My Writing Student Workshop Experiences

My Writing Student Workshop Experiences

Baru selesai baca buku nonfiksi pertama di 2022: Craft in the Real World by Matthew Salesses. Isinya tuh tentang bagaimana workshop kepenulisan itu bisa jadi malah menghambat kreativitas penulis. Selain kasih pandangan untuk membuka pikiran tentang bagaimana seharusnya workshop dilakukan, juga ada step by step workshop kepenulisan yang bisa dipraktekkin penulis maupun trainer workshop.

So helpful and informative sih, apalagi dibahas juga tips-tips kepenulisan dari penulis-penulis terkenal, mindset yang harus dipersiapkan saat menjadi student workshop ataupun saat menjadi trainer etc.

Tapi jadinya mau cerita dikit sih soal masa-masa di mana gue sempet getol banget dateng ke workshop kepenulisan jaman tahun 2012-2014 yang lalu.

*Mengenang masa-masa itu*

Kalau diinget2, dari dulu pun gue tuh emang ada masalah dengan menelan perintah orang bulat-bulat. I tend to challenge rules, jadi emang dari dulu cenderung memberontak dari pola dan aturan yang udah ada.

Gak sih, kalau di sekolah gue kalem. Tapi kalau soal cara nulis, atau cara mikir, gue lumayan susah diatur.

Makanya pas ikut workshop fiksi pun, dari awal gue mikir bahwa gue ga mau diajarin nulis. Ga ada yang boleh ngajarin dan ngatur tulisan fiksi gue. Not even publisher. Not even my fav author.

Ga bisa juga. Mana ada orang bisa ngajarin tulisan dan cerita apa yang harus gue tulis?

EMANG GUE SAKIT HATI PAKE DIAJARIN? *ngegas yang tak perlu*

Dan sampe hari ini masih begitu sih. Gatau if one day gue melunak.

On those days, gue cuma datang untuk diberi inspirasi. Dari author fav gue. Dari publisher fav gue.

Sebagai student, gue yang mau nanya dan ngritik. Bukan gue yang mau ditanya2 dan dikritik.

Paling bete tuh gue sama2 tugas2 ala workshop kayak : yak ini ada 30 menit tolong tulis tema blabla dari POV blabla seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.

Like, mana bisa?

Gue butuh mikir, musik yang ok, udara dingin, minuman hangat, makanan manis, jam 2 malam, dan hati nyelekit2 abis patah hati merutuki hidup untuk bisa nulis yang bener2 gue banget. Dan gue butuh SENDIRI.

How come minta gue lagi hepi di tengah banyak orang terus nulis abis itu tulisan gue dinilai?

Makanya gue biasanya kalau ga bener2 ditagih gak akan tuh nyerahin tulisan gue. My fav part would be sesi tanya jawab.

Gue biasanya nanya soal a part of the author’s writings dan kenapa dia memutuskan untuk mengambil plot tersebut? Gimana cara dia menjaga agar karakter tetap hidup? Gimana cara dia memilih mana bagian dari karakter yang perlu langsung dimention di awal?

Terus nanya soal kenapa publisher A cuma nerbitin cerita2 bertema young adult? Kenapa publisher B mulai sering nerbitin tulisan penulis Wattpad?

Apakah gue inget jawaban2 mereka? Gak selalu (except this one). Tapi pulang bawa semangat, buat nulis lagi.

Gue mikir, at the end of the day, gak akan pernah ada karya yang bisa menyenangkan semua orang. Tapi kita bisa membuat karya yang membuat kita senang.

Gak akan pernah ada karya yang bisa menyenangkan semua orang. Tapi kita bisa membuat karya yang membuat kita senang.

Gak akan pernah ada karya yang ga dikritik orang. Tapi kita bisa membuat karya yang lolos penilaian kita.

Kalau kita ingin membuat tulisan yang membuat target audiens tertentu suka. Misal anak remaja. Ya di sana lah tolok ukur penilaiannya. Tapi again, yang memutuskan tulisan kita akan seperti apa ya kita.

IMO, seperti tanaman yang kadang butuh siraman rohani (loh). Workshop tuh kayak vitamin, cuma ada untuk menyuburkan kembali mimpi yang kadang gersang aja. Tapi tanahnya, tanamannya, bunganya, punya kita.

CIAAH.

Ya oke man, filosofisnya cukup. Nulisnya beneran kapan ini.