Ada keruh di Taka Makassar hari itu.
Jam menunjukkan pukul 9 pagi kurang 10 menit saat kapal speedboat yang kutumpangi sampai di perairan dangkal di timur laut Loh Liang. Semburat warna biru es merayapi riak air yang terbelah, berpadu dengan biru tua yang perlahan terkalahkan.
Fidelis adikku masih merapalkan nama Bapa di Surga saat kami berhenti di salah satu sisi pasir timbul. Sebelah tangannya bersedekap seraya tangan lainnya memutar kunci mesin. Aku harus memegangi sebelah sikunya agar dia tidak tersandung saat berusaha turun dari perahu.
Aku dan Fidel telah menyambangi tempat ini sejak langkah kami tak cukup berat untuk meninggalkan jejak. Keterkejutan Fidel bukan karena ini kali pertama jari jemari kaki kami merasakan pasir hangat di pulau kecil yang hanya sepanjang 50 langkah ini. Bukan juga karena rona dalam laut yang mengundang kami untuk menguliti pakaian yang menempel di badan dan menceburkan diri.
Ada keruh di Taka Makassar hari itu. Noda yang membuat kami menahan diri.
Aku bisa merasakan getar tangan Fidel saat akhirnya kami berdiri berdampingan. Ada 1 sekoci yang turut berlabuh di tempat yang sama. Semua penumpangnya menunjukkan raut tak percaya campur takut. Tak ada turis di antara mereka, hanya penduduk berkulit coklat dengan raut keras, seperti aku dan Fidel.
Saat mengedarkan pandangan, aku hanya menemukan 2 kapal speedboat lainnya yang berhenti kurang-lebih 300 meter dari tempat kami berada. Tidak jauh dari pulau kecil dengan pepohonan hijau. Menjaga jarak.
“Ini gila, Maria… beta pu mata tak bisa percaya…” lirih Fidel. Nada suaranya seperti hampir menangis. Tinggiku mungkin hanya mencapai dagu adik laki-lakiku itu, tapi soal nyali, aku memang jauh di atasnya.
Aku jadi sedikit menyesal memaksa Fidel mengantarku ke tempat ini menggunakan speedboat milik Eda Wuru. Seharusnya kurebut saja kunci yang berada di kantung bajunya tadi, lalu kutinggalkan dia bersembunyi di balik dinding dan atap bersama orang-orang lainnya.
Seharusnya kubiarkan saja Fidel dengan rutinitasnya: dengan motor bebek Eda Wuru yang dia rawat dan gunakan untuk mengantar turis-turis kota, dengan tangkapan satu-dua ikan yang dia bawa untuk makan malam nanti bersama Eda Wuru dan Faieda, dengan senyum malu-malunya untuk Ruth, anak perempuan pemilik kedai pinggir dermaga.
Tapi damai itu tak akan lama. Damai itu telah sirna 5 jam lalu. Bukan aku yang mengobrak-abrik hidup Fidel yang stagnan. Sesuatu telah melakukannya untukku. Saat akhirnya ada yang menggetarkan tanah rumah kami di lepas Pantai Pede pagi tadi sebelum ayam berkokok.
Eda Wuru sempat meracau, berkata bahwa ada pesawat jatuh ke tengah laut. Aku sampai harus mengingatkan tak ada pesawat mendarat di pagi buta. Adik laki-laki ibuku itu memang sama seperti Fidel, mudah panik dan cenderung berpikir dangkal. Istrinya, yang kupanggil Faeida, perempuan yang merawatku dan Fidel sedari kecil, juga tidak kalah merepotkan.
Getaran tanah memantik resah. Seorang tetangga berkata gunung api aktif kembali. Ada juga yang bilang gempa bawah laut yang bisa berpotensi tsunami. Tapi saat akhirnya matahari perlahan terbit dibarengi berita di radio dan televisi, kami sadar apa yang telah terjadi. Semua diminta diam, menjaga diri. Tapi aku malah menyeret Fidel hingga ke tempat ini.
Kelebat suara mesin membuat kami mendongak. Tiga helikopter hitam melintas. Ada tanda asing yang tidak kukenal di salah satu sisinya.
Fidel menunjuk laut lepas di sisi kiriku.
Ada kapal besar berwarna putih dengan lambung merah yang entah sejak kapan berjalan mendekat. Sebuah suara memekik tinggi, mengisi udara.
“Kembali ke darat. Kembali ke darat. Tinggalkan tempat ini. Semua penduduk sipil diminta untuk meninggalkan tempat ini.”
Pantas saja tidak ada kapal pelesir yang bertambat, semua pasti sudah diperingatkan untuk tidak mendekat.
Fidel menarik bahuku, mengajakku bertolak. Aku mengikutinya, membiarkannya membimbingku kembali ke speedboat kami. Adikku itu berjalan ke muka, mendorong badan perahu masuk ke laut laut. Dengan langkah limbung aku berdiri, kemudian bersimpuh pada sisi yang menghadap matahari. Sinarnya perlahan muncul dari balik keping gelap yang menutup langit. Ada rambatan berwarna merah kehitaman yang muncul di dasarnya, merayapi biru dingin es yang menjadi magnet turis.
“Hancur sudah beta pu taka. Habis sudah harta kami,” seseorang dari perahu sebelah berkata cukup keras. Fidel baru saja berhasil naik, adikku itu memutar kunci. Bersiap melarikan diri.
“Tunggu dulu, Fidel,” ujarku. Aku mendelik pada orang yang berkata seenaknya itu. Pandanganku bertemu pada seorang pria muda dengan rambut diikat di belakang kepala dan hidung seperti dasar bejana.
Rautnya ngeri. Dia dan rombongannya berlalu tanpa sempat berkata apa-apa lagi. Dengan hak apa dia menganggap taka ini miliknya?
“Kenapa, Kak? Kita su diminta pergi. Tak dengar ka suara dari kapal SAR tadi?”
Tanpa menunggu jawabku, Fidel menyalakan mesin kembali, speedboat kami berderu pelan, sedetik kemudian menambah kecepatan. Fidel memutuskan untuk memutar sedikit, memberi jarak pada kapal SAR yang berlayar berlawanan arah. Hanya ada speedboat lainnya yang menyusul di belakang kapal SAR. Beberapa di antara memuat pria-pria berseragam tentara.
Apa lagi yang hau ngo cari, Maria? Semua su ada di sini.
Aku teringat kata-kata Faeida, saat kukatakan padanya aku berniat untuk mengadu nasib di kota. Perempuan itu memasang raut kecut, berkata bahwa Eda Wuru tak akan izinkan. Setelah ayahku pergi entah ke mana dan ibuku berpulang saat melahirkan Fidel, aku dan adikku memang sudah seperti anak kandung dari paman dan bibi yang tak dikaruniai keturunan.
Tak perlu pergi sebegitu jauhnya. Diam saja di sini dan uang akan menghampiri. Seperti para bajo di masa lalu. Ini adalah labuhan, tempat untuk kembali.
Udara yang kuhirup adalah yang terbaik. Hasil laut yang kucicip adalah yang terlezat. Pasir tempatku menjejakkan kaki adalah yang terhangat. Dan lautan tempatku kembali adalah yang terjernih.
Tapi ada keruh di Taka Makassar hari itu.
Keruh yang tidak kutemukan kemarin. Riak yang menimbulkan gelombang. Racun yang menyeruak.
Aku berdiri perlahan. Melihat sekali lagi pada bongkahan besar setinggi Bukit Padar di kejauhan. Ada pendar merah di sana. Berurat-urat seperti pembuluh darah yang melapisi jantung besar. Sesuatu mengirimkannya pagi tadi. Atau mungkin memutuskan untuk mendaratkan diri di tempat di mana biru laut sedingin es menyejukkan terik matahari.
“Mau apa ka?” tanya Fidel. Tanpa menoleh ke arahnya pun aku tahu, adikku itu sedang mencuri lirik padaku yang bersimpuh begitu dekat dengan sisi perahu. Mengganggu keseimbangan kapal yang sedang berbelok ke arah kanan, menuju rumah kami di Pantai Pede.
Buku-buku jariku memegang erat sisi perahu kayu berlapis cat putih mengilap. Perlahan wajahku mendekat ke arah permukaan air. Aku melihat ke kejauhan. Ada banyak karang yang hancur hari ini.
Ada keruh di Taka Makassar hari itu. Kali pertama aku melihat semburat corak yang tidak semestinya ada. Bukit yang tadinya berada jauh di langit kemudian jatuh. Kehadirannya akan mengubah segalanya.
Tapi seandainya semua masih berjalan seperti yang kemarin, aku tak lagi punya tenaga untuk menjalaninya.
“Kakak! Kak Maria!”
Ada keruh di Taka Makassar hari itu. Seperti keruh yang telah merasuk di jiwaku sejak lama. Baling-baling perahu terlepas. Aku bisa mendengar teriakan-teriakan Fidel di luar sana. Tapi aku merasuk masuk dalam, dalam sekali.
Saat perlahan aku melihat semburat merah di sekelilingku aku tahu, hari ini kupastikan semuanya tak akan lagi sama.
###
Author’s Note:
Dari semua tempat yang dikunjungi selama saya mengunjungi Labuan Bajo, ada 3 tempat yang berbekas di hati.
Dari 3 tempat itu, ada satu yang paling membayangi.
Sampai hari ini, saya masih belum bisa lupa dua warna laut di Taka Makassar.
Sepanjang saya memandangi terangnya warna laut akibat karang putih yang berdiam di bawahnya, saya berpikir: apa jadinya jika seseorang melihat keindahan ini begitu lama, hingga dia tak lagi bisa menikmati yang ada di hadapannya lagi?
Maka dari sanalah cerita Maria muncul.