Sebelumnya perlu saya garisbawahi bahwa tidak semua kuliner Medan menghabiskan kocek alias mahal, tapi ini yang saya rasakan selama di sana selama kurang lebih 4 hari 3 malam.
Medan pusat kuliner besar di nusantara. Butuh menjejakkan kaki dan melihat langsung, untuk akhirnya saya benar-benar menyadari fakta tersebut benar adanya.
5 hal yang saya ingat setelah sibuk melanglang buana ke sana ke mari demi mencicipi kuliner Medan:
- Kuliner Medan yang sudah terkenal biasanya mahal harganya, menurut saya bisa 2 kali standar harga rata-rata menu yang sama di Jakarta. Kadang mereka menaikkan harga bukan di menu utama, tapi di sepiring nasi harga 13 ribu atau teh tawar, jadi harap menyiapkan mental saja.
- Di antara semua yang termahal, Chinese Food ada di level teratas, tapi yang satu ini juga merupakan yang terlezat
- Medan punya kebiasaan unik menggabungkan antara daging merah atau ayam dengan hidangan laut. Contohnya sop medan ayam dengan kerupuk udang, atau mie sop sapi dengan sate kerang.
- Restoran di Medan yang sudah terkenal jarang yang menyediakan menu lengkap dengan harga, beberapa juga tidak bisa ditemukan di Grab Food ataupun Gofood. Jadi kalau sedikit takut harganya ditembak mahal di kasir, silakan coba cek harga di review terbaru orang-orang di Google atau portal kuliner lainnya
- Di Medan, kita juga bisa memesan makanan penjual lain untuk dimakan di resto yang berbeda. Contohnya memesan dari gerobak sate padang di depan resto bakmi. Nanti bisa dibayarkan sekaligus di kasir, tapi biasanya ada harga tambahannya. Hitung-hitung sewa.
Terus terang ada sedikit rasa kecewa saat kenyamanan untuk melihat menu dan membeli berdasar harga itu tidak ada. Jadinya beberapa kali saat membayar di kasir, rasanya sedikit ragu saat mendengar harga yang harus dibayarkan.
Tapi karena petualangan kuliner di Kota Medan sudah lama saya tunggu-tunggu, saya tetap mengunjungi setiap resto, kedai, dan pusat kuliner dalam daftar yang sudah saya susun.
Setelah dicicipi, harus saya akui beberapa memang rasanya seperti karya seni. Mungkin memang pengalaman dan citarasa sudah seharusnya termasuk di dalam harga.
Soto Udang Kesawan dan Soto Sinar Pagi
Keduanya merupakan variasi Soto Medan: Soto Udang Kesawan dan Soto Sinar Pagi.
Soto Udang Kesawan merupakan salah satu kuliner Medan yang ada pada daftar teratas yang ingin saya kunjungi. Saya merasa sebuah hidangan berkuah dengan udang sebagai bintang utamanya akan sangat unik. Rasanya tidak sabar untuk mencoba.
Itu mengapa, di hari pertama saya menginjakkan kaki di Medan, setelah saya check in guest house, saya segera meluncur ke Jalan Ahmad Yani di daerah Kesawan, Medan.
Di sanalah, di seberang Museum Tjong A Fie, ada sebuah ruko sempit dengan gaya tua bertuliskan Soto Udang Kesawan. Di pelataran depannya ada gerobak kecil yang menjual roti prata dan kari ala India.
Sayangnya, saat saya memesan, udangnya sudah habis, dan yang bisa mereka hidangkan hanya Soto Sapi dan Soto Ayam. Karena perut sudah lapar setelah hampir 6 jam sibuk terbang dan mengurus kedatangan ke Medan, saya dan teman pun mengangguk setuju. Masing-masing dari kami memesan seporsi Soto Ayam.
Tak lama, hadirlah sepiring nasi, sambal hijau berminyak dengan aroma khas yang tidak begitu pedas, dan semangkuk soto dengan kuah kuning tua pekat berisi perkedel dan ayam.
Rasa sotonya sedikit hambar untuk lidah saya, tapi memang ada aroma udang di sana. Hanya asin yang membuat saya rindu umami atau sedikit kecap manis.
Intinya, hati saya sedikit kecewa mencicipi Soto Udang Kesawan yang harganya 28rb (tapi saya masi tidak rela), tapi hal itu tidak membuat saya putus asa untuk mencicipi rekomendasi Soto Medan lainnya di restoran Soto Sinar Pagi.
Saya datang ke restoran Sinar Pagi keesokan harinya, tepatnya hari Minggu pagi. Begitu bangun dan saat perut sudah keroncongan minta diisi, saya segera memesan grab ride untuk mengantar saya ke Rumah Makan Sinar Pagi di Jalan Sei Deli.
Restorannya tepat di pinggir jalan besar dengan ruko-ruko yang menjual elektronik hingga apotik. Toko lainnya masih tutup tapi Rumah Makan Sinar Pagi sudah penuh pengunjung.
Tak ada pintu, hanya dua gerobak yang menjadi pembatas pintu masuk-keluar. Satu gerobak menjual Soto Medan, gerobak lainnya menjual Nasi Gurih. Banyak orang-orang berjaket hijau mengantri, membelikan makanan untuk pembeli yang nyaman di rumah maupun hotel masing-masing. Pembeli lainnya berdesakan di ruangan berkipas angin, duduk di antara meja kayu, menunggu pesanan datang.
Saat ditanya pesan apa, saya hanya bilang soto satu porsi. Lalu saya memilih duduk di satu-satunya meja kosong di tengah ruangan. Suasana riuh seperti pasar. Pembeli berebut kursi, pelayan meneriakkan pesanan dan informasi ke pelayan lainnya.
Tak lama, datanglah seporsi nasi, beserta 2 perkedel, sambal, rempeyek udang, dan semangkuk soto dengan kuah kuning tua.
Kali ini isiannya lebih banyak daripada Soto Udang Kesawan, rasanya pun lebih tegas, namun tetap saja ada yang kurang berkesan untuk lidah saya.
Yang saya ingat justru rempeyek udangnya yang lebih mirip keripik karena tepungnya lebih tebal namun tetap renyah.
Baru saya selesai meletakkan sendok dan menyelesaikan makan, sudah ada pengunjung lain menyambar kursi di hadapan saya, tanpa bicara meminta saya untuk beranjak pergi.
Maka dengan terburu-buru saya berjalan ke kasir untuk membayar. Seperti yang sudah-sudah, saya masih terkejut-kejut saat mendengar harga yang disebutkan oleh kasir. Harganya 55rb, cukup membuat saya sedih. Tapi bolehlah, perkedel dan rempeyek udangnya enak.
Saya rasa, Soto Sinar Pagi masih tetap bukan yang akan membuat saya rindu, tapi saya cukup senang bisa merasakan citarasa Soto Medan di Kota Medan.
Bihun Bebek Atak dan Bihun Bebek Asie Kumango
Setelah menonton dan membaca Aruna dan Lidahnya karya Laksmi Pamuntjak, saya sudah begitu penasaran dengan hidangan Bihun Bebek ala Medan. Jarang sekali saya bisa menemukan gabungan bebek, bihun, dan kari di Jakarta, jadi saya merasa Bihun Bebek adalah salah satu hal yang unik tentang Medan.
Dan itu mengapa saya harus mencicipinya.
Sebenarnya, Kari Bihun Bebek yang diulas di novel Aruna dan Lidahnya kemungkinan besar bisa saya cicipi di Rumah Makan Tabona, tapi saya lebih penasaran dengan Bihun Bebek dengan kuah dan sawi hijau, tanpa kari.
Maka, di malam pertama saya di Medan, tepat di malam minggu, saya bertandang ke Jalan Selat Panjang alias Jalan Semarang yang merupakan pusat kuliner tionghoa kota Medan. Jalannya cukup luas, bahkan masih cukup lengang meskipun sisi kiri dan kanannya sudah dipenuhi oleh gerobak dan kursi meja plastik. Bayangkan Pusat Kuliner Jalan Sabang Jakarta, tapi dengan situasi yang lebih santai dan lebih lengang.
Saya dan teman saya berjalan2 melihat gerobak dan restoran satu-persatu. Ada penjual Popiah Medan, ada restoran Mie Tiong Shim yang ramai, ada gerobak Bakuteh, Mie Udang, hingga Ular dan Biawak goreng (saya tidak mencoba, mungkin lain kali). Ada juga beberapa gerobak Sate Padang dan Martabak Piring yang dipadati pembeli.
Saya berputar-putar dan pilihan saya jatuh pada Bihun Bebek Atak yang sebenarnya sudah saya lirik sejak awal saya menjejakkan kaki di Jalan Semarang.
Satu hal yang paling saya ingat adalah taburan seledri dan minyak bawang di atas bihun putih dan daging bebek yang lembut. Lalu sambalnya yang asam dan unik, juga kuahnya yang berwarna coklat bening dengan rasa rempah yang kuat (ternyata namanya herbal broth).
Saya cukup bahagia mencicipi Bihun Bebek Atak seharga 50rb, tapi setelah saya mencicipi Bihun Bebek Asie 4 hari kemudian, hati saya langsung goyah.
Bihun Bebek Asie di Jalan Kumango sudah berdiri sejak 1967. Bumbu bihunnya lebih terasa. Daging bebeknya lembut dan banyak, lebih banyak dari porsi Atak. Tapi di atas semuanya, kuah Bihun Bebek Asie adalah juaranya. Kuahnya berwarna putih susu, dengan rasa gurih asin yang mengingatkan saya akan rasa Ayam Goreng Berkah di Blok M. Saya tidak tahu kenapa.
Ternyata setelah saya googling demi menulis post ini, kuah Bihun Bebek Asie memang terkenal di antara penggemar bihun bebek Medan. Konon, kuah itu berasal dari konsentrat bebek yang direbus dan dijual. Saya masih berpikir kenapa warnanya bisa putih. Mungkinkah sumsum tulang?
Ah pokoknya luar biasa.
Harganya lebih mahal dari Atak, tapi rasanya memang sepadan. Kedai Bihun Bebek Asie pun tidak buka setiap saat. Hanya Senin-Sabtu dari jam 8-11 pagi. Hari Minggu libur. Harganya 70rb 1 porsi, belum termasuk minum.
Kalau suatu hari saya berkesempatan datang kembali ke Medan, saya berharap bisa kembali merasakan kuah Bihun Bebek Asie Kumango Medan.
Sate Padang Andesra dan Gulai Ikan Kakap Pondok Gurih
Tak lengkap pergi ke Medan kalau tidak mencicipi kuliner Padangnya. Gulai, kari, dan rendang memang cukup dekat dengan budaya Melayu, jadi saat ditawari untuk mencoba, saya tidak ragu.
Sate Padang Andesra saya temukan tanpa sengaja. Ceritanya, pada hari ke-2 saya di Medan, 2 teman seperjalanan, Kak Dwi dan Nisa, setuju bertemu untuk makan malam bersama. Mereka ber-2 baru tiba setelah berlibur 2 hari di Samosir. Karena esok hari kami akan berlibur bersama dalam satu grup menuju Tangkahan, jadilah kami bertemu lebih cepat. Hitung-hitung curi start mencari teman agar merasa aman.
Kami sepakat untuk mencoba Kwetiauw Ateng di Jalan S. Parman. Saat menunggu pesanan kwetiauw, teman saya, Kak Dwi, berusul untuk memesan dari gerobak sate padang di depan restoran. Kami bertanya pada pelayan resto Kwetiauw Ateng apakah boleh jika kami membawa makanan lain ke dalam restoran. Karena boleh, akhirnya kami memesan 1 porsi sate padang isi 10 tusuk yang merupakan kombinasi sapi dan ayam.
Ternyata, sate padangnya berkesan. Bumbunya berwarna coklat terang dan kental meski bukan karena tepung. Ada bumbu yang berbeda dari yang biasa saya rasakan di Jakarta, membuat ketagihan. Dagingnya pun tidak pelit, tebal dan empuk. Kami bertiga begitu terpesona, hingga saat kami tahu seporsi sate padang tersebut dibanrol seharga 55 ribu, kami sedikit kesal, tapi somehow dalam hati tahu mengapa.
Saat keluar dari resto, saya baru tahu namanya Sate Padang Andesra. Gerobaknya sebenarnya tidak hanya ada di S. Parman. Kalau nanti kalian melihat, jangan lupa mencoba.
Kuliner Padang kedua yang saya coba selama di Medan Kota adalah Gulai Ikan Kakap Rumah Makan Pondok Gurih dekat Istana Maimun Medan.
Nah, kuliner kali ini merupakan rekomendasi dari penanggung jawab trip Tangkahan saya, Fadli. Dia bilang, ada suatu hari dia lapar lalu dia lihat ada restoran padang ramai dipenuhi driver Gofood dan Grabfood. Dia pikir pasti enak, dan dia mencoba.
Dan ternyata menurutnya memang enak. Ikan kembung bakarnya.
Hanya saja, saat saya tiba, plang restoran ini memajang kata Spesialis Gulai Kepala Ikan Kakap. Jadilah saya penasaran. Saya coba lirik di antara meja-meja pengunjung yang memadati resto, ada beberapa meja yang sedang menyantap semangkuk besar gulai kepala ikan kakap. Benar-benar besar, seperti porsi 4 orang.
Maka saya melobi teman-teman saya (pria-pria berbadan bongsor) untuk mencicipi. Kami ber-4 setuju untuk membeli Gulai Kepala Ikan Kakap seharga 155rb untuk diganyang bersama. Saya pesan nasi setengah porsi, teman-teman saya pesan nasi sayur yang porsinya besar sekali tapi habis juga oleh mereka.
Sayang, tak lama pelayan datang dan mengabari kalau Gulai Kepala Ikan Kakap sudah tak tersedia lagi, jadi kami terpaksa memesan menu lain. Maka saya mencoba saya Gulai Kakap kecil seharga 23rb, hanya bagian kecil dari perut kakap. Dan rasanya memang enak sekali.
Santannya tidak membuat pusing, rasanya gurih manis. Daging kakapnya lembut. Pokoknya lezat. Teman-teman saya yang tetap ingin mencicipi meskipun mereka sudah memesan rendang juga bilang bahwa rasanya enak.
Semoga suatu hari, saya benar-benar bisa datang kembali ke Rumah Makan Pondok Gurih dan mencoba Gulai Kepala Ikan Kakapnya.
Mie Hokkien Seafood Hock Seng & Mie Sop Methodist
Ada momen di mana saya mencoba memesan makan siang via GoFood, demi bisa menikmati situasi guest house Roemah 28 di jalan Sei Selayang yang memang sangat cozy. Lagipula siang itu hujan, jadi saya memilih bergelung di kamar dengan selimut sambil menunggu lunch datang.
Pilihan saya jatuh pada Bakmi Hock Seng di Jalan Bangka, Medan. Yang mana sebenarnya cabangnya konon sudah ada juga di Kelapa Gading, Jakarta.
Setelah memesan porsi kecil yang paling murah (50rb, plus ongkir dan lain2 jadi 70rb T-T), tak lama pesanan saya pun datang. Yang menarik perhatian saya adalah sepotong daging ikan semacam dori di antara bakso dan udang, juga mi dan bihun berwarna kecoklatan yang lezat. Tidak terlalu asin, enak sekali.
Kuliner lainnya yang ingin saya coba saat datang ke Medan adalah Mie Sop Methodist di Jalan Hang Tuah. Tapi akhirnya saya menemukan warung ini tanpa sengaja. Ternyata kedainya merupakan kaki lima, di pertigaan jalan dekat Warung Kudeta yang populer di kalangan anak muda Medan.
Saat melihat, saya langsung ingin coba. Jadilah saya memesan semangkuk berdua teman saya. Kami setuju untuk memesan miesop hanya daging sapi, tanpa jeroan. Setelah datang, bentuknya mengingatkan saya akan bihun bakso di Jakarta, lengkap dengan toge, hanya saja ada banyak potongan daging sapi di atasnya.
Rasanya sedikit mengecewakan, hanya asin, hampir tanpa umami. Tapi Mie sop ini disajikan dengan 3 tusuk sate kerang manis yang menyenangkan. Mungkin memang harusnya mie sop dimakan sesuap bergantian dengan sate kerang agar rasanya lengkap.
Tidak terlalu berkesan, tapi membuka mata saya betapa Medan begitu akrab dengan bihun, lebih akrab dari Jakarta. Seporsi miesop yang saya pesan kala itu dihargai 50rb.
Lupis Bu Lubis & Es Krim Rumah Makan Tip Top
Selalu ada tempat untuk dessert!
Saat saya bertandang ke Medan, salah satu yang ingin saya coba adalah Lupis. Kebetulan, setengah darah saya adalah Melayu. Ayah saya orang Melayu Deli, bapak ibunya, yaitu kakek nenek saya, katanya berasal dari Binjai dan Medan.
Saya ingat, saat Lebaran sewaktu nenek masih hidup dulu, sering sekali kami disuguhi lupis dan roti jala. Saya yang kurang suka kari pada waktu itu, lebih suka makan roti jala ditaburi gula.
Makanya, saat ke Medan, saya ingin mencicipi setidaknya sekali saja Lupis dan Roti Jala di Medan.
Tapi ternyata setelah saya berputar-putar di Medan, saya hanya menemukan 1 tempat yang menjual keduanya. Gerobak Bu Lubis di depan Lapangan Merdeka. Dan biasanya ada kala pagi. Kalau libur, ramai dikunjungi remaja yang habis olahraga.
Saya cukup senang mencicipi Lupis tersebut. Sebenarnya saya memesan roti jala juga, sayangnya sudah langsung dicampur dengan kari ayam dan sudah agak dingin. Tapi Lupisnya cukup membuat saya bernostalgia.
Dessert ke-2 yang juga sudah dipromosikan oleh tante saya yang memang dibesarkan di Medan adalah Rumah Makan Tip Top di depan Museum Tjong A Fie. Saya sebenarnya sudah sering melewati selama di Medan, tapi baru sempat mampir di hari terakhir bersama teman-teman.
Karena perut kenyang setelah makan gulai kakap, kami memutuskan untuk memesan berbagai macam es krim. Satu porsinya seharga 35 ribu. Kami memesan berbagai nama, tapi yang berkesan untuk saya adalah es krim Javan dan MoorKoop.
Javan bentuknya seperti tahu goreng berwarna coklat, terbuat dari rum dan moka.
Moorkop adalah es krim vanilla yang ditumpuk dengan cake coklat dan saus coklat mirip susu kental manis.
Rumah Makan Tip Top memang terkenal dengan es krim, cake, juga beberapa sajian westernnya. Es krimnya mengingatkan saya akan tekstur es krim rumah makan Ragusa di Jakarta. Tidak terlalu creamy, sedikit mirip sorbet.
Kala itu, hati saya tercuri oleh Javan yang kental rasa kopinya 😀
Berikutnya: Jalan Pagaruyung, Lontong Kari, dan Laksa!
Begitulah beberapa kuliner yang saya cicipi selama di Medan, tidak semuanya perlu dan bisa saya ceritakan, tapi yang saya sebutkan adalah beberapa kuliner yang merupakan kunci.
Oh ya, perlu saya ingatkan lagi, mungkin karena yang saya cicipi merupakan kuliner yang sudah direkomendasikan di internet dan restoran lawas, makanya harganya juga lumayan mahal, tapi bukan berarti semua makanan di sana mahal. Ada juga yang harganya sekitar 15rb, biasanya di gerobak-gerobak sekitar lapangan Merdeka. Boleh dicoba juga. Pokoknya silakan pintar-pintar menentukan prioritas dan coba memesan 1 porsi berbarengan jika hanya ingin mencoba :D.
Yang saya lihat dan teliti, kuliner Medan memang kental akan perpaduan budaya Melayu, India, dan China (coba lihat Soto Udang Kesawan). Saya merasa masih kurang mengeksplor kuliner India di sana. Terutama Jalan Pagaruyung yang konon merupakan pusat kuliner India Medan yang sayangnya belum sempat saya kunjungi.
Pun saya belum sempat merasakan Lontong Kari, Kari Bihun Bebek, dan Laksa Medan yang konon lezat.
Mungkin lain waktu, saya akan bisa melanjutkan tulisan tentang kuliner Medan ini.
Selamat makan!