*Cerita ini dibuat dalam rangka program Hear and Write.
In a perfect world I’d kill to love you the loudest
But all I do is live to hurt you soundless
Say you see I’m lying babe and let this go
I can never promise you tomorrow
(Anaheim – Nicole Zefanya / NIKI)
Dari mana sebaiknya kita mulai saling menjelaskan?
Ataukah lebih baik kita sudahi diskusi ini, memaksa titik, meregang jeda, agar kita bisa berhenti saling mencari?
Mencari sosok yang tak lagi ada di hadapan kita saat ini?
Aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Mungkin 10 menit. 30 menit. Sedari tadi kita hanya berbicara sepatah dua patah kata. Di sela topik ringan yang tak pernah selesai kita bahas, kau hanya memandang dan meneliti apapun selain diriku, mencuri lirik saat kau pikir aku tak melihat ke arahmu.
Dan begitu pula denganku.
Apakah kau lelah, Sayangku? Apakah kau ingin pergi?
Dari kafe tempat kita berada saat ini? Dari hidupku?
“Katakan sesuatu,”
Telunjuk kananku bergerak menekan tombol di sisi smartphone yang menjadi fokusku sedari tadi. Sepintas layar redup. Kuletakkan benda itu di atas meja, di samping secangkir kopi pahit yang belum habis kusesap. Kunaikkan pandangan ke arahmu.
Tatapanmu masih terpaku jauh, bukan padaku. Seakan bukan kau yang barusan membuka suara terlebih dulu. Matamu mengerjap. Sekali. Dua kali. Aku seakan bisa merasakan helaan napasmu, sebelum akhirnya kita saling menatap.
Mengapa tidak pernah kusampaikan padamu bahwa aku suka sekali warna bibirmu? Oranye pupus dibingkai coklat muda, di atas kulit berwarna kuning langsat. Dulu seringkali aku membayangkan rasanya seperti permen jeruk. Dan memang begitulah yang kukecap saat kukulum bibirmu pertama kali. Manis. Semanis cake coklat ulang tahunku setahun lalu yang kau beli dan antar ke kamar kosku malam itu, setahun yang lalu. Namun di kala itu aku tahu bahwa ada yang lebih membuatku terkejut, tekstur bibirmu seperti manisan buah peach.
Mengapa tidak pernah kusampaikan hal itu padamu? Senangkah kau jika tahu bahwa aku memuja bibirmu begitu rupa?
“Katakan apa?” ucapku kemudian, saat kau tak lagi meneruskan kalimatmu.
Kau menelan ludah. Bibir favoritku itu menipis. Kau menggigitnya. Mengecap ulang kalimatmu untuk beberapa waktu.
“Apa yang kau mau dari aku. Dari kita.”
Sesuatu bergejolak dalam diriku. Apa maksudmu? Bukankah kau yang lebih dulu memberi jarak? Kau yang lebih dulu berkata bahwa kau tak bahagia? Lalu kau yang mengajakku untuk bertemu di tempat ini, setelah dua bulan lebih komunikasi kita hanya sekadar formalitas belaka? Apa gunanya lagi kau bertanya apa yang kumau?
“Aku tak mengerti,” ujarku kemudian, berusaha meredakan kecamuk dalam hatiku.
Hidungmu mengempis, setitik air mata bergulir di sebelah pipimu. Terburu-buru kau menghapusnya. Mungkin ini sebabnya kau memilih untuk duduk di sudut ruangan yang tak banyak dilewati orang, di kafe yang tak pernah kita kunjungi sebelumnya.
Tak seperti tawa dan cumbu, luka tak untuk diingat lagi esok hari. Itulah mengapa kau mengajakku mengukir kenangan hari ini di luar dunia kita biasanya.
Apakah luka yang sedang kau rasakan saat ini, Sayangku? Bukankah aku yang seharusnya luluh lantak?
“Aku lelah.”
“Karena?” sahutku memburu.
“Aku lelah karena tahu bahwa kau tidak bahagia, tapi kau tak berkata apa-apa, dan aku pun tak bisa berbuat apa-apa.”
Detik itu, darahku seakan disedot habis. Aku ingin membantah. Aku ingin menggenggam tanganmu. Aku ingin mengecupmu. Membawamu pergi dari tempat ini. Bukankah itu yang seharusnya kulakukan? Setelah apa yang kau berikan kepadaku? Setelah apa yang kau korbankan untukku? Setelah apa yang kita lewati bersama?
Aku masih berpikir tentang apa yang seharusnya kulakukan saat kau kembali membuka suara.
“Berhenti,”
Aku mengernyitkan dahi, kau tahu kata-katamu butuh diperjelas.
“Berhenti mencari cara untuk menjaga perasaanku. Aku mencintaimu. Aku tahu. Kau sudah membuat keputusan sejak lama, kau hanya belum menyadarinya.”
Pikiranku melayang pada sesosok perempuan dengan rambut bergelung sedikit di atas bahu. Sudut matanya seperti kucing, hidungnya mungil. Dia tak suka makanan pedas, tapi penggila mangga asam. Suaranya terkadang masih kudengar dalam mimpi. Aku memuja bibirmu, tapi diriku merindukan segala hal tentangnya.
Mengapa aku hanya memanggilmu ‘Sayangku’ diam-diam. Mengapa tak pernah kukatakan bahwa bibir oranyemu indah dan menawan. Mengapa hubungan kita tak pernah ada nama. Tak pernah ada kepastian apakah aku akan senang saat dirimu cemburu, apakah aku akan bertanya apa kabarmu, apakah aku akan bersamamu bertahun-tahun setelahnya.
Karena dia, Sayangku. Karena aku telah telanjur bertemu dengannya, jauh sebelum kita bersua.
Tapi aku ingin mencintaimu. Namun itu berarti kau harus menunggu, dan aku tak sampai hati.
Kau menelitiku beberapa saat setelahnya. Aku tahu kau tengah berharap. Mungkin setengah berdoa bahwa kali ini aku akan membuka diri.
Tapi aku hanya bisa diam, membalas pandanganmu. Bertahan untuk tidak memutus tatapan terlebih dulu.
Tak usah menunggu, Sayangku. Begitu ujarku dalam hati.
Kau mengangguk pelan. Seakan mendengar apa yang tidak kusuarakan. Kau mengambil tasmu dan berdiri perlahan. Kursimu berderit pelan. Kau menatapku sekali lagi, kemudian berjalan menjauh. Aku melihat punggungmu yang berjalan pergi, menghilang di balik pintu kafe.
“Aku suka bibir oranyemu. Aku benar-benar suka bibir oranyemu.”
Setelah kau tak ada, baru aku membuka suara.
Aku tahu, Sayangku.
Kalau benar aku ingin mencintaimu. Aku akan memintamu untuk menunggu. Aku akan memberitahu apa yang menjadi kegundahanku.
Tapi aku membiarkanmu pergi.
Kurasa itulah jawabanku.
Writer’s note:
Saat mendengar lagu Anaheim yang dinyanyikan oleh Nicole pertama kali, saya teringat akan dilema hubungan yang sering dialami oleh orang-orang di sekitar saya dan pernah juga saya alami. Satu kali.
Atau mungkin beberapa kali. Baik saya pelakunya, atau saya yang terkena imbasnya, namun terlalu sombong untuk mengakui.
Yaitu saat hubungan berhenti di satu tempat, karena satu atau kedua pihak tak berani jujur akan perasaannya sendiri. Atau sengaja menutupi.
Dan betapa sulitnya untuk berpikir bahwa ini bukan kesalahan siapa-siapa, bahwa kalau ada korban dan pelaku, maka semuanya adalah korban dan semua adalah pelaku, bahwa semua itu mungkin terjadi semata-mata karena salah satu datang di waktu yang tidak tepat.
Bahwa saat banyak orang berpikir menuntut dan memohon adalah keegoisan semata, bukankah mungkin itu yang dibutuhkan untuk tetap bersama?
Bahwa saat banyak orang berpikir berkorban dan tetap bertahan adalah kebodohan yang sia-sia, bukankah mungkin itu yang dibutuhkan untuk nantinya sebuah hati akan luluh dan setia?
Tapi saat dua orang tak ingin bersama, tak ada yang bisa dilakukan hidup untuk mempersatukan mereka.
Mereka akan memisahkan diri dengan sendirinya.
Begitu bukan kesimpulannya?
Rainy Amanda.