Ada Orang Hilang di Puncak Padar

Ada Orang Hilang di Puncak Padar

Ada orang hilang di Puncak Padar.

Desas-desus itu terdengar hingga ke anak tangga terbawah. Aku tak tahu dari siapa berita itu bermula. Saat aku menoleh, aku menemukan tiga orang anak muda berjalan beriringan sambil berbisik cukup kencang.

Eh ada yang ilang di atas. Ada yang ilang.

Ada perempuan nangis-nangis. Katanya pacarnya hilang.

Bukannya bapaknya yang hilang?

Temennya, tau.

Kok bisa hilang? Jatuh, neng?

Hilang, Bu. Hilang.

Kok bisa?

Seperti rumput kering di musim kemarau. Satu percikan api bisa jadi menyulut api-api kecil lainnya yang bergabung menjadi kobaran ganas. Maka, Komandan Buya – begitu aku biasa memanggilnya dengan nada bercanda – segera membuyarkan kerumunan, mengarahkan pengunjung untuk segera bertolak ke lepas pantai.

Segeralah pergi dari tempat ini dengan sekocimu itu, kembalilah ke kapal phinisimu yang telah menunggu.

Aku tersenyum kecil. Membayangkan betapa leganya jika kami benar-benar bisa berkata begitu pada turis-turis itu.

“Bagaimana, Komandan?” tanyaku begitu si pria bongsor kembali ke pos penjagaan kami.

Komandan Buya berdecak sebal. Baru saja dia membuka mulut untuk bicara, dua orang perempuan dengan belahan dada terlihat dan celana pendek sedikit di bawah pangkal paha bertanya apakah ada toilet di tempat ini. Buya menjawab pendek: ada, tapi tidak beroperasi. Tidak ada air bersih.

Kedua perempuan itu berlalu pergi dengan wajah kecewa dan langkah kecil-kecil. Mungkin menahan kencing sejak tadi.

Pandanganku bersirobok kembali dengan Komandan Buya. Kami saling melempar senyum malas. Disekanya sebelah pelipisnya dengan punggung tangan yang sama coklatnya dengan warna sikut, dengkul, pipi, dan semua bagian kulit kami yang terbakar matahari Labuan Bajo.

“Makin lama makin mirip kau dengan orang sini, Buya,” candaku menggodanya. Buya menonjok sebelah pundakku halus, sedikit tak terima.

Buya Hamka sebenarnya bukanlah tentara, bukan juga keturunan Flores atau Bali seperti banyak petugas ranger lainnya di tempat ini. Dia orang Magelang asli, tapi dibawa orang tuanya tinggal di Mataram. Satu dan lain hal terjadi, dia berakhir di tempat ini, menjadi ranger penjaga Pulau Padar yang harus berurusan dengan turis-turis usil setiap hari.

Kita tidak perlu bahas kenapa namanya Buya Hamka. Pernah kutanya, dia malah menyuruhku untuk tanya langsung dengan bapaknya yang sudah pindah ke neraka.

Membayangkan postur Buya yang kekar bak Arnold Schwarzenegger di film Commando, aku tak mau bertanya mengapa Buya tahu bapaknya sudah berkubang api di alam baka sana.

Tak lama, kami mendengar desas-desus yang sama terdengar kembali. Ada orang hilang di Puncak Padar.

“Coba kau hubungi si Ben dan si Theo di atas sana, Buya. Tanya ada apa sebenarnya,” suruh Pius. Biarpun badannya tak sebongsor Buya, Pius adalah ranger tertua di antara kami. Matanya sedikit kecoklatan, jenggot dan rambutnya berwarna abu-abu di atas kulit coklat legam. Setelah memberikan instruksi, Pius pun kembali berjalan ke baris depan. Ada serombongan turis yang baru datang dan butuh diperhatikan.

Buya yang awalnya setengah hati menanggapi gosip-gosip pengunjung, segera mengeluarkan ponsel dan two-way radio miliknya.

“He Aji, kau coba kontak Theo via radio,” perintah Buya padaku sambil menyerahkan kotak hitam berantena pendek. Sinyal di Pulau Padar ini tipis-tipis kencang. Ada titik-titik di mana komunikasi terasa lebih santai. Dengan langkah diseret, aku mengikuti Buya menuju lepas pantai.

Buya mencoba menghubungi Ben yang berada di puncak via ponsel. Sementara aku berhasil berbicara dengan Theo yang berada di pos ketinggian II tanpa banyak kesulitan.

“Beta juga tak mengerti. Dari tadi ada beberapa pengunjung melapor pada beta soal ada orang hilang di puncak. Coba ko tanya Ben. Atau Uri.”

“Uri?”

“Tadi beta lihat Uri naik ke atas. Beta panggil tak dipedulikan.”

Aku tak begitu suka dengan Muriel. Sikapnya sok pintar dan culas, suka melaporkan hal yang tidak-tidak tentangku pada Pius. Aku akan menyampaikan apa yang dikatakan Theo ke Buya dan berharap Buya menghubungi Muriel setelahnya.

Saat aku menoleh pada Buya, aku bisa melihat wajahnya yang masih menampakkan sungut kesal yang sama. Jemarinya tak bergerak di atas ponsel. Bisa kutebak dia menunggu pesan yang dikirimkannya pada Ben menjadi centang dua.

“Sudah ko coba telfon, Buya?”

Buya menggeleng. Dia memasukkan kembali ponselnya ke saku atasan safari miliknya.

“Kita ke atas dulu.”

“Sekarang?”

Pukul 10 lewat 30 menit di Pulau Padar. Matahari semakin tinggi. Ini mengapa tugas menjaga lokasi di pos-pos trekking kami serahkan pada anak-anak muda yang masih baru. Ben bergabung 1 bulan lalu, itu mengapa dia ada di puncak. Aku yang sudah 1 tahun bekerja bisa santai sesekali minum kopi dinaungi atap, melihat turis-turis seksi dengan dandanan prima sebelum nanti turun dengan langkah-langkah gontai.

“Pius tak akan puas kalau tidak kita cari tahu. Biarlah dia di sini bersama Wayan. Kita naik saja ke atas.”

“Theo lihat Uri naik ke atas tadi.”

“Uri?” wajah Buya berubah kecut. Ha. Ini alasan mengapa aku mengikuti Komandan Buya ke mana-mana. Aku tahu dia juga membenci Muriel, sama denganku.

“Aku tak lihat Uri sedari pagi tadi.” Mungkin dia memang sengaja bermalas-malasan, ingin sekali aku menangkap basah dirinya mangkang dan melapor pada Pius.

Kedua alis Komandan Buya menyatu. Tanpa menjawab, dia berjalan lebih dulu. Dengan sigap aku mengekorinya.

Kami menghampiri Pius dan Wayan sejenak. Pamit untuk mencoba mengecek langsung pos Theo dan Ben di atas.

Saat aku selesai menaiki tangga kayu dan berlanjut ke tangga semen dan batu. Sudah ada tiga orang yang melapor pada kami dengan nada bervariasi: ada yang panik, ada yang setengah tertawa.

Mas, katanya ada yang hilang di atas.

Apa sudah biasa ada yang hilang seperti itu?

Apa dimakan komodo ya, Pak?

Untuk yang terakhir, aku dan Buya hanya saling lirik. Tidak banyak yang benar-benar mengerti bahwa Pulau Padar, sama seperti Pulau Rinca dan Loh Liang, dan dua pulau lainnya, merupakan habitat Komodo. Aku pernah dua kali melihat Komodo di pulau ini, untungnya selama aku bertugas, belum ada benar-benar jatuh korban.

Di Pos II kami bertemu dengan Theo. Anak keriting itu sama tidak tahu apa-apanya dengan aku dan Buya. Sebelum kami bertolak melanjutkan perjalanan, dia kembali bertanya “Benar kau tadi lihat Muriel?”

“Benar kaka, beta lihat dia naik tadi. Beta yakin dia dengar, tapi dia tak pedulikan. Beta padahal ingin minta ganti sebentar. Beta ingin turun untuk ke belakang.”

“Oh?” aku menoleh ke Buya dan Theo bergantian. Apa ini berarti aku bisa diam di Pos II sebentar agar Theo bisa turun ke bawah untuk menuntaskan urusannya?

“Beta sudah lega sekarang,” ujar Theo sambil menunjuk salah satu ujung bukit yang tersembunyi. Ada raut nakal di wajahnya.

“Jangan sampai ada komplain,” ujar Buya tegas.

“Siap Buya. Tak akan sampai ke telinga dan hidung Pius,”

Kalimat terakhir membuatku tertawa tertahan. Setelah menepuk bahu Theo dan menghindari balasannya (aku tak tahu tangan mana yang dia pakai untuk membersihkan perbuatan kurang ajarnya itu), aku dan Buya melanjutkan perjalanan.

Beberapa turis membuat pendakian terhambat. Mereka berhenti seenaknya. Mengambil foto puas-puas sebelum kembali bergerak. Kalau hanya begitu saja masih tidak apa-apa, tapi turis yang mengambil lokasi-lokasi ekstrim sebagai latar foto yang membuat kami terpaksa bertindak keras memperingatkan.

Kalau benar ada nyawa hilang di Padar hari ini, aku dan tim rangerku yang akan kena batunya. Ini satu kasus yang tidak jelas saja sudah membuat pusing, jangan sampai ada dua atau lebih kasus di hari yang sama.

Sambil berjalan mengambil jalur alternatif dari rombongan turis turun bukit yang menutupi jalan, aku melempar pandangan pada lengkung teluk kembar di kejauhan. Jika pagi, lokasi yang kulihat akan berkabut kebiruan akibat matahari yang belum penuh hadir sepenuhnya.

Di ketinggian mana pun kaki berpijak, kemana pun mata memandang, Bukit Padar adalah pameran lukisan alam.

Aku dengar turis yang datang dan mengungkapkan kekagumannya hari itu adalah seorang sastrawan dari Jakarta yang datang untuk plesir. Aku yang berdiri paling dekat dengannya mencium sedikit aroma Sopi.

Memang mendaki Bukit Padar dengan keadaan sedikit mabuk adalah sensasi paling luar biasa. Untuk itu, aku bisa bersaksi akan kebenarannya.

Tak sampai 5 menit kemudian, aku dan Buya mencapai Pos IV, satu pos sebelum puncak Padar. Turis-turis terlihat berkerumun bergantian mengambil gambar di lokasi tanah datar membentuk bulatan. Tangga semen dan batu berakhir di sini, sisanya hanya pijakan-pijakan yang masih terbuat dari batu alami dan tanah.

Beberapa yang keras kepala masih meneruskan hingga ke puncak. Bagi yang cukup puas dengan lelah dan ingin segera mengambil foto, bisa segera memuaskan diri.

Memang benar kata sastrawan beraoma Sopi kapan itu. Kemana pun kamera mengarah dari Bukit Padar, seperti apapun model yang bergaya berlatarkan pemandangan dari tempat ini, semuanya indah dan bergaya.

Aku menemukan sosok dengan pakaian nyentrik. Sekali lihat, aku tahu orang itu laki-laki meskipun dengan terusan panjang terbelah tinggi di paha. Ada juga yang menggunakan bikini dan berpose dengan penuh percaya diri. Semua sesuatu yang biasa di atas sini, tapi kali ini berbeda, ada riak panik di wajah-wajah mereka.

Seseorang menangis begitu keras dari atas bukit padar, gaungnya terdengar hingga ke Pos IV.

Emang beneran hilang? Ada yang lihat, gak?

Hilang tau-tau gak ada aja, gitu?

Kayak sulap gitu, hilang?

Gak tau lah, coba lo tanya tuh sama penjaganya.

Aku dan Buya mempercepat langkah. Kami menggunakan tangan untuk meraih batu-batu agar segera sampai di atas dan menemui Ben.

Si mungil Ben terlihat semakin kecil saat kami melihatnya berjongkok di samping seorang wanita yang melolong dengan nada menyayat. Rautnya terlihat lega saat melihatku dan Buya.

“Dari tadi beta su coba hubungi kalian,” ucap Ben mati-matian menahan panik di nada suaranya. Di sekeliling kami turis berkumpul. Memperhatikan. Menunggu jawaban.

Buya menarik Ben menjauh, membuatku terpaksa menemani si wanita menggantikan Ben.

Dari tadi kayak gini nih, Mas. Katanya pacarnya hilang di sini.

Ditanya lebih lanjut ga dijawab. Nangis terus.

Aku mengangguk-angguk berusaha tidak memberikan reaksi atau jawaban yang meresahkan dari pengunjung yang berkerumun di sekitarku. Si wanita yang menjadi bahan omongan tengah bersujud di ujung bukit padar. Dia mengenakan kaos hijau tua dengan celana jeans. Tidak terlalu bergaya, tak juga ada kamera, kemungkinan turis lokal yang datang untuk menikmati alam sepenuhnya. Wajahnya belum terlihat karena menunduk ditambah tirai rambut kusut masai yang diikat seadanya.

Saat aku sadar si wanita mengenakan sepatu biasa yang bukan merupakan sandal gunung atau sepatu trekking aku jadi sedikit ragu. Siapa wanita ini?

Aku terkesiap saat wanita itu lagi-lagi melolong. Kalau saja dia tidak berbicara apa-apa pasti aku mengiranya kerasukan.

“Murieeeeeeeeelll… kembali, Muriel…!!!”

Aku terkesiap. Apa? Muriel?

Wanita itu mendadak menoleh ke arahku. Matanya merah karena air mata. Parasnya khas Flores namun dengan kulit yang lebih cerah. Apa dia orang lokal?

“Muriel hilang di sini. Hari ini. Beta lihat sendiri dia hilang di ujung batu itu tadi.”

“Muriel siapa? Kakak datang bersama siapa tadi?”

“Dia sudah tak pulang dua malam tadi. Beta cari dia ke sini. Beta lihat dia naik bukit. Beta kejar. Dia menghilang di ujung batu itu.”

Seorang pengunjung mencolek bahu kananku.

Dari tadi dia bilang pacarnya kerja di sini. Coba lihat fotonya, Kak. Siapa tahu Kakak kenal.

Firasatku buruk. Sangat buruk. Tapi aku mengangguk dan pasrah saat wanita kusut masai itu menunjukkan foto di screen saver ponsel miliknya.

Seseorang dengan bibir tebal, rambut keriting, dan kacamata. Rautnya seakan tak kenal senyum, hanya bisa menaikkan sebelah alisnya dengan menyebalkan. Muriel yang kukenal.

“Aji,” aku terkejut saat seseorang memegang sisi bahu kananku. Buya dan Ben berdiri di belakangku. Buya dengan raut serius miliknya. Ben dengan tampang pucat pasi.

Buya menarikku berdiri, menjauh dari keramaian. Kakiku masih lemas. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ben mengikuti kami dari belakang.

“Aku mau turun dan coba melapor pada Pius. Sepertinya kita harus cek tebing di bagian timur,” ujar Buya.

“Lebih cepat lebih baik, Buya. Jangan sampai ada pengunjung yang lihat,” tambah Ben.

Mulutku terbuka dan menutup seperti ikan. Aku melirik si wanita yang masih melolong. Apa yang terjadi?

“Dia bilang Muriel, Komandan. Fotonya itu… itu Uri.”

Ben meringis. Buya diam. Tidak ada yang berkomentar.

“Apa tidak ada yang lihat Uri pagi ini? Wanita itu… siapa namanya…”

“Ruth,” ujar Ben membantuku.

“Ruth. Dia bilang dia lihat Uri naik ke atas tadi.”

“Aku dan Ben tidak lihat Uri pagi ini. Aku akan coba tanya Pius dan Wayan.”

Aku kehilangan kata-kata. Apa yang sebenarnya terjadi? Ruth – apa wanita itu gila? Kalau iya, kemana Uri?

Buya memegang pundakku pelan. “Aku dan Ben akan ajak Ruth turun. Apa kau bisa gantikan Ben jaga tempat ini?”

“Aku…”

“Tak apa, Aji. Jaga tempat ini. Turis asing mulai banyak datang. Bantu mereka. Biar aku dan Ben yang turun. Kalau kami tak naik juga lepas pukul 12, turunlah segera.”

Setelah mengatakan itu, Buya menyerahkan botol minum dari saku celananya. Dia dan Ben menghampiri Ruth, membujuknya, mengajaknya bicara.

Awalnya Ruth terlihat menolak, tapi entah apa yang dikatakan oleh Ben dan Buya hingga akhirnya wanita itu setuju. Ruth berdiri. Dengan lesu berjalan menuruni bukit. Ben sigap berjaga di sampingnya, di area tebing yang lebih terjal.

Buya menengok ke arahku selama 1-2 detik sebelum mengangguk dan berlalu.

Para pengunjung terlihat mencuri pandang dengan raut ingin tahu. Merasa diperhatikan, aku berdeham, buru-buru berdiri dan membersihkan bagian dengkul celana pendekku dari rumput dan tanah. Dengan cepat aku bergerak mengambil titik bukit yang sedikit lebih tinggi agar aku bisa melihat semua tindak-tanduk turis di sekelilingku.

Ketegangan perlahan cair. Para pengunjung mulai menyebar, menuju spot foto masing-masing. Matahari mulai tinggi, jumlah pengunjung tidak seramai tadi. Situasi akan kembali padat saat matahari mulai terbenam nanti.

Seakan tak terjadi apa-apa, Puncak Padar kembali seperti seperti semula.

Aku menelan ludah. Sudah sedaritadi aku kesulitan menarik napas. Apa benar tidak terjadi apa-apa? Apa benar semua akan kembali seperti semula?

Pandanganku terjatuh pada lengkungan tiga teluk di sisi belakang titik naik Bukit Padar. Di salah satu pantai teluk yang tidak terjamah turis, di balik salah satu tebing batu, aku pernah menaiki sekoci dan bersembunyi.

Aku tidak sendiri.

Sepertinya Uri tahu, kataku waktu itu. Sekoci yang kami tumpangi belum juga berlabuh, tapi aku sudah tak sabar untuk mengungkapkan keresahanku.

Lawan bicaraku tidak berkata apa-apa. Raut wajahnya tetap kaku, memandang jauh pada bibir pantai di hadapan kami. Sebelah tangannya mengarahkan mesin sekoci untuk melaju menuju tujuan kami.

Hei, buruku tak sabar. Dia tahu aku tak suka diabaikan.

Aku menatapnya lekat-lekat selama beberapa detik. Akhirnya manik matanya mengarah padaku. Perutku terasa melambung meletup-letup.

Tapi ada hal lebih penting yang harus kami bicarakan. Soal Uri.

Dari mana kau tahu? tanya lawan bicaraku.

Dari caranya menatapku, balasku.

Lawan bicaraku tidak tertawa, tapi aku juga tak bisa menebak apakah dia menganggapku cukup serius.

Perahu kami akhirnya berhenti. Dia melompat turun dan mulai menarik sekoci ke darat. Lengan-lengannya mengencang, membuat lambungku semakin terasa melayang. Air pantai membasahi hingga ujung celana yang sudah kulipat hingga selutut. Buru-buru aku mendorong sekoci, aku ingin segera duduk bersamanya di balik tebing, di atas pasir yang hangat.

Saat akhirnya sekoci kami sudah cukup aman terlindung dari penglihatan dan tarikan pasang, dia berkacak pinggang, memandangku. Hanya dua alisnya yang menyatu yang membuatku tahu bahwa dia pun resah.

Jadi mau bagaimana? tanyanya padaku.

Lamunanku buyar. Seseorang memekik, membuatku menoleh ke kanan dengan tiba-tiba sampai leherku nyeri. Dua orang remaja pria tanggung terlihat bercanda di bibir tebing, tidak jauh dari tempat Ruth menangis beberapa saat lalu.

Aku berjalan menghampiri dua turis kampungan itu dengan langkah menghentak. Untunglah keduanya segera membubarkan diri saat melihatku mendekat, aku pun sebenarnya tak ingin terlalu banyak bicara saat ini. Di sekelilingku, para turis masih bersikap seperti biasa. Bersolek, berpose, hanya beberapa di antara mereka yang benar-benar menikmati pemandangan.

Jadi mau bagaimana?

Kata-kata itu kembali membayangiku saat aku berdiri sejenak di tepi bukit. Otakku mencari-cari kapan terakhir kali aku melihat Uri. Kapan terakhir kali aku bertemu dengannya.

Kemarin siang? Kurasa aku bertemu dengan Uri saat aku diminta Pius mencari sinyal dan menghubungi kantor pusat. Aku melihatnya duduk bersama Wayan, membuat kopi di dekat toilet yang tidak beroperasi.

Bagaimana dengan orang yang membuat perutku melambung-lambung itu? Aku jelas bersamanya tadi malam hingga pagi. Bagaimana dengan dua hari yang lalu?

Jadi mau bagaimana?

Kuharap dia menghilang begitu saja, Buya, kataku saat itu.

Aku bisa saja membunuhnya, seandainya kau tidak bertindak apa-apa kali ini.

Aku menahan senyum, memastikan aku memunggungi tamu-tamu lainnya.

Ada orang hilang di Puncak Padar. Kurasa tak akan ada yang benar-benar peduli. Menurutmu ada berapa banyak orang yang memutuskan untuk menikmati indahnya tempat ini tanpa perlu beranjak kaki lagi – dari sini?

Buya, aku akan memberinya hadiah nanti.

*****

Author’s Note:

Kepulauan Komodo, Padar, dan Rinca dikelilingi oleh banyak pulau-pulau kecil yang tak kalah indah. Padar hanya sedikit beruntung karena memiliki titik puncak yang tidak terlalu tinggi, tapi cukup untuk melihat lengkungan 3 teluk (dan lebih), kapal-kapal yang berlabuh, serta laut lepas yang menjadi panggung matahari terbit.

Saat berdiri dan melihat sekeliling, di tengah ramainya lautan manusia yang berfoto dan menjelajah seenaknya. Menginjak batu terjauh yang bisa mereka jamah. Menaiki batu tertinggi yang bisa mereka raih. Hanya supaya bisa berfoto seakan-akan hanya mereka sendiri yang berada di sana.

Saya berpikir: apa yang terjadi, jika ada satu orang yang berjalan terlalu jauh dengan sengaja, dan menghilang tanpa jejak?

Melihat betapa indahnya tempat ini, saya tidak yakin Padar akan goyah. Apalagi dengan fakta bahwa pulau padar juga merupakan tempat hidup bagi Komodo. Banyak hal bisa terjadi.

Padar indah. Tapi juga misterius. Area masuk bukitnya berbentuk segitiga sempurna, dengan tangga kayu rapuh yang sesekali copot pakunya. Kemudian disambung dengan tangga semen dan batu-batu. Jalur pendakian dan turun sempit, semua pengunjung sibuk dengan dirinya sendiri.

Tempat yang cocok untuk menambahkan bumbu misteri.