*Cerita ini dibuat dalam rangka program Hear and Write, terinspirasi dari lagu Little Souls by Nicole Zefanya.
Ingatkan aku lagi.
Kisah tentang parkit kuning milikmu, yang suatu hari bersamanya kita mengadakan pesta minum teh.
Aku dengan gaun biru berenda milikku, yang sengaja kupasangkan dengan celemek putih kebesaran yang kupinjam diam-diam dari dapur ibuku. Kau dengan topi tinggi dari kertas buatanmu dengan guntingan yang tidak rata di sisi-sisinya serta dasi bergaris merah marun milik ayahmu yang kau ikat menyerupai pita di leher.
Kardus yang kita gunakan sebagai meja telah lengkap dengan sedikit biskuit lidah kucing, serta poci dan cangkir mainan yang kubawa dari rumahku yang berada di ujung jalan. Tak ada kursi, kita hanya berjongkok tanpa peduli tanah dan rumput yang menyapa ujung pakaian dan kaki. Dahan-dahan pohon rambutan di kebun belakangmu menjaga kita dari sinar matahari yang terik. Kita sedang berpura-pura menjadi Alice dan Mad Hatter yang baru saja kita tonton pagi tadi di VCD player.
Saat akhirnya aku mengangkat poci, siap berpura-pura menuangkan teh ke cangkir plastik berwarna pink, suara kepakan sayap terdengar dari kandang yang menggantung dari atap yang menjorok di sisi rumahmu, tidak jauh dari pohon yang menaungi kita. Si Kuning, begitu kau biasa memanggil parkit kuningmu, mengepak-ngepakkan sayapnya di dalam kandang. Parkit itu menempelkan cangkarnya di jeruji sangkar.
“Kuning ingin ikut pesta,” ujarmu seraya memperlihatkan dua gigi depanmu yang baru saja tanggal karena permainan sepeda kita seminggu yang lalu.
Tanpa bicara, aku langsung tahu apa rencanamu. Maka kita berdua segera bekerja. Aku mengambil sedikit biskuit lidah kucing dan satu cangkir plastik mungil. Kau berjalan menuju ujung taman, mengambil undakan rendah plastik yang biasa digunakan Mba Min, asisten ibumu, untuk mengambil buah rambutan yang telah matang.
Tak perlu lagi berdiskusi, kita tahu siapa yang akan memanjat naik ke atas undakan untuk menjangkau kandang Si Kuning. Aku berjaga, memegang salah satu sisi pinggangmu seraya menengok ke kiri dan kanan. Waspada memperingatkan kalau-kalau Mba Min muncul tiba-tiba. Sementara kau menjaga keseimbangan, memegang cangkir dan biskuit dengan sebelah tangan, seraya berusaha menarik kait dan membuka sangkar si Kuning dengan tangan lainnya.
“Kuning pasti kesepian, sejak si Hijau mati dia jadi pendiam. Ayahku bilang, minggu depan dia mau beli parkit baru untuk jadi teman si Kuning,” ujarmu seraya berusaha memasukkan cangkir ke dalam pintu sangkar. Lalu kau pun berteriak, pijakanmu goyah. Setelahnya, semuanya seakan bergerak lambat. Aku bisa melihat tubuhmu yang oleng, siap membentur tanah, cangkir yang terlempar ke sisi lainnya, dan si Kuning yang akhirnya terbang bebas dari sangkar.
Saat akhirnya lututmu mendarat terlebih dulu, kemudian kau berguling mengaduh kesakitan, aku hanya bisa berdiri mematung, terlalu terkejut, terlalu bingung, tak tahu apa yang harus kulakukan. Mata kita bertemu sejurus kemudian, lalu kita pun saling melempar seringai, mengikik dan tertawa. Ketegangan yang sebelumnya kurasakan hilang entah kemana. Lenyap seperti Kuning, parkitmu, yang akhirnya terbang bebas.
Membuatku bertanya-tanya, kemana semua sensasi itu pergi, mengapa hanya tegang yang kurasakan dari kehadiranmu hari ini?
“By the way, kenapa lo gak pesan Avogato-nya? Enak. Alpukatnya kerasa banget,” ujarmu seraya menyesap Ice Americano milikmu. Sebelah tanganmu memeluk gelas kaca yang memperlihatkan cairan hitam kecoklatan dengan es-es sebening kristal. Kuku-kukumu yang dipoles coklat muda terlihat mengilat sesekali, hampir senada dengan liptstick berwarna nude yang tidak pudar bahkan setelah kau memulaskan tisu berkali-kali.
Gerak-gerikmu terasa sangat hati-hati, anggun, terencana. Jarimu bergerak lentik mengambil dan meletakkan gelas, berbicara, menyisipkan ujung rambut ke belakang telinga, untuk kemudian mengulang hal yang sama.
Teman kecilku yang dulu tak masalah dengan gigi yang tanggal, luka di lutut, gaya yang tomboy, atau topi karton konyol ala Mad Hatter yang dibuatnya dari sisa halaman kalender lama. Apakah kau masih akan mengiakan, jika seseorang mengajakmu melakukan hal yang sama?
Aku kembali menyebutkan tentang parkit kuning-mu, melanjutkan nostalgia yang sedang kubawa kembali ke kafe tempat kita berada saat ini. Bukan di bawah pohon rambutan, tidak beralaskan tanah dan rumput, setelah sekian lama tak bersua dan bertanya kabar, kau mengajakku bertemu di sebuah kafe dengan dekorasi bohemian, di tengah mall ternama ibukota.
Topik tentang permainan sepeda kita sewaktu kecil dulu baru saja akan bermula, ketika kau kembali menyebutkan Avogato kafe ini.
“Ih cobain deh, Avogato-nya. Serius. Gue mintain menunya, ya?” tanyamu dengan antusias seraya melirik cangkir berisi hot tea milikku yang menguarkan aroma peppermint ke udara.
Aku menggeleng, memaksakan senyum. Kembali mengulangi dusta kecil yang telah kusebutkan di awal pertemuan: tenggorokanku sedikit gatal, jadi aku akan bertahan tanpa es krim kopi bercampur alpukat.
Tak ada masalah dengan tenggorokanku, aku cuma tak ingin menyesap minuman yang membuatku semakin haus. Haus karena rasa manis dan pahit yang menyapa lidahku, haus karena harga yang harus kubayar sesudahnya.
Kau memiringkan kepalamu sesaat, sebelum kembali membuka suara, “Lo tertarik beli iPhone gak? Temen gue ada yang bisa jual harga miring.”
Aku melemparkan pandanganku ke ponsel seri lama buatan Cina milikku dengan casing butut yang catnya sudah tergores di ujung-ujungnya. Aku melihat dirimu yang melakukan hal yang sama.
Kali ini aku memaksakan diri untuk mengeluarkan candaan bahwa aku akan sangat senang menerima hadiah iPhone gratis, bukan sekadar harga miring. Bibirmu bergerak naik, ada gelak di sana, tapi aku tak tahu, apakah ini karena aku telah mengenalmu sejak kecil, ataukah aku tak lagi tahu apa yang kau pikir dan kau rasa, karena aku merasa kau pun memaksa tawa.
Untuk sesudahnya, kau dan aku kembali tenggelam dalam hening yang tak bisa dijelaskan. Kau sibuk dengan iPhone milikmu, mengetikkan sesuatu di layar sentuhnya, aku kembali menyesap hot tea-ku dengan canggung.
Ingin sekali aku kembali di masa di mana pesta teh kita hanya cukup bertemankan biskuit lidah kucing sisa hari raya milik ibuku, dan satu set poci dan cangkir dari plastik murahan.
“Temen gue lagi cari graphic designer, nih. Lo tertarik, gak?” tanyamu kemudian.
Ingin sekali aku kembali pada topik kita di masa lalu. Tentang Alice dan Mad Hatter. Tentang si Kuning yang terbang bebas. Tentang Mba Min. Tentang anak laki-laki tetangga yang tak berhenti menggangguku sepulang sekolah. Tentang kotoran hidung. Tentang koleksi buku komik kakakku yang diam-diam kita baca di saat rumahku sepi.
Tapi kau terus membawaku kembali ke sini. Menarikku 20 tahun kemudian ke masa ini. Mengingatkanku pada tanggung jawab yang harus kuemban dan kupikirkan. Padahal aku mengajakmu bertemu bukan untuk alasan itu. Aku hanya ingin kembali menemukan rasa nyaman yang kurindukan. Rasa nyaman bercanda bersama teman lamaku yang mengenakan topi tinggi Mad Hatter yang bengkok dan tak berbentuk.
Aku mengulur waktu, berpura-pura menyesap kembali hot tea-ku yang mulai dingin. Aroma peppermint-nya telah redup, tak lagi bisa kutemukan.
“Carinya yang standar fresh graduate, sih. Tapi gak apa-apa kan, ya? Minimal di perusahaan temen gue ini lebih banyak tantangannya. Kalau di tempat lo yang sekarang kan kata lo gitu-gitu aja.”
Aku mencoba mengingat masa kecil kita. Tenda butut yang kita bangun di belakang rumahmu, di bawah pohon rambutan yang sama. Permainan ayunan ekstrim yang membuat ibumu berteriak-teriak panik. Malam-malam dimana aku menginap di rumahmu, berbisik-bisik di bawah selimut, bercerita tentang cerita hantu perempuan yang suka mengintip di jendela. Aku yang menangis setelah dituduh mencontek oleh wali kelas dan kau yang mengamuk setelahnya.
Aku rindu masa itu.
“Gimana? Oke?” tanyamu kemudian. Seorang pelayan mengantarkan sebuah gelas kaca berisi gundukan es krim lezat berwarna hijau tua dengan titik-titik kecoklatan. Aku tak tahu kapan dirimu memesan minuman tersebut.
“Makannya berdua, ya. Gue kepengen banget soalnya,” ujarmu seraya mendorong sebuah sendok es krim beralaskan tisu ke arahku.
Ah, rupanya kau tak menganggap alasan tenggorokan gatalku serius. Kau tahu itu hanya dusta semata.
Aku mengangkat pandangan, menemukanmu yang asik mengulum sendok kecil berisi Avogato ke dalam mulut, tatapanmu lurus tertuju ke layar iPhone dalam genggamanmu.
Aku masih berharap. Masih berharap menemukan dirimu yang dulu di sana. Bukan seseorang yang melulu soal tren terkini, handphone keluaran terbaru, pekerjaan, tanggung jawab, gengsi dan martabat.
Aku rindu sahabat kecilku. Aku rindu kembali ke masa itu.
Hari mulai menjelang sore, waktuku hampir habis. Aku akan mencoba sekali lagi. Aku berharap kali ini kau akan mengerti.
“Gue mau minta tolong,” ujarku hampir berbisik.
Kau tidak menyahut. Mungkin tidak mendengarkan ucapanku yang tertelan riuh rendah pembicaraan di kafe.
“Gue mau pinjam uang.”
Aku tahu kau tak akan kembali. Karena aku pun tak lagi bisa menunggumu di sana, menjaga kandang si Kuning, meja kardus, pohon rambutan, remahan biskuit lidah kucing, dan satu set poci dan cangkir mainan.
“Gue butuh… untuk pengobatan nyokap.”
Sambungku seraya refleks menyentuh sebelah lengan kaus lengan panjangku, tempat bekas-bekas jarum itu bersarang di kulit. Tepat saat itu, akhirnya kau melayangkan pandanganmu padaku.
Hey, itukah kau? Mad Hatter sahabatku dengan topi tinggi yang penyok di sana-sini dan dasi kupu-kupu bergaris warna merah marun? Apakah akhirnya kau kembali ke sarang?
Tapi kali ini aku yang harus pergi. Ada kebohongan yang harus kuungkapkan. Ada kebusukan yang harus kutelan.
Kurasa, akulah si parkit kuning yang telah memutuskan pergi dan menghilang lebih dulu.
***
Eight years old
We’re told: “You’re too young to unlearn how to smile and hate the world.”
Eight years from now on
You’ll forget the art of carefreeness and little girls
So six young hearts kickstart and venture
Into a labyrinth of question marks
Mischievous, wide-eyed
We had nothing to hide
Our smiles were bonafide
We dreamed of superpowers, meteor showers, climbing towers, magic, mermaids, flying ships, and finding home
In our unlocked golden coffer, all we had was love to offer
A currency that once was just enough
Guess we grew up
These days we’ve ceased to give
A frail and feeble damn
We’ve got new better plans
Christal clear each year since June of 2010
We’ve grown cavalier and bland
We used to dance in rainstorms, fight our battles, win the whole war
We spoke in flames and held hands while we burned
Now all we ever do is vomit apathy, we mop it with apologies: I’m sorry, I worry
I worry we grew up
Things have changed and minds have aged
We’re so far in this unfeasible maze
When did black and white decide to propagate?
‘Cause everything now seems so gray
We’ve forgotten the beats of our own drums
We’ve lost touch of tunes we used to hum
We smell of sin and no longer bubblegum
Our season is yet to come
We’re houses with water-stained walls
We’re standing but no longer tall
When did we stop having a ball?
I don’t recall
I don’t recall
Here we are so far
We’ve walked a lonely road
We’re like nomads finding home
But somewhere far inside the eight-year-old resides whispering “you’ll be alright.”
So let us live, let live, forgive, and hope we don’t fail the souls we used to know
Let’s walk each other home
Little souls, please don’t let go
This unknown is ours to roam
Our little souls will walk us home.
(“Little Souls” by Nicole Zefanya / NIKI)
Catatan penulis:
Lagu ini diperkenalkan oleh seorang teman yang tahu bahwa saya suka dengan lagu Anaheim yang juga dinyanyikan oleh Nicole Zefanya. Saat pertama kali mendengarnya, saya tahu bahwa saya pun jatuh hati dengan lagu Little Souls ini, bahkan lebih dari Anaheim, karena perasaan yang tersentuh oleh lirik dan nada lagu tersebut.
Untuk semua jiwa-jiwa kecil yang terpaksa bersembunyi di antara tanggung jawab, tuntutan, dan pilihan. Semoga selalu ada bagi kalian tempat untuk pulang dan bercanda, berpelukan dan tertawa. Semoga ada masa di mana kalian bertemu dengan seseorang yang juga menanti, saat dimana jiwa kecil kalian bisa saling berkenalan dan berlari-lari. Saat dimana jiwa kecil bukan hanya bisa sekadar mengintip dari balik diri, menunggu-nunggu kapan tibanya hari dimana pembicaraan pada akhirnya akan menyentuh soal hati.
Amanda.