Fanfic Ada Apa Dengan Rangga? – Chapter 3 “Perempuan Bermata Kaca”

Fanfic Ada Apa Dengan Rangga? – Chapter 3 “Perempuan Bermata Kaca”

Fanfiction Ada Apa Dengan Rangga?
Chapter 3 “Perempuan Bermata Kaca”

“Serius amat nulisnya.”

Perempuan itu duduk di hadapan Rangga. Menyunggingkan senyum dipadu sorot mata yang berkilat. Sendu, seperti seseorang yang baru menangis, atau sedang menahan air mata agar tidak mengaliri pipi, namun itulah hal pertama yang Rangga cari saat memandang istrinya. Tatapannya yang seperti kaca. Rapuh sekaligus indah.

“Gimana tadi? Udah ketemu Edi?” tanya si perempuan seraya mengulurkan tangan. Dirapihkannya anak rambut di atas dahi Rangga. Ujung-ujung jarinya terasa dingin akibat udara di luar kafe sana.

Rangga menggeser undangan yang diberikan Edi beberapa saat lalu. Diletakkannya di depan perempuan itu.

“Gak nyangka ya Cinta nikahnya sama Borne,” komentar perempuan itu seraya membuka lipatan undangan dan membaca isinya.

“Edi bilang Cinta titip pesen buat kita, katanya dia mau kita dateng ke pernikahan dia akhir bulan ini.”

“Kamu mau dateng, gak?”

“Riset kamu gimana?” tanya Rangga sembari menyentuhkan telunjuknya pada pergelangan perempuan itu. Kulit istrinya yang putih terlihat begitu tipis, memperlihatkan garis seperti sulur tipis kebiruan disana.

“Ah, iya. Aku masih harus ngomong dulu sama Astrid. Bisa ngamuk dia kalau tahu aku pergi seenaknya.”

Rangga tersenyum tipis. “Kalau begitu kita putuskan nanti.”

“Kamu udah makan siang belum? Mau makan?”

“Yuk cari makan siang di tempat lain. Baru minum doang.”

Perempuan itu melirik gelas milik Rangga, rautnya seketika berubah geli. “Minum kopi lagi? Kopi, Rangga?”

“Kopi susu, kok.”

“Tapi tiga cangkir?”

“Dua. Yang satu itu punya Edi.” Rangga berdiri dan memakai coat-nya. Pena dan notes sampul kulit hitamnya kembali disimpan dalam saku. “Yuk, jalan. Bill-nya udah aku bayar,” ajak Rangga seraya membantu istrinya berdiri, mereka pun berjalan beriringan menuju pintu.

Udara beku menerpa keduanya segera setelah keluar dari kafe. Rangga merapatkan rangkulannya. Awal musim dingin baru dimulai, tapi perbedaan suhunya sudah mulai terasa. Perlahan, keduanya berjalan menyusuri pusat keramaian De 9 Straatjes.

“Nanti kamu minum jus pisang, ya.”

Rangga tertawa. “Lagi?”

“Katanya pisang bagus buat lambung yang sensitif. Nanti aku buatin. Harus diminum sampai habis.”

“Kamu lah yang minum. Biar si dedek tambah kuat,” ujar Rangga seraya melempar pandangan pada perut istrinya yang sudah membuncit, meskipun belum terlalu besar.

“Nanti kalau aku jadi ibu, kamu jangan lupa panggil namaku, ya. Jangan keikut-ikut panggil Mama terus.”

“Emang kenapa?”

“Banyak perempuan yang kehilangan jati diri sehabis jadi ibu. Ya gak apa sih kalau mau panggil ‘Mama’. Tapi nanti kamu kadang panggil namaku, ya. Nanti aku pasti kangen dipanggil nama sama kamu.”

“Iya, Ibu Psikolog,” ucap Rangga sambil menahan geli, menyebutkan julukan yang digunakannya sejak awal mereka menikah dulu.

“Bapak Jurnalis ngeledek, deh…”

“Iya, Alya. Iya.”

Kupikir, cinta itu dia. Perempuan pertama yang kupilih untuk tinggal di jiwa.

Cinta itu dia. Tak ada ragu dalam darahku yang masih menggelegak. Panas berbuih seperti lahar bertemu lautan lepas.

Dikala ada cinta, sastra tidak sunyi. Kubaca ulang buku di rak, di sudut meja, di samping peraduan—semuanya berbeda. Untaian kata di dalamnya mendadak melukiskan cinta, jeda di antara paragraf membuatku rindu akan cinta. Aku seakan organisme tunggal yang membelah menjadi dua. Seseorang akan balik berteriak tentang isi hatiku dan itu bukan gema. Seseorang akan memahat makna ke dalam memoriku dan itu bukan naskah tua.

Kupikir, cinta itu dia. Pecahan ruh yang terserak, dipertemukan takdir untuk nantinya menjadi satu selamanya.

Cinta itu dia.

Kalau cinta bukan dia, lalu siapa?

Kemudian seorang perempuan masuk ke dalam hati. Pamornya berbeda, mematikan logika dan membangkitkan sukma. Bersamanya, kata-kata indahku hilang lenyap seketika. Bersamanya, semua menjadi nomor dua.

Perempuan bermata kaca itu begitu sendu. Kaki-kakinya rapuh menjejak bumi, seperti tumbuhan rambat yang disangga pancang kayu seadanya. Dia tahu isi hatiku meski tidak disuarakannya, dia suka diksi dalam kalimatku meski tak pandai bermain rima. Tapi di matanya aku bisa berkaca, di matanya aku menemukan diriku seutuhnya.

Kalau suatu hari nanti ada yang bilang kau butuh aku, jangan percaya.

Kalau suatu hari nanti ada yang bilang kau bukan cinta, aku tak akan diam saja.

Karena aku butuh kamu Alya, selamanya.

Amsterdam 2016,

Rangga.

——–

Kembali ke Profil Ada Apa Dengan Rangga?

Kembali ke Chapter 2 “Menjadi Terpidana”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *