? Tapi mengapa hanya aku yang merasa dirugikan di sini? Apa hanya aku yang patah hati? Mengapa kau bisa dengan mudahnya menjalani hidup, bahkan berniat untuk menikahi perempuan lain? Bagaimana denganku? Bagaimana aku harus bersikap supaya aku bisa menerima semuanya?

Berkali-kali aku menghubungimu, namun kau tak kunjung memberi respons. Untuk alasan yang tidak kumengerti, si Bartender kembali mengusikku. Mulutnya bergerak-gerak, seperti ikan kehabisan napas. Perutku hangat, meletup-letup, seakan ada yang menyalakan kembang api dalam rongga tubuhku. Suara-suara yang sebelumnya timbul-tenggelam berubah bising, kemudian kembali menjadi dengungan-dengungan menyebalkan.

Sesuatu menyentuh sebelah lenganku, menyulut frustrasi. Kutepis sentuhan itu dengan kasar, namun tak lama sensasi itu kembali menggangguku. Dengan seluruh tenaga yang tersisa, aku menaikkan pandangan, tatapanku bertemu dengan pria aneh bercelemek dengan jambul bergulung tinggi seperti ombak.

Pantai. Kapan kau akan membawaku ke sana, Bian?

Sebuah kotak bercahaya muncul di depan hidungku. Benda asing itu bergetar berisik dengan sebuah foto muncul di tengahnya. Itu kau, Bian. Aku pun melonjak girang. Rupanya sedari tadi si Bartender berusaha memberitahu bahwa ponselku mendapat panggilan, apa daya aku sudah terlalu mabuk untuk menangkap pembicaraan secara penuh dan sadar.

“Nila.”

Nostalgia membanjiriku, menenggelamkanku dengan bayangan suaramu. Caramu memanggilku masih sama. Pasif dan tegas, tanpa koma.

“Bian…” sapaku tanpa bisa menahan senyum.

Tak ada respons darimu selama beberapa detik sesudahnya. Namun aku seakan bisa mendengar getar kehadiranmu, dan aku ingin menikmati itu lebih lama.

“Dimana? Biar aku suruh orang jemput kamu,” ujarmu memecah sunyi di antara kita.

“Kamu inget gak kita pernah kabur ke pantai? Yang ada rumah biru di ujungnya… waktu itu tanganku luka kena beling. Inget gak, Bian?”

“Ada orang di dekat kamu? Teman kamu? Biar aku bicara.”

“Waktu itu kan… sehari sebelum aku UN SMP, bukan? Kita beli hiasan kerang gak penting itu….” Aku tergelak, mengundang Bian untuk ikut menikmati kenangan, tak peduli dengan reaksinya yang kelewat dingin. Sudah biasa. Aku hanya ingin mencoba. Aku hanya ingin mengetuk tembok itu sekali lagi. Berharap Bian berubah pikiran dan kembali meruntuhkannya untukku—seperti dulu.

“Aku gak ada waktu untuk ini, Nila.”

Aku tersenyum miris. Letupan kembang api yang beberapa waktu kurasakan bertalu-talu dalam tubuhku mendadak padam. Frustrasi. Hanya itu yang bersisa pada diriku saat ini.

“Kamu cuma pengecut yang gak berani muncul di hadapanku.”

“Nila.”

“Mana janji kamu, Bian? Mana janji kamu yang katanya gak akan pernah ninggalin aku, yang katanya gak akan pernah nikah sama siapapun selain aku? Mana?! Bullshit!”

Hening. Kutempelkan ponselku lebih lekat dengan telinga, tak ingin kehilangan respons darimu, walah hanya sepatah kata.

“Kak Silvi yang beritahu kamu?” tanyanya kemudian, membuatku kembali membuka suara dengan terburu-buru. Terlalu banyak yang ingin kuungkapkan. Terlalu banyak kegundahan yang ingin kubagi.

“Kita harus ketemu. Kita harus bicara. Aku… aku butuh tahu apa salahku, Bian. Bertahun-tahun kamu biarin aku gitu, aja. Aku butuh tahu kenapa kamu berubah. Aku—”

“Aku gak harus menjelaskan apapun ke kamu, Nila.”

Ngeri merayapiku. Sesering apapun penolakan kau hunuskan padaku, rasanya tetap seperti ini, Bian. Aku telah kehilanganmu berkali-kali dan rasa takutnya masih tetap membayangiku sampai detik ini.

“Aku gak akan tinggal diam. Aku gak akan biarkan kamu pergi.”

“Nila.”

“Aku ini sudah telanjur menjadi aib keluarga, Bian. Apa bedanya kalau aku membuka satu-dua skandal lagi? Biar nama Damarhadi semakin tenar. Biar semua orang paham. Pasti ada jalan untuk kita.”

“JANGAN BEGO, Nila!”

Gertakan Bian membuatku semakin histeris. Aku bahkan sudah tak peduli dengan si pria Bartender yang terlihat menatapku dengan cukup intens. Aku berdiri, siap memuntahkan bukti nyaliku, namun Bian berhasil membawa nalarku kembali berpijak.

“Ingat Kak Silvi. Ingat Kak Tika. Ingat keluarganya. Anak-anaknya. Ingat mendiang ayah kamu. Kamu mempertaruhkan mereka demi ego kamu?!”

Aku menelan ludah. Tenggorokanku tercekat. Dengan segera, aku menegakkan tubuh, kemudian berjalan menjauhi meja bar. Beberapa kali pundakku bersenggolan dengan pengunjung lainnya. Seseorang bahkan berusaha memeluk pinggangku, namun aku tak mengacuhkan itu semua. Aku tetap bergerak menuju lokasi yang lebih sepi. Aku pun tak mengerti, tubuhku otomatis mencari tempat sembunyi.

Tak lama setelah aku menemukan sudut kosong di arah menuju toilet, Bian kembali bersuara. “Aku tanya sekali lagi kamu dimana? Kamu mabuk, Nila. Aku mau kamu segera pulang dan dinginkan kepala.”

“Kita ini cuma saudara tiri, Bian. Seberapa besar dosa yang harus kita tanggung supaya kita bisa bersama?”

“Nila…”

“Kamu tahu aku butuh kamu. Kamu tahu, itu. Kamu tahu, Bian. Jadi aku mohon, aku mohon sekali sama kamu. Aku ingin kita kayak dulu. Aku mau kamu kembali jadi Bian-ku yang dulu. Yang gak peduli dengan anggapan orang. Yang ada buat aku.”

Tak ada respons. Beberapa detik kemudian, panggilan terputus. Suara dentum musik kembali mengisi pendengaranku. Alkohol kembali memenuhi indera perasa dan penciumanku. Namun, duniaku tidak kembali berputar seperti beberapa saat yang lalu—kurasa suaramu kali ini berhasil menjadi sedikit penawar akan diriku yang mabuk dengan segala hal tentang dirimu.

Aku rindu padamu, Bian. Aku setengah mati merindukanmu. Lagi-lagi aku tak sempat mengatakan dua hal itu padamu.

Sakit. Pedih karena penolakanmu mencengkeram setiap sisi jiwaku. Namun itu lebih baik daripada tak lagi bisa merasakan kehadiranmu di duniaku.

Sebising apapun duniaku, kamu selalu ada, Bian.

———–

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *