Hilang,

Hilang,

karya: Rainy Amanda

pic is courtesy of pexels.com

Aku terbangun dengan air mata dan sakit hati.

Perlahan kegelapan di hadapanku berubah remang, hitam menjadi biru kelam, garis demi garis bayangan memperlihatkan siluet langit-langit. Biru oranye yang menyusup dari sudut tirai, batinku. Kurasakan air mataku yang menetes lagi, mentari pasti baru menyapa pagi.

Lelap sudah jauh pergi, meskipun begitu, aku bergeming selama beberapa detik hingga menit. Aku mencoba menerima bahwa kemana pun nanti aku bergerak dan mencari, bernapas dan berlari, kau tak akan pernah ada lagi, Sayang. Dan aku masih belum tahu bagaimana meredam sakit karena kehilangan ini.

Semuanya terasa begitu dekat dan asing. Kau tak lagi di sini, tapi genggaman tanganmu masih kurasakan hingga kini. Erat, kuat. Kecupanmu juga masih segar di pikiranku–lembut dan meninggalkan rasa anyir yang samar.

Aku ingat rasa cemasku tentang sudut bibirmu yang mengeluarkan darah segar dan keningmu yang biru lebam, tapi sirine yang berbunyi nyaring membuatku tak lagi sempat bertanya apalagi mengobati. Setelah berjalan begitu lama, menyusuri lorong demi lorong, pintu demi pintu, taman dan pelataran, akhirnya kau membawaku bersembunyi pada ceruk bawah tangga, di sebuah gedung berdinding putih yang tak kukenal dimana dan apa. Lampu-lampu mati, bulan berbentuk bulat sempurna terlihat dari salah satu jendela besar di ujung ruangan. Selain kita, ada orang-orang lain yang turut lalu lalang. Panik. Semua mencari sembunyi. Teriakan dan tangis bersahutan, diburu oleh suara sirine yang tak kunjung redam. Kian lama kian keras. Kian lama kian mencekam.

Lalu kurasakan kau meregangkan pelukan, dan rasa takutku pun semakin menjadi-jadi. Mau kemana? tanyaku setengah menangis. Kurasakan rahang bawahku bergetar, jari jariku pedih, meski begitu aku malah semakin mempererat genggamanku pada sebelah lenganmu.

Kemudian tatapan kita saling menemukan. Rambut ikal hitammu terlihat kusut masai, kedua alis tebalmu mengerut, matamu memerah. Segaris air mata mengalir di salah satu pipimu.

Kau mengurung wajahku dengan kedua tanganmu. Menempelkan dahimu padaku.

Aku harus pergi, katamu dengan suara bergetar. Sirine masih berkoar, sebuah ledakan terdengar tidak jauh, diikuti teriakan yang membelah malam.

Mendadak, aku tak lagi tahu harus berkata apa. Tenggorokanku tercekat. Aku hanya bisa menggeleng seraya tersengguk. Kau mengecup tangan kananku, tepat di atas cincin platina yang mengilat tertimpa cahaya senter dari seseorang di ujung sana. Cincin yang sama yang kau kenakan.

Aku harus pergi, ucapmu sekali lagi. Kau menarik napas, mengelus pipiku, sebelum meneruskan bisikanmu, jaga anak kita.

Aku melirik perutku yang membuncit. Sejuta pertanyaan mendadak muncul di benakku. Panik bercampur ragu. Bingung bercampur marah. Rindu bercampur ngeri. Kemudian aku kembali menemukan tatapanmu. Rautmu yang memandangku lekat. Saat itu, aku tahu bahwa aku sedang bermimpi.

Namun aku bertahan, Sayang. Aku tak ingin cepat-cepat kembali pada kenyataan. Aku rela menukar apapun asalkan bisa bersamamu sedetik lebih lama, meski ini mungkin merupakan rekaman, atau angan-anganku saja.

Setidaknya aku bersamamu. Setidaknya aku merasakan hangatmu. Mendengarkan suaramu.

Lalu aku pun terbangun, dan air mataku tak kunjung berhenti. Rindu membanjiri otakku, pedih menusuk relung hatiku. Semua sakit itu tak kunjung pergi, meskipun logika perlahan hadir dan aku sudah berkata berkali-kali dalam hati bahwa kau hanyalah tokoh dalam mimpi.

Aku tak tahu namamu. Tak pernah mengenalmu. Tak pernah menikah. Apalagi mengandung anak dari siapapun. Kau cuma bunga tidur, Sayang. Bunga tidur yang membuatku kehilangan, sakit hati dan merindu tanpa pernah perlu bertemu. Aku tak pernah berteriak sekeras itu. Menangis sesedih itu. Memeluk seerat itu. Rasa kosong di hati masih kurasakan hingga beberapa hari sesudahnya, bahkan setelah aku tak bisa mengingat lagi detail wajahmu.

Maka kuputuskan bahwa itu adalah satu dari sekian mimpi indahku. Karena aku tak pernah mencintai orang lain sedalam itu, Sayang, dan kau adalah yang pertama untuk waktu yang lama.


Author’s note:

Terinspirasi dari kisah nyata. Saya memang pernah bermimpi hal serupa dan terbangun dengan pipi basah oleh air mata. Setelahnya pun saya masih di alam mimpi meskipun tak lagi terlelap. Masih mencari. Masih bertanya. Masih kecewa. Butuh waktu beberapa menit hingga akhirnya saya sadar bahwa orang yang saya rindukan dan cintai tak benar-benar ada. Saya bahkan tak pernah mengenalnya. Menyebalkan, karena rasa kehilangannya masih ada beberapa hari kemudian.

Saya di dunia nyata adalah seseorang yang sulit percaya, dan itu mengapa jatuh cinta belum pernah benar-benar ada dalam kehidupan saya. Entah dimana plotnya berada, mungkin masih menunggu chapter-chapter berikutnya, tersembunyi di dalam tembok-tembok tinggi yang saya bangun atas alasan takut sakit hati. Jadi mimpi itu membekas di memori saya karena saya tak pernah menyangka bahwa meskipun pedihnya kehilangan luar biasa, mencintai seseorang begitu dalam akan terasa begitu indahnya. Saya tak bisa membayangkan bagaimana jika orangnya benar-benar nyata. Saya mungkin akan menangis lebih lama dan mungkin tak akan lagi bisa berfungsi seperti sedia kala.

Setidaknya butuh waktu lama sampai saya bisa kembali tertawa 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *