Vultures sit on skyscrapers
Watchin’ for the ones who fall down first
Everything you want in 24 hours
But nothin’ you need
(Concrete Jungle – Au/Ra)
*Cerita ini dibuat dalam rangka program Hear and Write
Sang Penari
Rainy Amanda
Perempuan itu datang lagi.
Aku memelankan langkah, membungkukkan tubuh, kemudian berjalan setengah berjongkok di balik tembok pintu akses atap satu-satunya di tempat ini. Dinding yang kusentuh terasa dingin, begitu pun lantai semen yang menjadi tempat salah satu lututku bertumpu. Aku melirik langit, awan bergumul gemuk, masih menyisakan ruang-ruang biru di beberapa titik. Bukan mendung, matahari hanya sedikit malu menampakkan diri.
Bagus. Itu berarti perempuan itu akan lebih lama bersamaku di sini.
Aku menajamkan telinga. Benar saja. Lamat-lamat aku mendengar dentingan piano mengalun pelan, diselingi suara entakan merdu seakan bagian dari musik.
Tap-tap-tap, tap-tap-tap, lalu jeda.
Tap-tap-tap-tap-tap, lalu jeda.
Tanpa sadar aku mengangguk mengikuti irama.
Perlahan, aku melongokkan wajah dari balik tembok. Mataku menemukan sosok belakang perempuan dengan rambut panjang menyentuh punggung. Kaki dan tangannya jenjang. Kulitnya kuning langsat dibalut kemeja tanpa lengan berwarna putih dan rok lipit selutut abu-abu. Perempuan itu berjinjit tanpa alas kaki. Suara derap tap-tap-tap terdengar setiap ujung jari kaki perempuan itu menyentuh lantai. Terkadang sebelah kakinya naik setinggi pinggang, terkadang perempuan itu meloncat. Lalu sesekali dia berputar, membuatku panik terburu-buru bersembunyi.
Perempuan itu sedang menari.
Aku tak tahu apa lakon yang sedang dia mainkan. Berimajinasi menjadi siapa dia sore ini. Atau lagu apa yang sedang kudengarkan kali ini. Tapi ini adalah kali ketiga aku menemukan perempuan yang sama naik ke atap gedung ini untuk menari. Dan aku, aku adalah pengagum setia yang memilih untuk tidak menampakkan diri.
Aku mengintip lagi. Dentingan lagu berangsur lebih pelan. Perempuan itu mengayunkan tangan, sebelah kakinya membengkok menjadi penumpu tubuh, sementara yang lainnya terjulur kaku ke depan. Lalu perempuan itu menunduk dalam dengan begitu anggun, seakan memberi hormat pada barisan gedung pencakar langit Jakarta nun jauh di sana yang berjaga mengawasi jalan protokol Sudirman.
Sesuatu membuat hatiku mencelos. Secepat itukah pertunjukkan hari ini berakhir? Aku bahkan baru sempat menikmati tariannya selama kurang dari dua menit.
Namun mendadak, dentingan piano kembali menjemput nada. Iramanya berubah ceria. Perempuan itu mengubah arah dan langkahnya kembali lincah.
Aku mengubah posisi dudukku menjadi bersimpuh. Tak kupedulikan rok spanku yang sedikit ketat di bagian paha, rok ini memang sudah kotor sedari awal. Aku memandang diam-diam, meneliti.
Perempuan itu terlihat sangat cantik. Sangat bebas.
Siapa dia? Bekerja di perusahaan mana? Aku tak pernah bertemu dengannya. Kantorku berada di lantai 15 gedung ini, apakah ini berarti kantornya berada di lantai yang lebih rendah?
Awalnya aku merasa sedikit terganggu dengan kehadiran orang lain di surga pelarianku ini. Aku biasa mengunjungi atap gedung di jam makan siang atau sore saat bosku sedang tidak berada di tempat. Biasanya aku lebih suka saat cuaca cerah berawan seperti ini, tapi kalau aku sedang suntuk setengah mati, aku rela menggunakan payung di tengah panas atau hujan rintik, atau berteduh di depan pintu akses atap yang menyisakan tempat untukku berlindung dari panas dan hujan.
Apapun, asalkan aku bisa sedikit bernapas dari situasi kantorku yang menyebalkan. Apapun, asalkan aku bisa memiliki waktu untukku sendiri.
Itulah mengapa saat pertama kali aku sadar bahwa perempuan itu menyeruak masuk tanpa permisi ke tempat ini, aku sebal luar biasa. Waktu itu aku sedang duduk memandang langit di sisi atap yang lainnya, perempuan itu pasti tidak melihatku karena aku memang sengaja bersembunyi di tembok di balik pintu akses atap dan toren air.
Aku ingat, kala itu aku melihat dia bertumpu siku pada sisi atap yang menyerupai balkon. Dia diam mematung. Aku tak bisa melihat wajahnya, namun punggung perempuan itu terlihat sendu. Lalu. mendadak perempuan itu melangkah mundur dan melepaskan sepatu.
Setengah panik, aku beranjak keluar dari persembunyianku, bersiap berteriak. Namun perempuan itu berjinjit di tempatnya berdiri. Kakinya dibuka selebar bahu. Dia mulai membengkokkan tubuh atasnya ke kiri lalu ke kanan. Memutar pinggangnya setengah badan ke kiri dan ke kanan. Kakinya masih berjinjit, tapi kali ini diatur mendekat ke tengah, saling bersilang. Lalu kedua tangan yang semula berada di pinggang perempuan itu, mulai melayang ke udara, perlahan.
Seperti sayap. Seperti angsa yang menyambut hari.
Maka aku menutup mulutku, buru-buru bersembunyi kembali, dan menonton pertunjukkan dadakan yang begitu indah itu.
Tak lama, perempuan itu meraih ponsel dari saku. Menekan sesuatu di sana. Musik mengalun, lalu perempuan itu melepaskan blazer yang dia kenakan, memperlihatkan kemeja putih berumbai di bagian lengan. Ponselnya dia letakkan di sisi pegangan atap, beralaskan blazer miliknya.
Di antara tiupan angin kencang dan terik matahari Jakarta sore, wanita itu menari.
Tanpa sadar aku tersenyum, mengingat kali pertama aku melihat perempuan itu seraya menonton penampilannya hari ini terasa begitu menenangkan. Perempuan itu begitu hidup.
Mengapa dia terjebak di hutan beton ini, di antara jam macet ibukota, di tengah manusia-manusianya yang individualis?
Mengapa dia tak ada di sebuah studio berlantai kayu licin dengan langit-langit tinggi dan dinding-dinding berkaca, bersama murid-murid dengan kaki dan tangan yang mungil, pipi-pipi gembil?
Mengapa dia tak berdiri di tengah panggung luas dengan tirai merah beludru, di bawah lampu sorot, diiringi orkestra, dan ditonton ratusan penggemar setianya?
Mengapa dia berada di tempat sepi ini, di bawah langit yang dipenuhi polusi jorok, di gedung kantor yang liftnya selalu penuh di waktu pagi, dan orang-orang yang selalu berlomba tentang siapa yang lebih sukses, siapa yang lebih up-to-date, siapa yang lebih disukai?
Mengapa aku berada di sini?
Tiba-tiba aku tak berselera melihat tarian perempuan itu. Aku kembali bersembunyi, bersandar pada tembok dan memeluk kedua lututku erat-erat.
Perempuan itu beruntung, dia memiliki bakat yang bisa membawanya pergi kapan saja dari sini. Pelariannya bukanlah tempat, dia bisa pergi ke surganya kapan pun dia mau, dengan tangan dan kakinya yang jenjang dan gerakannya yang seperti angsa.
Ah, mungkin saja dia sama sekali tak perlu melarikan diri. Mungkin dia bekerja hanya untuk mengisi waktu. Mungkin semua orang di kantor menyukainya, mungkin atasannya mengaguminya, mungkin mereka sedang kalang kabut mencarinya saat ini. Mungkin dia hanya butuh berlatih untuk pertunjukannya yang sudah dekat. Mungkin dia tak pernah butuh memilih hidup mana yang harus dia jalani, dia bisa memiliki keduanya: karir dan mimpi.
Bagaimana mungkin aku bisa dengan lancang berpikir bahwa kami ada di sini untuk alasan yang sama?
Bagaimana mungkin terlintas dalam pikiranku bahwa dia akan mau berteman denganku yang aneh ini?
Mendadak ada bunyi derit yang mengganggu lamunanku. Seseorang dengan kasar membuka pintu akses atap yang berada di belakang dinding tempatku bersembunyi. Suara langkah wanita itu terhenti, menyisakan irama denting piano yang masih mengalun dari ponsel miliknya.
“Freya? Kamu di sini?” sapa seseorang dengan suara berat, kutebak suara seorang pria.
“Hey, kenapa?” Perempuan yang ternyata bernama Freya itu langsung menyahut. Suaranya merdu sekali. Aku tak bisa melihat raut wajahnya, tapi aku bisa merasakan perempuan itu berbicara seraya tersenyum.
Suasana hening sejenak, hanya terdengar langkah sepatu pantofel berbunyi tak-tak-tak yang kutebak merupakan si pria yang menghampiri Freya.
“Kenapa? Bu Eva nyariin gue, ya?” tanya Freya dengan napas sedikit terengah.
“Ah, enggak. Bu Eva kan emang lagi keluar, gak bakal mungkin balik kantor kalo udah jam segini.”
Aku merapatkan kedua lututku. Membenamkan wajahku dalam-dalam. Aku tak suka pria ini. Kenapa dia harus mengganggu perempuan itu menari?
“Lo ngapain di sini? Ini lagu klasik?”
Freya tertawa kecil menanggapi pertanyaan pria itu. “Gue lagi nostalgia jaman sekolah dulu. Bosen duduk di kubikel terus.”
“Oh…” kata-kata Freya hanya ditanggapi pria itu dengan gumaman. Beberapa detik kemudian suara denting piano dari ponsel Freya berhenti, suasana menjadi sedikit hening, hanya ada hembusan angin dan samar-samar klakson dari jalan raya di bawah sana.
Mendadak, aku merasa kembali sendirian. Aku tak suka perasaan ini.
“Kok lo tahu gue ada di sini?” Tanya Freya kembali membuka pembicaraan.
“Gue denger dari Mas Agil—Lo tau Mas Agil kan? Satpam yang suka di lobi, yang pacaran ama OB kita Mba Laksmi?”
Tidak ada suara dari Freya tapi aku membayangkan mungkin Freya menjawab pertanyaan pria itu dengan gestur. Pria itu meneruskan kata-katanya tak lama kemudian.
“… katanya Mas Agil, pegawai gedung lagi pada heboh karena di atas suka ada suara musik udah seminggu ini. Pintunya juga suka kebuka. Padahal harusnya area ini dikunci dan ga ada yang boleh naik.”
“Bisa tuh, kuncinya nyangkut di pintu, kemarin,” tukas Freya cepat.
“Hah? Terus?”
“Terus gue bawa aja kuncinya. Gak ada yang di atas juga pas gue cek. Maksudnya mau gue balikin ke satpam bawah, tapi lupa terus. Jadi yaudah gue main-main aja di sini kalo bosen,” jawab Freya sambil lalu.
Aku bisa mendengar suara pria itu tergelak pelan. “Ah bikin heboh aja lo, anak baru.”
“Emang kenapa? Lagian siapa juga ninggalin kunci seenaknya gitu?”
“Nah iya, gue rasa ada pegawai yang lupa kali ya, abis ngecek toren atau apa. Harusnya emang gak ada yang boleh ke sini. Cuma tadi si Feni bilang liat lo naik lift terus liftnya berhenti di lantai paling atas. Jadi gue penasaran, apa mungkin lo yang ke sini. Gue tanya Mas Agil, dia pas lagi nyamperin Laksmi di pintu darurat, yaudah deh gue jadi tau cerita itu.”
“Kenapa ga boleh ada yang ke sini?”
Suasana kembali hening. Aku beringsut berdiri perlahan. Takut kalau-kalau pergerakanku terdengar dan mereka tahu aku sedari tadi sedang menguping.
“Dulu ada yang loncat dari atap, Frey. Dari sini.”
Aku tidak mendengar komentar apapun dari Freya. Aku ingin segera melarikan diri dari tempat ini. Kedua kakiku menjejak lantai. Jari-jari dan telapak kakiku terasa dingin menyentuh semen. Angin mendadak berubah kencang, awan berwarna semburat abu-abu, sebentar lagi hujan akan turun.
“Gue gak kenal, tapi katanya anak divisi marketing dari kantor di lantai 14 atau 15 gitu. Kejadiannya 2 tahun yang lalu, waktu gue baru-baru masuk juga.”
Aku berdiri tegak, merapihkan ujung-ujung rok coklatku yang kotor dengan warna merah kehitaman. Aku harus cepat pergi dari tempat ini, aku tak mau mendengar kisah ini. Aku berjalan pergi menuju ujung atap, berlawanan arah dari Freya dan si pria. Aku meraih ujung pegangan, menaikkan sebelah kakiku pada sisi tembok setinggi pinggang. Mendadak aku teringat hari itu. Hari itu berhujan. Aku merasa kelewat lelah. Aku muak dengan hidupku, dengan macetnya jalanan dan padatnya angkutan umum yang harus kuhadapi. Maka aku naik ke tempat ini. Tanpa sadar aku melepaskan sepatu dan aku melakukan hal itu.
Aku bisa mendengar sayup-sayup suara Freya di kejauhan.
“Gue tau. Itulah kenapa gue menari di sini. Perempuan itu terlihat kesepian. Gue juga bosan jadi kenapa gue gak menari saja untuk menghibur dia. Sayang, kalau saja kami bertemu lebih cepat, mungkin kami bisa berteman.”
Tubuhku limbung ke depan, aku memejamkan mata. Ujung-ujung kakiku berpisah dari ujung tembok atap. Untuk kesekian kalinya, aku menyambut terpaan angin yang menyapa wajahku, membayangkan hutan beton dan pohon-pohon di bawah sana.
Ah iya, seandainya saja aku menunggu sedikit lebih lama, mungkin aku akan bisa menari bersama Freya di tempat ini.

Writer’s note:
Lagu “Concrete Jungle” oleh Au/Ra mengingatkan ketakutan lama saya akan rutinitas kantor. Betapa bagi sebagian orang, mengais rezeki itu berlangsung seperti ini: berangkat pagi, berdesakan dengan puluhan orang yang tidak dikenal, menghadapi atasan, mengerjakan hal-hal yang tidak selalu dipahami, mengobrol dengan orang-orang yang tak selalu disukai, merasa salah bicara, lalu pulang dan harus kembali berdesakan kembali untuk akhirnya bisa merasakan empuknya peraduan, namun tidur yang kurang nyenyak karena diwarnai ketakutan harus menghadapi esok hari.
Terus-terusan berusaha untuk membuktikan diri. Tapi tak pernah merasa cukup puas dan bangga dengan diri sendiri.
Butuh waktu untuk akhirnya saya paham, bahwa semuanya adalah masalah perspektif. Tidak perlu menjadi seseorang yang disukai, tidak perlu menjalani hidup yang sama persis dengan orang lainnya, tidak perlu berhenti mengejar mimpi, tidak perlu menjalani rutinitas yang tidak diinginkan, tidak perlu bertahan di situasi yang tidak menyenangkan.
Tidak perlu. Tapi terkadang rasa takut membuat seseorang berpikir bahwa, semua yang ada hari ini adalah keputusan final. Kita terlalu sering mendengar bahwa semua keberhasilan di masa depan adalah langkah kecil dan kesabaran yang kita tanam sejak detik ini. Maka kita harus sabar. Kita harus diam. Semua orang bisa, kenapa kita harus menjadi si manja yang merengek tak betah?
Ada betulnya, tapi sebelum bersabar, tidakkah kita perlu tahu keberhasilan macam apa yang kita inginkan nantinya?
Sekadar beristirahat sebentar untuk melihat ke dalam tak ada salahnya. Untuk tahu bahwa kita sedang mengarah ke tempat yang benar.
Beberapa orang cukup beruntung. Bertahan namun bisa cuek dengan pandangan orang. Namun, masih banyak orang-orang yang terjebak di hutan beton yang sama, penjara di pikiran mereka.
Mungkin, kita juga sesekali harus melepaskan sepatu. Merapatkan kursi ke dinding, melepas blazer, naik ke atas meja, lalu menari. Mengungkapkan apa yang ada di dalam hati, berteriak dan menyanyi tak peduli.
Ada yang akan memandang sinis dan menyingkir, tapi kita tak pernah tahu siapa yang tertawa dan ikut menari di samping kita. Terhibur, karena mereka tak sendiri.
Kita tak sendiri. Kita yang ada hari ini tidak akan sama esok hari. Semua bisa berubah. Mereka akan berubah. Tapi satu hal yang sama, ada orang yang merasakan apa yang kita rasakan. Kita tak pernah benar-benar sendiri.