Sang Penari
Perempuan itu berjinjit tanpa alas kaki. Suara derap tap-tap-tap terdengar setiap ujung jari kaki perempuan itu menyentuh lantai. Perempuan itu sedang menari.
Perempuan itu berjinjit tanpa alas kaki. Suara derap tap-tap-tap terdengar setiap ujung jari kaki perempuan itu menyentuh lantai. Perempuan itu sedang menari.
Hampir semua kisah di dalam foto-foto koleksi nenekku tersebut biasa saja. Tentang orang biasa dengan hidup yang biasa dan meninggalkan dunia dengan cara biasa. Tak banyak tragedi di dalamnya.
Kau jangan takut
Aku punya rencana
Kau jangan takut
Walau semua masih ada di kepala
Dari mana sebaiknya kita mulai saling menjelaskan?
Ataukah lebih baik kita sudahi diskusi ini, memaksa titik, meregang jeda, agar kita bisa berhenti saling mencari?
Ingatkan aku lagi.
Kisah tentang parkit kuning milikmu, yang suatu hari bersamanya kita mengadakan pesta minum teh.
Kau bernyanyi di pagi hari. Di tengah kegiatan memanggang roti dan menyeduh kopi. Kau menari di hadapan putrimu yang baru genap berumur tiga bulan sepuluh hari.
Aku tahu pasti atasan apa yang akan kau kenakan hari itu.
Kemeja bahan flanel bercorak kotak-kotak biru, dengan garis ungu, hijau, dan putih tipis yang saling bersilang siku.
“Maaf, ya.”
Kumundurkan posisi dudukku, kemudian kurapatkan kedua kakiku menyamping ke kiri. Dua sosok berjalan melewatiku. Wajahnya tak bisa kukenali karena suasana yang gelap. Bahan celana jeans yang dikenakan oleh salah satu dari mereka menggesek lututku, membuatku semakin kesal.
Perutku terasa geli. Jantungku berdegup menyenangkan. Rasanya seperti kasmaran untuk pertama kalinya, tapi bedanya aku tak sedang jatuh cinta dengan siapapun.