Aku Punya Rencana.

Tulisan ini terinspirasi dari lagu “Topik Semalam” karya Kunto Aji.

Kau jangan takut (jangan takut)
Aku punya rencana
Kau jangan takut
Walau semua masih ada di kepala

(“Topik Semalam” – Kunto Aji)

———

Katakan. Ayo katakan, saja.

Tak usah berlama-lama, langsung kau ungkapkan saja.

Katakan bahwa kau kecewa. Katakan bahwa kau marah. Katakan bahwa kau tak lagi mau menunggu, tak lagi mau mengerti, tak lagi mau mendengarkan kata-kataku.

Karena sesungguhnya, semuanya akan jauh lebih mudah kalau kau berhenti bersabar. Akan jauh lebih mudah kalau kau berhenti mengelu-elukanku dan segera sadar. Di atas itu semua, aku sudah tahu apa yang sedari awal kau sembunyikan, maka bantulah aku, berhenti pura-pura dan mari kita selesaikan.

“Cuma 6 bulan…” ujarku memecah hening. Lebih kepada mengingatkan bahwa pembicaraan ini belum selesai.

Perempuan di sampingku mengalihkan pandangannya dari pemandangan taman kota di luar jendela mobil tempat kami berteduh dari hujan rintik-rintik. Kuperhatikan tatapannya turun pada kuku-kukunya yang dipotong rapi, dipulas merah jambu dengan sedikit aksen putih bening di ujungnya. Kalau aku tak salah lihat, ada sedikit cahaya di sudut mata perempuan ini. Sudahkah air matanya jatuh? Atau ini baru permulaan saja?

Aku menghela napas, memutuskan untuk berganti melihat sekeliling. Meski titik air terlihat menghiasi jendela depan CRV yang kukendarai, di luar sana gerobak warna-warni penjaja kaki lima masih terlihat ramai dikerubuti. Kwetiauw, sate ayam, nasi goreng, bakso — pilihan menu makan malam di sini tak pernah berubah. Sejujurnya, aku bosan dan ingin mencicipi sesuatu yang baru, tapi parkiran di sekitar taman kota ini sudah lama menjadi destinasi untuk menghabiskan malam minggu, juga untuk membicarakan hal-hal serius seperti ini.

Kulirik kembali perempuan itu. Masih belum terlihat ada tanda-tanda dia akan menyahut atau membuka suara. Berbeda sekali dengan mantanku si Elsa yang tak akan pernah bisa menyembunyikan isi hati, atau Vivi yang terus memaksaku untuk menjadi pendengar yang baik. Perempuan yang satu ini lebih banyak diam saat berpikir, lebih banyak mendengar, dan itu membuatku sedikit tidak tenang. Seakan ada yang terlewatkan dari perhatianku, ada yang belum kupertimbangkan matang-matang. Karena kalau memang semua perhitunganku benar, tidak seharusnya dia hanya terpekur sunyi.

Baiklah, kita akan tunggu sekitar 60 detik lagi, kalau dia tak juga bereaksi, aku akan ikuti rencanaku berikutnya.

Ah lupakan, aku akan coba sekali lagi.

“Cuma 6 bulan, Ra. Ada yang harus aku urus di sana. Nanti mungkin tim lokal yang akan bantu teruskan untuk akuisisi di Bali ini. Tapi harus aku dulu yang turun tangan,” ujarku lagi, kurang lebih merangkum semua yang sudah kujelaskan beberapa menit yang lalu.

Perempuan itu melirik ke arahku kemudian berkata, “Kamu sudah cerita itu barusan.”

Apa aku tidak salah dengar? Kupikir aku ini orang paling kurang peka. Setidaknya begitulah kata Melisa saat kami akhirnya berpisah setelah setahun dekat, juga Ovi, setelah 3 bulan kami bersama.

Tapi cewek yang satu ini…

“Aku cerita karena aku ingin tahu apakah kamu punya pendapat soal itu,” jelasku setengah tak sabar.

“Kamu tidak meminta pendapatku tadi.”

Aku baru saja akan menangkis kembali, tapi perempuan itu menyambung kata-katanya, maka aku terpaksa mengurungkan niat untuk bicara.

“Oke,” jawabnya.

Suasana hening beberapa detik. “Oke?” ulangku.

Perempuan itu mengangguk-angguk. Bibirnya berkilat-kilat terkena sinar lampu jalan di luar sana.

“Oke,” ucapku lagi seperti Beo.

Lalu kami kembali tenggelam dalam pikiran masing-masing. Di luar sana hujan menjadi sedikit lebih deras, udara menjadi sedikit lebih dingin karena pendingin yang tetap dinyalakan.

Coba kuingat lagi. Siapa nama lengkap perempuan ini? Rara Illona Setya. Dua huruf L di nama tengahnya. Kapan tanggal lahir perempuan ini? 17 Maret, aku pernah lihat infonya di akun Twitter miliknya — itu berarti aku harus mempersiapkan hadiah untuknya sekitar 4 bulan lagi. Aku sudah hampir setahun bersamanya dan aku masih harus mengecek dua kali apakah aku benar-benar sudah mengenal perempuan ini atau belum.

“Tapi selama 6 bulan itu, aku belum tentu bisa selalu kembali.”

Aku melihat perempuan itu merogoh tas miliknya, mengeluarkan sekotak Pocky, membuka bungkusnya dan memasukkan sebatang tipis ke mulutnya. Disodorkannya bungkus itu padaku, tak mau banyak berpikir, aku mengambil satu.

“Oke.”

“Tapi itu berarti, mungkin aku tak akan bisa menemui orangtuamu bulan Februari nanti.”

“Tak apa, nanti aku yang akan beritahu mereka,” katanya sembari mengunyah batang Pocky kedua.

Memoriku melayang pada momen sebulan yang lalu, waktu itu tanpa sengaja aku bertemu dengan Ibu Rara saat aku tengah menunggui Rara di klinik tempatnya bekerja. Ibunya, yang memaksaku memanggilnya ‘Bunda’, yang baru bertemu denganku beberapa kali saja (itu pun hanya sebentar saat aku mengantar Rara pulang), menitipkan dua kotak kue untuk kubawa pulang (“Bunda baru saja mampir toko kue teman Bunda di dekat sini. Tadi Rara bilang bahwa kamu yang akan jemput dia hari ini, jadi Bunda sekalian mampir saja.”). Seraya membuka salah satu kotak kue sus miliknya dan memintaku mengambil satu (“Yang ini unik. Rasa keju.”), beliau berkata secara tidak langsung bahwa Rara sudah cukup matang untuk berumah tangga.

Lalu semua basa-basi itu berujung pada pertanyaan apakah aku dan orangtuaku bisa datang pada pernikahan kakak laki-laki Rara di bulan Februari nanti.

Belum ada yang serius. Belum ada hitam di atas putih. Tapi ini bukanlah kali pertama Ibu Rara memintaku membawa serta orang tua dalam hubunganku dengan Rara.

Jadi aku sangat tahu rencana-rencana ini akan mengarah ke mana. Tapi tunggu dulu.

Aku punya rencana.

Tapi rencanaku tidak akan bisa sukses kujalankan, kalau Rara tak kunjung bereaksi dengan topik yang sudah kutawarkan padanya.

“Aku jadi tidak enak pada Bunda,” ujarku pada Rara.

“Bundaku? Kenapa?”

“Karena Bunda sudah beberapa kali memintaku mengajak Papa dan Mama ikut serta.”

Rara mengernyit, bibirnya menipis. Raut yang kuhapal benar, yang akan muncul saat ada yang dianggapnya kurang logis. Mendadak aku jadi sedikit panik, maka aku kembali membuka suara.

“Sepertinya Bunda… ingin kita serius.”

Rara tertawa kecil, kemudian melambaikan tangan, “Jangan dipikirkan. Santai saja. Apapun yang pernah dikatakan Bundaku padamu, tak usah kau pikirkan terlalu lama.”

Mendadak lidahku kelu. Ini sungguh berbeda dengan apa yang pernah kuhadapi dengan orangtua mantanku, Nidia. Pasangan suami istri pemilik restoran Padang itu langsung kecut wajahnya saat kubilang aku masih ingin merintis karier dulu. Hari-hari berikutnya, kedatanganku tak lagi disambut baik, dan berakhir dengan Nidia yang dijodohkan dengan seorang pemuda yang katanya kerabat jauh ibunya dari Pariaman sana.

Sialnya lagi, si Nidia langsung mengiakan dan memutuskanku saat itu juga.

Apa memang perempuan itu yang dipikirkan hanya menikah saja? Setidaknya begitu yang kupahami selama ini. Kalau aku tak langsung minta putus dengan Bella, si wanita cantik klienku yang 4 tahun lebih tua itu, aku yakin dia akan mengajakku mengarungi bahtera rumah tangga juga.

“Jadi?” tanyaku seperti orang mengigau.

Rara melirik ke arahku. Kedua alisnya naik ke atas, seakan aku baru saja menanyakan hal paling bodoh di dunia.

“Kalau orangtuamu mau aku dan kau serius tapi aku harus menunda. Apa yang harus kita lakukan?”

Rara menyentuhkan jari-jarinya pada rambutnya yang lurus sebahu. Mencibirkan sedikit mulutnya. “Kita tidak harus berbuat apa-apa. Ya dijalani saja.”

“Tapi aku akan pergi 6 bulan.”

“Pergilah selama 6 bulan,” ucapnya santai tanpa jeda. Tanpa ragu. Membuatku semakin tidak sabar.

“Tapi kita tak akan bisa bertemu.”

“Kita tidak harus bertemu kalau kau tidak mau menemuiku,” jawabnya lagi dengan lebih lembut. Kali ini diletakkannya kotak Pocky miliknya pada dasbor, kemudian disentuhkannya sebelah punggung tangan pada pipiku. Aku menelan ludah. Mendadak bibirku terasa kering.

Senyum itu lagi. Senyum yang seakan tahu apa yang sedang kupikirkan dan kuinginkan sedari awal. Senyum yang seakan tahu bahwa ada beberapa hal yang tidak perlu diucapkan, hanya perlu dirasakan.

Senyum yang membuatku sebal, karena sia-sia sudah semua rencanaku tentang apa yang harus dikatakan saat lawan bicaraku mengambil langkah ke kiri atau ke kanan. Perempuan ini curang luar biasa. Dia tidak bermain sebagaimana mestinya.

“Apa Bunda tahu bahwa kamu belum mau menikah?”

“Bunda tidak tahu apa-apa tentangku, dia sibuk dengan asumsi dan pikirannya sendiri,” jawabnya dengan nada suara begitu manis. Perempuan yang beberapa lalu seperti pertapa ini sekarang bersikap begitu menggoda. Tangannya mulai memainkan anak-anak rambut di sekitar tengkukku. Sial.

“Jadi hanya aku yang tahu?”

Kedua alisnya kembali mengernyit. Aku seakan bisa mendengar kata-kata yang tak diucapkan Rara lewat bibir mungilnya: aku tak pernah bilang bahwa kau tahu segalanya tentangku. Aku juga baru ingat bahwa dia tak pernah bilang dia tak ingin menikah. Mendadak aku ingin mengubur diri.

Aku berdeham. Menempatkan sebelah tanganku pada setir. Mataku mencari-cari sesuatu di luar sana, tapi aku sendiri tak tahu apa. Pemandangan di luar semakin buram, hujan semakin deras.

“Lakukan apa yang kau mau. Pergilah kalau perlu. Jangan takut. Kau tidak salah,” katanya setelah sekian lama kami terpekur dalam diam.

Aku menaikkan sebelah tanganku. Menggenggam jemarinya. Merasakan kulitnya yang halus. Menahan diri untuk mengecup dan membenamkan wajahku di sana.

“Bagaimana denganmu?” tanyaku seraya menatapnya lurus-lurus.

“Oh, Kei. Tenang saja. Aku punya rencana.”

Lalu kulupakan semua yang sudah kupersiapkan sedari awal. Kurengkuh dan kuhirup aroma perempuan ini dalam-dalam. Bagaimanapun caranya akan kubuat dia menyerah. Kubuat dia berserah. Dia tak seharusnya berencana. Tidak tentangku. Tidak tanpaku.

——

Catatan Penulis:

Beberapa kali saya berpikir, saat kita mengaku mengenal seseorang, berapa banyak dari kita yang benar-benar tahu, bukan sekadar menghimpun stereotipe tentang orang tersebut sesuai dengan gender, umur, pekerjaan, tingkat pendidikan, dan berpikir bahwa kita sudah bisa menebak: apa yang dia inginkan? apa yang dia pikirkan?

Saya juga berpikir, saat kita merasa sudah mempersiapkan semuanya, sudah mengukur langkah, menakar harapan, mencegah luka, berpikir kitalah yang sedang bermain dengan takdir: berapa banyak yang bisa menerima, bahwa kitalah yang selalu pasrah menerima, hanya akal dan defense mechanism kita yang semakin lihai bicara?

Saat mendengar lagu “Topik Semalam” dari Kunto Aji, saya terpikir tentang tokoh Kei yang selalu merasa berpikir lima langkah ke depan. Selalu mencari tanda awal, sebelum menghubungkannya ke sebuah teori, dan menganggap dia sudah tahu segalanya tentang apa yang sedang dia hadapi. Lalu memutuskan sesuatu itu adalah project yang tak lagi menarik disimak, dan merasa dia sudah melihat semuanya, padahal di balik lemarinya hanyalah kumpulan hal-hal yang hanya sedikit dia sentuh dan tak ingin dia miliki lagi, karena takut membuang waktu dan energi?

Tentu saja, yang paling mudah adalah membuat cerita tentang perempuan yang menuntut kejelasan dan laki-laki yang selalu menghindar karena ingin segalanya berjalan sempurna. Tapi saya memang lebih suka menambahkan twist yang tidak diduga-duga.

Atau setidaknya begitu yang saya pikir akan tersampaikan. Saya hanya bisa berencana.

😉

Amanda.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *