
Hai Jejak Kopi, apa kabarmu hari ini?
Aku titipkan surat ini pada dunia maya, berharap pesanku akan sampai kepadamu nun jauh di sana, tapi apa yang akan kukatakan ini terlalu memalukan, begitu malunya sampai aku tak kuasa menekan satu tombol yang akan menghubungkan kita.
Apakah kita terhubung Jejak Kopi? Apakah pikiranku dan pikiranmu terkoneksi?
Aku tak yakin, tapi sebelum kita membahas hal itu, apa kau mau dengar satu cerita?
Nama aslimu bukan Jejak Kopi.
Aku diam-diam memberimu nama itu, karena suatu kejadian di Selasa siang yang terik, di sebuah ruangan berukuran sedang yang dihuni lebih dari sepuluh orang yang berkutat dengan layar dan papan ketik.
Kala itu kau berjalan menuju meja kerjamu, duduk, dan meletakkan segelas kopi warna coklat susu. Kopi itu mendarat sempurna di antara tumpukan kertas yang saling tumpang tindih. Sebuah model perencanaan mengintip di antara coretan diagram logika, tulisanmu yang ramping dan bersambung menghiasi setiap sudutnya.
Kau sedang sibuk membuktikan sesuatu.
Lalu seseorang mengajakmu bicara, kau menoleh, salah satu sikumu menyenggol gelas kopi yang barusan kau bawa, dan mendadak semua benda di mejamu menjelma menjadi satu warna.
Aku yang duduk tepat di hadapanmu pun tak luput dari akibatnya. Dengan sigap aku menjauhkan barang-barangku dan bergegas menuju pantry. Kuambil lap meja dan kain pel bergagang dari sudut dapur dan kamar mandi. Kau sedang sibuk mengangkat kertas-kertas basah saat aku tiba, dan dengan segera menyambut uluran lap dan gagang pel yang kuberikan padamu sesudahnya.
Kau membasuh dan mengeringkan, tapi tak ada yang benar-benar bersih setelahnya. Lantai yang kau pijak masih terlihat lengket, kertas-kertas kotor masih menyembul dari celah tempat sampah, dan gelas kopi yang kau letakkan kembali meninggalkan bercak noda di meja hingga berhari-hari sesudahnya.
Seseorang pernah berkata bahwa kau jarang mandi dan aku mulai percaya itu, Jejak Kopi. Kemampuan bersih-bersihmu setara balita yang masih belajar menggores pena. Bahkan aku mulai curiga bahwa kulitmu tidak segelap yang kulihat di dunia nyata.
Kurasa itulah alasan mengapa jejak kopi yang kau tinggalkan bertahan untuk waktu yang cukup lama, bahkan setelah kau tidak lagi di meja yang sama.
Kudengar kau kecewa, Jejak Kopi. Kudengar niat baikmu berbalas tuba dan kau tak lagi bersemangat untuk berbagi. Mejamu kian sepi, tak ada lagi coretan logika, tak ada lagi model perencanaan yang rumit luar biasa, hingga akhirnya yang tertinggal di sana hanyalah jejak kopi.
Seminggu setelah kau pergi, seseorang membersihkan mejamu dengan begitu apik dan rapi. Lapisannya mengilat, dengan aroma cemara yang kentara. Tapi anehnya, aku tak pernah lupa dimana jejak kopi yang kau tinggalkan dulu berada.
Aku bisa memejamkan mata, dan aku tahu pasti bentuk jejak kopimu seperti apa.
Sebenarnya dimana kau tinggalkan jejak kopi itu, Jejak Kopi? Kenapa noda kecoklatan itu terus ada?
Aku rindu jejak kopimu, Jejak Kopi. Bisakah kau kembali, dan meletakkan gelas kopimu di tempat yang sama?
Dan mungkin saat itu, aku akan benar-benar bercerita, mengapa aku diam-diam memanggilmu Jejak Kopi untuk waktu yang lama.
Jakarta, 8 Agustus 2017.
Amanda.