Di Sisi Laut Salwa

*postingan ini dibuat dalam rangka program Hear & Write

Di Sisi Laut Salwa

By : Rainy Amanda

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=fJw4uSOeCnM]

No one but you got me feeling this way
There’s so much we can’t explain
Maybe we’re helping each other escape
I’m with you
(Perfect Strangers by Jonas Blue Feat. JP Cooper)

Mungkin aku sedang mencumbu laut.

Mungkin tubuh yang kurengkuh adalah ombak. Meliuk begitu indah. Tetap kunanti meski mengempaskanku berkali-kali.

Mungkin bibir yang kukecup adalah pasir. Empuk dan hangat seperti peraduan. Sensasinya membuatku gila, tak sanggup beranjak dari sana.

Mungkin rasa di dadaku adalah garam. Asin yang berlebih membuat seluruh syaraf pada tubuhku berjengit, namun tak ada niatku untuk mengurangi kadarnya.

Laut dalam dekapanku menggeliat pelan. Meski enggan, aku meregangkan otot, membiarkannya bebas namun tak cukup untuk lepas. Mendadak aku merasakan air yang menggelitik mata kakiku, suara pasang yang saling sahut, serta semilir angin malam yang membekukan. Namun semuanya kembali samar saat sang laut memindahkan kedua tangannya di leher dan pipiku. Kali ini aku tidak hanya disambut, dia menarikku semakin dalam, mengajakku untuk tinggal sedetik lebih lama.

Salwa, begitu nama lautku. Dari Senggigi hingga Selong Belanak, Nambung hingga Sire, semua pantai di pulau Lombok telah berkali-kali kujelajahi. Dalamnya kuselami, tepiannya kususuri, namun baru satu laut ini yang benar-benar membuatku ingin memiliki.

Pantai Salwa. Laut Salwa.

“Hamdan, geli…”

Protes merdu itu membuatku membuka mata barang sedikit. Rupanya entah sejak kapan sebelah tanganku mencengkeram lekuk pinggangnya. Dengan segera aku mengubah posisi–namun seperti anak yang baru terbangun di pagi hari, setelahnya aku malah semakin mengeratkan rengkuhanku pada mimpi. Kukulum lautku sekali lagi, tapi kali ini lautku menolak terlarut. Bibirnya menyungging senyum, akal sehat telah menyapanya lebih dulu.

“Kalau ketahuan, kira-kira kita bakal diarak keliling kampung, gak?” tanya lautku dengan nada polos.

Aku tertawa kecil. Tak habis pikir dengan pilihan topik yang hadir setelah apa yang baru saja terjadi. Salwa sayang, ini Senggigi. Tempat wisatawan yang belum mencapai Gili Trawangan tinggal dan berpesta. Bukan sekali aku melihat turis-turis asing berciuman di pantai, lebih dari itu pun aku pernah melihat, ironisnya untuk yang terakhir wisatawan domestiklah yang berani berbuat.

Terlalu malas untuk menjelaskan apa yang kuketahui, aku menjawab sekenanya, “Tidak. Saya dan Kak Salwa kan tidak habis mencuri apa-apa. Tidak seperti kasus bule mencuri di Gili Trawangan yang di berita itu. Lagipula…”

“Lagipula?” Salwa mengulang kata-kataku yang menggantung. Lautku itu perlahan berjalan menuju sisi pantai yang kering. Aku mengerang tak rela dalam hati, namun genggaman tangannya diam-diam menghibur hati.

“…lagipula di sini tidak ada lampu. Sepi juga. Tidak ada yang lihat,” ujarku seraya melemparkan pandangan sesaat pada barisan pohon kelapa di hadapan dan tebing batu di sisi kanan kami.

Salwa tertawa kecil. Membuatku sedikit menyesal karena telah berani membuka mulut. Salwa mungkin akan berpikir bahwa aku sengaja menjebaknya ke tempat ini. Sejujurnya, aku bahkan tak tahu kapan langit berubah kelam berbintang seperti sekarang. Terakhir kuingat, cakrawala masih berwarna kuning kemerahan. Aku memang mengajak Salwa kemari untuk melihat matahari terbenam.

Tapi kalau memoriku tidak salah, Salwa-lah yang pertama kali menciumku. Atau otakku mulai tidak berfungsi sebagaimana mestinya?

Benakku masih sibuk berpikir kesana-kemari, namun langkahku mantap mengikuti kemana Salwa pergi. Lautku itu duduk beralaskan pasir, tidak jauh dari barisan pohon kelapa. Di sisi utara aku melihat sinar gemerlap kekuningan, datangnya dari kafe tenda tepi pantai yang menawarkan hidangan makanan laut khas kaki lima.

“Kak Salwa tidak mau makan?” tanyaku hati-hati seraya menempatkan diri di sisi tubuhnya. Lengan telanjang kami bersentuhan–aku memang sengaja. Aku ingin jantungku kembali memburu karenanya.

“Laper, sih. Tapi sebentar lagi, deh. Masih pengen di sini.” respons Salwa seraya menatap jauh ke ujung samudera di hadapan kami. Angin menerpa rambut sebahunya. Sinar bulan berpendar pada kulit wajah, leher, dan pahanya. Aku menelan ludah, kemudian mengalihkan pandanganku pada ombak yang baru saja menabrak sisi dinding batu yang menjorok ke bibir pantai.

“Aku lebih suka di sini daripada di Bondi.”

Aku mengangguk-angguk perlahan, meski tak yakin apa yang sedang lautku itu bicarakan.

“Suatu hari nanti kamu mesti ikut aku ke Bondi, Hamdan. Nanti kamu aku ajak juga ke Darling Harbour. Kamu pasti suka.”

Sekarang aku yakin lautku sedang membicarakan kota tempatnya menuntut ilmu sekaligus kampung halaman keduanya di Australia.

Aku tersenyum kecut. Mengalihkan pandanganku pada pasir di bawah kakiku berpijak. Lautku masih sibuk berceloteh tentang nama-nama tempat yang tak bisa kudengar jelas apa. Raut wajahnya berubah sumringah, suaranya naik-turun sesuai cerita. Kata-katanya tedengar seperti lonceng merdu yang menarikku kembali pada kenyataan bahwa dia adalah Salwa yang bagiku menyerupai tingginya ombak dan dalamnya laut, sedangkan aku hanyalah seorang Hamdan.

Hamdan anak Muniri dan Sainah dari dusun kaki gunung Rinjani.

Hamdan yang sekolahnya berhenti di SMP kelas satu.

Hamdan yang sehari-harinya mengantar turis menikmati hidup dari pantai hingga gunung. Dari ombak hingga air terjun.

Aroma samar bunga menyapa indera penciumanku. Lautku menyandarkan sisi kepalanya di bahu kananku, kali ini berkisah tentang sahabatnya yang mengirim kartu pos dari sebuah negara bersalju. Rambutnya yang panjang ikal tergerai indah di lenganku, membuatku begitu ingin untuk menyentuhnya lagi, tapi kali ini aku mati-matian menahan diri.

Aku tak akan pernah tahu mengapa Salwa menciumku tadi.

Aku bisa bertanya. Dia mungkin akan menjawab dan aku yakin aku tak akan mengerti.

Aku tahu bahwa menyelami laut di luar batas kemampuan bisa berujung petaka. Begitu pula dengan mencintai Salwa, aku sudah bisa menduga kemana ini semua akan bermuara. Aku mungkin akan menyakiti diriku, juga keluarga. Aku memang terhitung tajam dibanding teman sepantaranku, tanpa pendidikan formal yang sempurna pun aku bisa memberi makan keluargaku dengan pantas. Namun bagaimana mungkin seorang anak kampung sepertiku mau bersanding dengan gadis kota besar seperti Salwa? Ini semua hanya sementara, Salwa akan segera bosan denganku–tanpa diberitahu pun aku paham adanya.

Pikiranku buyar. Entah sejak kapan lautku itu mendekatkan wajahnya ke arahku. Awalnya mencuri kecup pada sisi kanan bibirku, lalu kami kembali tenggelam pada sunyi dunia kami sendiri. Di kejauhan suara ombak berdebur liar. Seakan memperingatkan akan bergeloranya laut saat pasang, dan kesepian yang menunggu di waktu surut nanti.

Tapi di Laut Salwa, aku rela mati, begitu batinku pedih.

Untuk perempuan yang satu ini, aku rela sakit hati.

 —–

Leave a Reply to Anonymous Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *