*postingan ini dibuat dalam rangka program Hear & Write
Seharusnya Aku,
by Rainy Amanda
Kau bernyanyi di pagi hari. Di tengah kegiatan memanggang roti dan menyeduh kopi. Kau menari di hadapan putrimu yang baru genap berumur tiga bulan sepuluh hari.
Bayi kecil itu tertawa. Ikut bergoyang mengikuti irama. Blues, jazz, pop, hingga rock, kaulah yang memperkenalkannya.
Di tengah pergantian lagu kau akan berkisah. Judul, penyanyi hingga hal-hal yang tidak ada hubungannya. Putrimu mendengarkan dengan seksama. Matanya membulat, jarinya basah karena mulutnya tak bisa berhenti menyesap. Kau tahu gadis kecil itu tengah mendengarkan walau belum cukup dewasa untuk memahami. Kau tahu gadis kecil itu tengah memperhatikan walau belum sanggup mendebat dan berdiskusi.
Seperti diriku yang hanya bisa meresapi cerita ini, dari suamimu yang dengan bangga menunjukkan rekaman istri dan anak pertamanya di suatu siang padaku dan kolega lainnya. Satu di antara banyak hal-hal lucu di rumahnya yang tidak terlalu luas tapi hangat oleh sinar matahari. Dan saat mentari mengintip malu-malu, rumah itu pun tetap hangat setiap hari. Karena ada dirimu yang menari dan bernyanyi, memasak dan berkisah, bertanya dan tertawa di pagi hari hingga malam nanti.
“Gue gak paham musiknya. Berat, klasik. Kadang lagu jaman orang tua gue belum lahir aja dia dengerin.”
Oh, tapi aku mengerti. Aku tahu pasti lagu-lagu itu. Lagu yang akan kuperdengarkan pada putra-putriku kelak. Lagu yang kuharapkan akan mengisi celah dan sudut di rumah milikku. Lagu-lagu yang menempatkan seorang perempuan dengan pipi merona di hatiku, yang kabarnya hanya bisa kudengar dari cerita seorang kawan dekat.
Melihatmu menyanyi dan menari setiap pagi. Mengecupmu. Memelukmu. Menjagamu. Menyayangimu dan anak-anak kita kelak. Bergandengan tangan hingga tua. Bertengkar kemudian berbaikan. Berdiskusi kemudian memaafkan. Menangis kemudian tertawa. Dalam sehat dan sakit. Dalam miskin dan kaya.
Seharusnya aku yang berada di sana.
Aku masih ingat pembicaraan kita dua tahun yang lalu. Di sebuah restoran pasta di ujung jalan, dekat rumahmu. Kita duduk berhadapan. Bercanda. Membahas semua hal, dari yang serius hingga absurd. Obrolan berpindah dari satu topik ke topik lainnya. Lalu sahabat dekatku itu menghubungimu. Aku bisa melihat dari gambar dan nama yang muncul di layar ponselmu.
Kau hanya tersenyum, tidak mengangkat panggilannya atau membalasnya. Kau bilang, kau akan mencoba menghubunginya kembali nanti.
Kita terdiam. Situasi menjadi sedikit kurang nyaman. Ada ketegangan yang menyusup. Simpul yang mengikat erat. Gelombang yang membuncah. Menyesakkan.
Aku membuka mulut. Mengungkapkan fakta bahwa sahabat dekatku itu menyukaimu. Dia berniat untuk menikahimu, bukan sekadar bermain-main.
Kau memilih untuk merespons netral, namun pembicaraan sudah telanjur bermula. Seperti biasanya, aku mendebat dan bertanya. Mencari alasan dan meminta penjelasan. Lalu dengan nada kesal pun kau pun berkata, bahwa kau tahu sahabat dekatku itu baik luar biasa, namun kau tak akan pernah merasa adil bersamanya, karena kau tahu kau akan selalu ingat hatimu milik siapa, dan kau akan terus bertemu dengan pemilik hatimu, mendengar cerita tentang pemilik hatimu, dan itu bukan dia. Bukan sahabat dekatku. Tapi seseorang yang akan terus hadir di kehidupan kalian. Sahabat suamimu.
Tapi aku diam. Tak berkata apa-apa. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Dan kau pun menikah dengan sahabat dekatku yang berani mengambil keputusan, berani bertindak, dan berani meraih apa yang diinginkannya. Kau menyerah. Kau pasrah. Kalian mengikat janji, dan aku pun diam-diam menghindar dan membatasi, supaya hatimu tak lagi resah, tak lagi gelisah.
Apakah sekarang pun kau berpikir begitu? Apakah saat kau melihat sahabat dekatku itu–suamimu, teman dalam suka dan dukamu, ayah dari anak-anakmu, dan kau berpikir: seharusnya bukan dia.
Seharusnya aku yang berada di sana. Mendengar musikmu. Bernyanyi bersamamu. Membelai rambut anak kita. Bermain dan bercanda. Seharusnya saat ini aku yang duduk bersamamu di sofa ruang tamu kita, bercerita tentang sahabat dekatku yang akhirnya menemukan cinta sejatinya, seorang perempuan yang baru resmi menjadi pegawai tetap di kantor kami sebulan yang lalu. Seseorang yang membuat sahabat dekatku tergila-gila seakan tak pernah jatuh cinta sebelumnya. Seseorang yang membuat sahabatku bimbang dan dilema. Betapapun dia berusaha menghilangkannya dengan mendekatkan diri padamu dan anak kalian. Sahabat dekatku itu tak kuasa, hatinya tak lagi sama.
Akulah yang mengusutkan benang nasib yang seharusnya lurus halus. Membuatmu terbelit di antara hubungan yang rumit. Menempatkanmu pada posisi sulit.
Kau akan menangis. Kau akan sakit. Kau akan khawatir. Kau akan kecewa. Dan kau akan marah. Aku hanya bisa menyaksikan semuanya.
Seharusnya aku yang berada di sana supaya kau baik-baik saja.
Seharusnya aku yang berada di sana.
——
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=Ix9NXVIbm2A&w=560&h=315]
Tell me that you turned down the man
Who asked for your hand
‘Cause you’re waiting for me