Review Film: Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020)

Review Film: Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2020)

Senang rasanya saat tahu bahwa awal tahun 2020 dibuka dengan film Indonesia berkualitas: Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (2019) yang diangkat dari buku prosa berjudul sama tulisan Marcella FP (creator Generasi 90an). Biasanya, saya jarang memilih genre drama keluarga untuk film yang saya mau tonton di bioskop (saya lebih suka Star Wars, Terminator, atau film2 dengan heavy visual lainnya), tapi review2 Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini (selanjutnya disingkat NKCTHI) yang mengalir dari teman, kenalan, dan suara-suara social media selalu penuh puja-puji, jadi saya bulatkan, saya harus menyempatkan diri untuk menonton NKCTHI.

Sebelum menonton, saya membaca buku NKCTHI, tapi jujur, saya tidak terlalu terkesan dengan bukunya. Kata-katanya memang indah, bijaksana, tapi untuk selera saya kurang mengena. Apa mungkin saya yang kurang paham cara menikmatinya, saya juga kurang tahu. Tapi film adaptasinya, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini yang disutradarai oleh Angga Dwimas Sasongko, diproduseri oleh Anggia Kharisma, dan naskahnya dituliskan oleh Jenny Jusuf dan Angga Dwimas Sasongko, harus saya akui, luar biasa.

Mengena. Akan diingat untuk waktu yang lama.

(ki-ka): Awan, Angkasa, Aurora

The Story

Film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini berkisah tentang sebuah keluarga. Ekonominya menengah ke atas. Bapaknya, Pak Narendra, sudah lama bekerja di sebuah perusahaan yang mapan. Ibu, Ajeng namanya, berprofesi sebagai Ibu rumah tangga. Serta 3 orang anak. Anak pertama, sulung, bernama Angkasa. Anak kedua, anak tengah, bernama Aurora. Dan anak ketiga, bungsu, bernama Awan.

Dari luar keluarga ini harmonis, dari dalam pun, keluarga ini seakan mencoba meyakinkan diri bahwa mereka harmonis, namun sebenarnya mereka memendam kekesalan dan kesedihan. Yang mereka tumpuk dan tumpuk sendirian, hingga akhirnya saat masing-masing dari mereka bertanya: apa yang salah dari mereka, apa yang berbeda—tak ada yang cukup berani untuk bertanya satu sama lain tentang apa yang dirasa.

Angkasa, anak laki-laki sulung, bekerja di sebuah event organizer/promotor. Sebenarnya sudah lama ingin hidup mandiri, ingin menikah dengan kekasihnya, Lika, tapi terpaksa menahan diri karena keluarga.

Aurora, anak perempuan pertama, si anak tengah, seorang seniman yang sedang mempersiapkan pameran tunggal pertamanya. Sudah putus asa mencoba untuk membuktikan diri. Berkali-kali seakan mengingatkan, untuk tidak berharap dan sakit hati lagi. Tapi selalu kecewa, dan itu berarti diam-diam dia masih bertanya: apa nilainya di dalam keluarga?

Awan, si bungsu yang ceroboh. Ingin mandiri, ingin bisa menjadi kuat, ingin tahu bagaimana caranya beradaptasi, ingin diterima di masyarakat, ingin membuktikan diri. Tapi berkali-kali harus terjerembap, merasakan sakit yang lebih dari yang seharusnya, karena keluarga.

Kalau semua luka, semua duka, terjadi dan dirasakan atas nama kasih sayang, apakah sayang itu perlu adanya? Kalau itu datangnya dari keluarga, apa itu berarti harus diterima dengan senyum yang dipaksakan begitu saja?

The Spoiler

Udin ya, segitu aja pengantarnya. Berikut review penuh spoilernya:

Gue nangis. Nahan2 diri gak nangis (padahal ngapain juga, orang nontonnya sendirian) tapi gak bisa. Mbak sebelah kanan gue (gak kenal) yang pertama sniff sniff gitu ngapus2 air mata. Gue tadinya membatin “meh. Kenapa nangis?” lalu gak lama mata gue pedih2. Tengah film ampe akhir udahlah ngapus2 air mata berdoa supaya ga ingusan.

Kamvret sekali filmnya.

Lanjut ke momen2 di film yang bikin kesel lainnya:

  • Pertama pas bapaknya marah2 ke Angkasa pake meluk2 leher. Tiap liat rasanya stress pegel.
  • Pas pelatih renangnya Aurora bilang: “Kalau gak bisa gak apa-apa kok, selalu ada yang gantiin.” Perlu psikotest gak sih untuk orang2 yang akan bekerja dan berinteraksi dengan anak kecil dan remaja. Gak perlu banget deh kayak gitu.
  • Jelas soal Kale. Tapi somehow bisa dipahami sih. Semua orang datang dengan baggage-nya masing-masing. Itu baggage-nya Kale: pernah komitmen terus disakitin, kecewa, dan gak pengin mengalami hal yang sama.
  • Kenapa kembarannya Awan gak dinamain Angin sekalian, kenapa cuma ‘A’ ajaaa
Kale dan Awan lagi nyebrang jalan cie cie

Kenapa Film NKCTHI bagus

Gue merasa, filmnya bagus karena scriptnya beneran matang dan aktingnya pada keren. Donny Damara ama Rio Dewanto aku padamu. Sheila Dara aku padamu. Ardhito Pramono bahkan aktingnya bagus.

Plotnya keren, tapi karakterisasinya sih menurut gue yang nomor 1. Contohnya karakter Awan, si anak bungsu yang selalu dilindungin, saat dia ternyata jadi sedikit keras kepala dan semaunya sendiri pas udah gede, terus jadi susah menerima perintah atasan, gue rasa masih masuk akal.

Pun soal Aurora si anak tengah yang masa kecilnya jadi dikit2 harus melihat Awan dianakemaskan sama bapaknya yang obsesif, terus jadi depresi, dan gedenya jadi seniman. Jadi susah percaya ama orang, gak sekali pun di film digambarkan Aurora punya sahabat, atau teman dekat.

Ibunya yang begitu tahu bahwa hanya Awan yang selamat saat proses kelahiran sementara anaknya yang lain (si A) meninggal, terus jadi baby blues dan sempet gak bisa mengurus Awan, terus jadinya sedikit berjarak dengan Awan setelah dewasa (ibunya keliatan lebih banyak ngungkapin sayang selama film ke Aurora justru), itu juga menurut gue masuk akal.

Dan ayah Awan, yang setelah istrinya baby blues dan gak bisa ngurus Awan, jadinya beliaulah yang gendong dan merasa harus menyayangi awan 3 kali lipat: untuk menggantikan porsi si A yang udah meninggal, dan untuk menggantikan peran ibu, terus jadinya super obsesif, itu pun menurut gue wajar.

Dan Angkasa, yang merasa harus menjadi perekat untuk semuanya. Yang sejak kecil sudah diembankan tanggung jawab dan trauma, dan jadi punya kebimbangan untuk pergi dan menjalani hidup dia sendiri, karena takut semua akan hancur kalau dia tak ada di sana untuk menopang, itu pun wajar.

Karakterisasinya rapi, ya?

Dan ceritanya juga sesuai sama tema buku NKCTHI sendiri. Ada naik, ada turun. Ada berhasil, ada gagal. Semuanya ada. Gak semuanya seneng. Gak semuanya sedih.

Tapi kalau diceritain, kalau kita mau terbuka, mau memberanikan diri untuk ngomong keluh kesah kita sedikit aja, selalu ada kesempatan untuk bisa refleksi dan mencaritau:

apakah yang kita rasakan itu wajar

bagaimana cara mengatasinya

dan bahwa semua baik2 saja.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *