Menindaklanjuti postingan sebelumnya, kali ini saya mau bercerita mengenai novel perdana yang baru saya rilis di bawah bendera self-published beberapa waktu lalu : Amora Menolak Cinta.
Mulai darimana, ya? Supaya mudah, bentuknya poin-poin saja ya 🙂 Nantinya akan ditambahkan kalau ada yang tertinggal 😀
- Awalnya tokoh utama novel ini bernama Bestari dengan range umur 20-an akhir dan sudah bekerja. Tapi setelah dipertimbangkan lebih lanjut, saya merasa tokoh tersebut kurang pas dengan karakter yang saya inginkan. Jadilah saya merumuskan karakter dengan umur yang lebih muda yaitu mahasiswi semester awal jurusan Biologi. Bestari menjelma menjadi rancangan plot lain yang belum tahu akan dituliskan atau tidak, kalaupun iya, semoga saja ceritanya cukup baik untuk dikembangkan 😀
- Nama Amora muncul karena saya ingin memberikan elemen kontras dan ironi pada karakternya yang skeptis soal cinta. Pilihan lain : Cinta, tapi “Amora” lebih mengena di hati saya.
- Amora menjadi karakter dengan kulit kecoklatan dan rambut keriting kaku karena saya teringat dengan anak seorang artis populer dengan nama yang sama. Tidak disangka sifat fisiknya masih bisa dihubungkan dengan personality Amora dalam cerita.
- Awalnya kisah ini berjudul “Amora Jatuh Cinta”, tapi saat saya mulai memikirkan audiens pembaca yang ingin saya sasar, saya sadar bahwa kisah yang saya tuliskan ini mungkin jauh dari selera para hopeless romantic (contohnya : penggemar Julie James dan Nina Ardianti?), malah justru akan lebih mengena untuk orang-orang yang sedang sinis terhadap konsep jatuh cinta, orang-orang yang lebih quirky, anti-mainstream, yang tertarik dengan dunia sains. Itulah mengapa saya mengganti judulnya menjadi “Amora Menolak Cinta” dan memastikan ada kata ‘logika’ serta keywords ilmiah lainnya pada tagline dan sinopsis di covernya 🙂
- Tema Amora dekat dengan dunia sains terutama neurosains dan biologi, tapi saya sendiri bukanlah ahli biologi, hanyalah seorang yang suka menonton dan membaca segala hal yang berhubungan dengan manusia (terutama soal otak, hormon, dan segala yang mempengaruhi perilaku). Itulah mengapa pada awal proses menulis saya sempat takut novel ini akan terkesan sok tahu, atau lebih gawat lagi : saya akan tanpa sengaja menuliskan sesuatu yang salah atau terlalu berandai-andai. Itulah mengapa saya memutuskan untuk mencari narsum yang setidaknya bisa memastikan saya tidak sedang mengarang sains, tapi benar-benar ada sumber yang terpercaya. Untuk lebih memperkuat cerita, saya sengaja membuat Amora dan kawan2nya sebagai mahasiswi semester awal biologi, supaya rasa ketertarikan terhadap biologi itu tetap ada, tapi tidak perlu membahas terlalu jauh dan memberatkan. Saya ingin pembaca merasakan kenaifan Amora, baik dalam biologi yang digilainya, maupun cinta.
- Heidy adalah salah satu narasumber untuk novel ini yang namanya saya pinjam untuk tokoh teman Amora. Meski begitu, fisik dan sifatnya tidak berdasar orang aslinya. Kami belum pernah bertemu langsung, hanya berbicara lewat dunia maya saja 😀
- Amora Menolak Cinta menggunakan sudut pandang orang pertama eksklusif dengan Amora sebagai tokoh sentral. Hal ini dikarenakan saya ingin membahas perasaan karakter Amora dengan lebih mendalam, sekaligus ingin memberikan gambaran dilema seseorang yang sedang jatuh cinta, yaitu saat dimana kita ingin sekali bisa membaca pikiran orang yang kita sukai, tapi kita harus puas dengan interpretasi dan pemahaman kita sendiri.
- Dalam novel, Amora menggunakan gue-elo sebagai sapaan yang digunakan antara dia dan teman-temannya. Kenyataannya memang di universitas saya yang asli, yang menjadi inspirasi dari tempat kuliah Amora, komunikasi dominan gue-elo atau sapaan lainnya (kamu, aku, saya) ketimbang sunda. Ini dikarenakan jumlah anak rantau yang melebihi mahasiswa/i Bandung asli.
- Latar belakang Bandung dengan lokasi fiktif UNB (Universitas Negeri Bandung) diambil untuk memudahkan saya dalam menuliskan cerita. 6 tahun menuntut ilmu dan sempat mengais rezeki sejenak di Bandung membuat saya cukup akrab dengan kota tersebut. Sampai saat ini saya masih merasa lebih mengenal Dago dan sekitarnya ketimbang Jakarta.
- UNB itu adalah lokasi fiktif yang sama yang dipakai Adhitya Mulya untuk novelnya yang berjudul “Jomblo”. Inspirasinya juga dari tempat real yang sama di jalan Ganesha. Saya baru tahu beberapa hari yang lalu karena saya baru ingat bahwa saya belum mengecek perihal universitas UNB itu benar-benar ada atau tidak (karena kalau benar-benar ada, mungkin saya harus mengubah namanya).
- Novel kedua yang saya tuliskan ini memang bertujuan untuk membuat kisah yang lebih mudah ‘tembus’ ke penerbit-penerbit lokal. Itulah mengapa saya mengambil genre roman mainstream dengan kisaran umur young-adult, dan membahas tema yang lebih ‘kalem’ dibanding novel yang pertama kali saya tuliskan : My Love G. Mainstream romance biasanya riskan di bagian ending dan twist. Itulah mengapa untuk novel ini, saya memutuskan untuk memperkuat cerita di bagian karakter dan dinamika cerita menuju ending, sisanya bonus saja :).
- Alur Amora sengaja saya buat bergerak maju dengan beberapa flashback yang digambarkan lewat narasi atau secara langsung yang ditandai dengan italic. Alasannya lebih untuk memudahkan proses menulis saya sebagai penulis pemula.
- Saya punya acuan karakter fisik Amora dewasa, tapi saya tidak bisa menunjukkannya karena saya mendapatkannya dari hasil stalking temannya temannya teman via Facebook 😛
- Cover Amora sengaja dibuat gambaran head-shot Amora yang melirik ke kanan atas (dari sisi Amora-nya). Secara tidak langsung menggambarkan Amora yang cenderung berpikir logis dan problem solving (dominan otak kiri).
- Ada satu lirik lagu pada akhir bab yang membawa kunci penting dalam kisah Amora Menolak Cinta. Tadinya saya sempat berpikir keras mengenai hal ini, takut kalau pembaca akan melewatkan hal seru tersebut, tapi saya putuskan untuk meninggalkan sesuatu yang manis di sana, hanya untuk orang2 yang menyadarinya saja 🙂
- Adegan Amora yang panik karena salah satu temannya pingsan dalam proses ospek berdasar kisah nyata penulisnya yang sempat ditarik senior karena si penulis drama-queen dan ngamuk setelah melihat salah satu anggota grupnya pingsan di tengah puncak acara ospek. Tapi hanya sampai situ saja kok, selanjutnya hanya khayalan belaka :P.
- Adegan Shinji yang menawar harga dalam bahasa sunda dan beberapa destinasi lokal di Bandung (Pasar Baru Bandung dan The Kiosk Bandung) diselipkan agar suasana ‘bandung’nya lebih terasa.
- Karakter Shinji dibuat blasteran Jepang dengan fisik yang mirip aktor Jepang bernama Eita untuk membuat saya lebih semangat dalam menulis cerita. Bagi yang penasaran, ini dia Eita yang dimaksud :
Sekian, thought process dari saya, semoga membantu dalam mencari inspirasi ya 🙂
Hidup Amora!
Amanda.