Amora Menolak Cinta – Chapter 2 “Moka Stroberi”

Amora Menolak Cinta – Chapter 2 “Moka Stroberi”

Amora Menolak Cinta – Chapter Map

2

Moka Stroberi


Seharusnya aku tahu bahwa mengonsumsi rujak sebelum tidur, terutama untuk seseorang dengan pencernaan lemah sepertiku, bukanlah ide yang bagus.

Lambungku mulas sejak subuh. Sudah berkali-kali aku buang air besar, tapi nyerinya masih saja datang dan pergi.

Masalahnya, sakit perutku ini membuatku telat berangkat ke kampus. Jam kuliah Biologi Dasar-ku sudah dimulai tapi aku baru mencapai gerbang universitas. Setelahnya, aku masih harus berlari menuju bangunan perkuliahan umum yang terletak di ujung paling timur UNB. Seakan situasiku belum cukup genting, aku bahkan terpaksa mampir sejenak di toilet terdekat untuk melakukan ‘penyelamatan’ darurat.

Sebuah pesan masuk ke dalam ponselku saat aku baru saja keluar dari kamar mandi. Dari Heidy.


heidyeita : Haida udah dateng J Kuissss!! Mampuss!!!


Gawat. Ibu Haida adalah dosen yang cukup ditakuti. Dia terkenal galak luar biasa, terutama pada mahasiswanya yang kurang disiplin. Itulah mengapa teman-temanku sangat takut untuk membuat kesalahan di depan Ibu Haida. Jujur, aku baru saja berniat untuk membolos, tapi sekarang diriku dirundung ragu. Rasanya sayang sekali kalau aku tidak memperjuangkan nilai kuis yang bisa membantu hasil akhir semester pertamaku ini.

Tak ada gunanya berpikir lebih lama. Aku bergegas untuk mendaki sisa dua tangga yang akan membawaku menuju lantai empat, tempat ruangan 9741 yang kutuju berada. Kebetulan sakit perutku sedikit mereda dan aku ingin memanfaatkan situasi. Aku baru saja sampai di depan ruang kuliahku saat aku mendengar derapan langkah kaki yang menggema di lorong. Refleks, aku menoleh dan tatapanku bertemu dengan Shinji yang juga terburu-buru.

Cowok itu berhenti di tidak jauh dariku. Napasnya sama sekali tidak terengah meskipun habis berlari, namun beberapa bulir keringat terlihat membasahi dahinya. Pemuda itu menatap pintu ruang 9741 yang tertutup rapat. Kurasa dia juga sedang mempertimbangkan kemungkinan untuk menyerah—mungkin membayangkan duduk-duduk di kantin sambil menunggu kelas berikutnya—tapi aku memutuskan untuk memberitahunya info penting yang barusan kudapatkan dari Heidy.

“Ada kuis mendadak.”

Dari ekspresi wajahnya, aku bisa tahu bahwa sebaris kalimat itu juga membuatnya berpikir dua kali.

—–

“Taruh semua alat tulis di meja. Kumpulkan lembar jawaban dari belakang.”

Kuletakkan pulpen milikku sesuai perintah Ibu Haida. Tak lama, seseorang menyentuh pundakku, memberikan beberapa helai kertas yang menghadap ke bawah. Tanpa banyak bicara, aku segera menempatkan lembar jawaban milikku di tumpukan paling atas dan mengantarnya ke meja dosen—tempat Ibu Haida sudah menunggu.

“Baris tengah kenapa lama sekali? Apa mau semua lembar jawaban kalian saya diskualifikasi?” ancam Ibu Haida tanpa mengubah intonasi ataupun ekspresi datar miliknya. Suara-suara panik mulai terdengar, menyuruh satu sama lain untuk bergerak lebih cepat. Diam-diam aku bersyukur dalam hati, untunglah tadi Ibu Haida sedang berbaik hati mengizinkanku untuk memasuki kelas dan mengikuti kuis tanpa banyak komentar.

Aku menoleh ke belakang, mencari-cari sosok Alif dan Heidy. Kedua temanku itu duduk di barisan kelima tengah, sementara aku berada di barisan terdepan kanan, dekat pintu. Sebagai mahasiswa telat, aku jelas tak bisa memilih-milih tempat duduk seperti biasanya. Alif tengah sibuk berdiskusi dengan temanku yang lain, tapi Heidy menyambutku dengan gestur yang heboh. Cewek itu menunjuk-nunjuk ke arahku dengan penuh semangat.

Aku berdecak sebal. Temanku itu. Saat seperti ini pun dia masih saja sempat mengekspresikan kekagumannya pada Shinji.

Ya, karena keterlambatannya, Shinji juga terpaksa duduk di area depan—tepat di sebelahku.

“Kita lanjutkan pelajaran,” perintah Ibu Haida setelah memastikan semua lembar jawaban sudah terkumpul.

Kalimat pendek dari dosen killer tersebut berhasil membuat ruangan kembali sepi. Aku mengambil file organizer dari dalam tas dan menegakkan duduk, siap memperhatikan dan mencatat. Tapi seseorang mengetuk mejaku dengan ujung jarinya.

Shinji.

“Ada pulpen atau pensil lagi gak? Pinjem dong. Punya gue udah sekarat nih.” Shinji menunjukkan pulpen bermerek pilot miliknya.

Aku sempat bertanya-tanya dalam hati bagaimana Shinji menuliskan jawaban kuis dengan pulpen yang kehabisan tinta? Tapi aku tak mau banyak bicara. Kuambil tempat pensil milikku dan kukeluarkan sebuah pensil kayu berujung tumpul yang hampir tak pernah kugunakan, kemudian kuberikan pada Shinji.

Thanks,” ucap cowok itu seraya melempar senyum.

Aku kembali mengalihkan fokusku pada Ibu Haida, tapi tak lama kemudian, Shinji kembali mengajakku bicara.

“Ada rautan? Patah nih,” Shinji berkata pelan sambil memperlihatkan ujung pensil yang tiba-tiba sudah kehilangan bagian grafit hitamnya.

Aku mengernyitkan dahiku dengan sengaja, kemudian kuberikan dia sebuah rautan kecil berbentuk bulat.

“Hehehe… maaf ya gue ngerepotin. Makasih…” balas Shinji bersopan santun, sadar bahwa tingkahnya membuatku terusik.

Kali ini aku merasa sedikit tidak enak, mengingat aku bahkan menyiram Shinji dengan susu moka kemarin sore dan aku belum sempat meminta maaf.

“Gak apa-apa, kok,”

“Asal abis ini gue jangan disiram susu aja, ya. Ampun, deh.”

Sindiran dari Shinji itu sukses membuatku menoleh dan menatap tajam padanya. Shinji terlihat fokus meraut pensil yang kupinjamkan. Tapi salah satu ujung bibir cowok itu tertarik sedikit ke atas—gerak-gerik yang kuanggap sebagai rasa puas karena berhasil membuatku tersulut.

“Yaudah. Maaf ya soal kemarin.”

“Gitu, dong. Gak perlu kabur, kan?” Shinji memperlihatkan sedikit barisan gigi-giginya seraya menempatkan rautan yang barusan dipinjamnya di atas mejaku.

“Kalau mau mengobrol jangan di kelas saya, ya.”

Aku menoleh ke arah Ibu Haida yang masih menuliskan sesuatu pada whiteboard.

“Tolong jangan pura-pura tidak tahu. Kalian berdua yang barusan terlambat, kalau memang tidak ingin belajar, tak usah repot-repot masuk ke kelas saya.”

Kali ini, sekujur tubuhku serasa dialiri listrik, nyeri lambung yang barusan sempat menghilang tiba-tiba kembali menyerangku. Spontan, aku melirik Shinji. Raut wajah cowok itu berubah lebih serius dari biasanya.

Ibu Haida meletakkan spidolnya. Wanita paruh baya itu menatapku dan Shinji, kemudian melanjutkan kata-katanya, “Berapa NIM kalian?”

Kelas yang hening membuat suasana terasa semakin mencekam. Tanpa menengok pun aku tahu bahwa berpasang-pasang mata sedang memperhatikan diriku dan Shinji.

“Kenapa diam saja?” ulang Ibu Haida.

Shinji berdiri dan menyebutkan nomor induk mahasiswanya dengan jelas, “13215081”

Ibu Haida memeriksa daftar absen. “Shinji?” ucapnya untuk memastikan. Mungkin sedikit heran dengan nama asing yang terselip di antara deretan nama-nama lokal.

“Iya, Bu,” respons Shinji tenang.

“Yang perempuan?”

“1-3…” Aku membersihkan tenggorokan yang tiba-tiba terasa kering sebelum mengulang kembali kata-kata yang sempat terputus. “13215075”

Setelah mengetahui NIM dan nama kami berdua, Ibu Haida kembali menatapku dan Shinji dengan sorot tajam.

“Amora dan Shinji, boleh hari ini kalian meneruskan obrolan di luar kelas? Saya terus terang merasa terganggu.” Kalimat Ibu Haida memang berbentuk permintaan, tapi bagiku itu terdengar seperti ultimatum.

Aku terdiam. Tak tahu harus berbuat apa. Shinji-lah yang membuka suara lebih dulu. “Maaf, Bu. Kami tidak akan mengulangi lagi. Kalau bisa, kami ingin tetap mengikuti pelajaran,” mohon Shinji dengan sopan.

Ibu Haida tidak membalas kata-kata Shinji, dosen itu hanya terlihat berpikir sejenak sebelum kembali meneruskan penjelasan materi—seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi aku tidak bisa merasa lega, namaku sudah tercatat dalam daftar hitam Ibu Haida. Entah apa nasib buruk apa yang akan menimpaku di akhir semester nanti.

—–

Kejadian di kelas Biologi Dasar pagi tadi merusak moodku selama sehari penuh. Apalagi lambungku kembali berulah tepat saat aku keluar dari laboratorium praktek sore ini. Yang lebih sial lagi, hujan turun saat aku berada di dalam toilet dan aku tidak membawa payung. Aku terpaksa menunggu cuaca terang kembali, padahal praktikum barusan adalah jadwal terakhirku untuk hari ini.

Hanya bertemankan smart phone milikku, aku berjalan-jalan mengitari selasar gedung Biologi yang sepi. Namun pelarianku yang satu itu pun tidak bertahan lama, karena ponselku ternyata kehabisan baterai.

Kutelusuri salah satu pelataran fakultas yang paling asri. Deretan ruang kuliah yang dindingnya bercat putih dengan pintu kayu berada di sebelah kiri, sementara di sisi berlawanan berbagai rupa tanaman herbal menghuni sebuah petak taman yang memanjang sampai ke ujung selasar. Aroma daun dan tanah basah yang bercampur-baur serta pemandangan dedaunan hijau membuatku relaks.

Kuputuskan untuk mendudukkan diri pada pinggir selasar, tidak memedulikan noda debu yang akan mengotori terusan selutut warna putihku nanti. Dari sini, aku bisa melihat hujan dan tanaman tanpa perlu takut terkena percikan air. Saat ini, dunia terasa begitu indah, aku bahkan bisa melupakan Ibu Haida dan nilai Biologi Dasar-ku yang terancam. Tapi, tiba-tiba seseorang yang tidak kuharapkan menghampiriku.

“Nunggu hujan berhenti juga?” tanya Shinji mengobrak-abrik kedamaian yang barusan begitu kentara kurasakan. Cowok itu bahkan ikut duduk di sampingku.

Aku bergeser menjauh, sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Tapi Shinji juga tidak terlihat menunggu jawabanku, dia sibuk memeriksa ponselnya sambil tersenyum-senyum sendiri. Mungkin sedang bertukar pesan dengan cewek-cewek yang akan menjadi korbannya setelah Erin.

Selama beberapa saat, suara hujan adalah satu-satunya hal yang mengisi jarak antara aku dan Shinji, sampai akhirnya cowok itu kembali membuka topik.

“Erin apa kabar, Ra?”

“Ngapain nanya-nanya?” tuturku curiga.

“Emang gak boleh?” Shinji meresponsku dengan raut geli.

“Kalau lo gak serius, mending gak usah.”

“Gak usah apa?”

“Gak usah deketin Erin lagi. Jangan mainin temen gue.”

Tanpa kuduga, Shinji terkekeh. Membuatku heran karena aku tidak merasa ada sesuatu yang lucu.

“Kan cuma nanya kabar aja….”

Tiba-tiba rasa ragu menghinggapiku. Aku baru sadar bahwa mungkin aku telah berbuat lancang. Apa hakku seenaknya turut campur dengan kehidupan cinta sahabatku sendiri?

“Emang gue keliatan suka mainin cewek?” tanya Shinji lagi, terlihat cukup penasaran dengan reaksiku barusan.

Aku tidak menjawab, hanya memberi tatapan sinis. Cowok di sampingku itu tertawa menyebalkan untuk kedua kalinya.

“Hanya karena tampilannya begini…” Shinji menegakkan tubuh bagian atasnya dan melambaikan tangan dari kepala sampai dada. Aku menautkan kedua alis, sedikit bingung dengan kelakuan cowok yang satu ini. Seakan belum cukup membuatku terkejut, Shinji meneruskan kata-katanya dengan nada bercanda, “…bukan berarti playboy.”

Mulutku membuka, tak percaya dengan apa yang baru saja kulihat dan kudengar. Apa maksudnya? Apa secara tidak langsung cowok itu berusaha menjelaskan bahwa bukan berarti pria ganteng itu playboy? Jadi dia merasa ganteng? Dia tahu dia digilai banyak perempuan?

“Narsis.”

Thank you.” Sepertinya serangan balasanku sama sekali tidak mengena, karena Shinji terlihat tetap santai.

Sebenarnya aku masih siap meneruskan perdebatan, tapi mataku menangkap sosok familiar yang berjalan dari arah berlawanan.

Seketika, kekesalanku lenyap, tergantikan oleh perasaan lain yang lebih menyesakkan. Lambungku seakan dijatuhi beban berkilo-kilo. Punggung dan ujung-ujung jariku mendadak dingin. Aku mematung tak berdaya.

“Mora?” sapa si sosok familiar seraya melangkah lebih cepat. Pria itu berhenti tidak jauh dari tempatku duduk. Leherku terasa kaku, aku ingin berhenti menengok ke arahnya tapi aku tak bisa.

“Dan-Daniel?” Aku menyebut nama lawan bicaraku itu dengan terbata.

“Kamu kuliah di sini?” Daniel menyamakan tingginya denganku yang sedang terduduk pasrah di lantai selasar.

“Iya.”

“Jurusan apa? Biologi?”

Kali ini aku hanya bisa mengangguk. Otakku bekerja ekstra keras sejak tadi, bertanya-tanya mengapa Daniel ada di kampus ini? Mengapa Daniel berjalan di selasar fakultasku? Mengapa aku harus bertemu dengannya?

Daniel melihat jam pada pergelangan tangannya. Seketika, wajahnya berubah panik. “Aku lagi buru-buru, mau ketemu Bu Haida di atas. Tapi sebentar doang, kok. Tunggu di sini, ya.” ujarnya sebelum berlari dan menghilang di balik tembok pembatas antara tangga dan selasar tempatku berada.

Aku mengerjapkan mata. Tak percaya dengan apa yang baru kulihat. Apa Daniel benar-benar mahasiswa di kampus ini? Kalau iya mengapa aku tak pernah melihatnya? Sudah hampir satu semester kujalani, kenapa aku bisa tak tahu?

“Kenalan lo?” tanya Shinji.

Begitu terkejutnya aku, sampai-sampai aku melupakan kehadiran cowok yang sedari tadi berada di sampingku itu. Pikiranku seakan terlempar ke dunia lain, konsentrasiku tercerai-berai. Aku harus melakukan sesuatu.

“Iya,” tanggapku seraya bergegas untuk berdiri. Aku harus pergi. Aku tak peduli dengan hujan. Aku harus segera menghilang dari tempat ini. Aku tak ingin berhadapan dengan Daniel. Aku tak mau menunggunya kembali.

“Lo mau cabut sekarang?” Raut Shinji berubah heran.

“Iya,” jawabku pendek sekali lagi. Tak lama kemudian, aku sudah mencapai ujung selasar dan berbelok menuju jalan setapak yang menghubungkan gedung antar fakultas.

“Eh, tunggu! Mora! Amora!” seru Shinji. Tapi aku sama sekali tak menggubrisnya. Aku malah semakin mempercepat langkahku menembus hujan. Rambut dan pakaianku mulai basah, kulit-kulit di tubuhku merasakan dingin yang menusuk, namun aku tak peduli.

Tanpa kusangka, Shinji menyusulku. Cowok itu melepas jaket yang Ia kenakan dan menyodorkannya ke tanganku. Aku terpaku selama beberapa saat karena tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi kemudian aku segera mengembalikannya.

“Gak usah.”

“Pakai aja,“ paksanya.

“Gak, ah!” ulangku tegas seraya setengah berlari ke arah bulevar. Hujan turun begitu rapat, pemandangan di hadapanku seperti tertutup tirai air, tapi aku tak peduli.

Shinji lagi-lagi mengejarku, cowok itu menghalangi hujan yang membasahi wajahnya dengan sebelah tangan, sementara tangannya yang lain masih memegang jaket miliknya.

“Ra, dengerin gue. Lo pakai jaket ini.”

“Gue bilang gue gak perlu. Gue udah telanjur basah juga.” Rasanya aku mulai kehilangan kesabaran. Apa sih maunya?

“Bukan buat kepala lo, tapi buat nutupin rok lo.”

Aku berhenti di tengah tangga turun menuju bulevar dan berpaling ke arah Shinji.

Tahu bahwa aku membutuhkan penjelasan lebih, Shinji mengulurkan kembali jaket miliknya kemudian berkata ragu, “Kayaknya lo…” Shinji berdeham sebelum meneruskan kalimatnya, “Kayaknya rok lo… kena… jus stroberi.”

Aku menunduk, mencari-cari noda pada pakaianku.

“Rok belakang,” tambahnya.

Seperti dikomando, aku segera menarik ujung terusan bagian belakangku ke arah samping untuk memeriksanya. Betapa terkejutnya aku saat aku tahu apa yang dimaksud oleh Shinji.

Ada noda merah di terusanku yang sebelumnya berwarna putih bersih, dan aku tahu pasti kalau yang ada disana bukanlah jus stroberi.

—–

Sebagai perempuan, PMS bukanlah hal yang baru bagiku. Aku mulai mens di kelas 6 SD—hampir tujuh tahun aku mengalami datang bulan. Seratus lebih siklus haid sudah kulewati dan aku masih saja lalai dalam memperhatikan tubuhku sendiri.

Emosi yang fluktuatif, mulas akibat sistem pencernaan yang kacau, serta rasa sebah pada lambung yang kurasakan beberapa hari terakhir merupakan pertanda. Semuanya sudah jelas, tapi entah mengapa kali ini aku tidak cukup waspada dalam mengatasinya.

Kuhalau sebagian anak rambut yang entah sejak kapan berbelit kacau di dahi. Aku masih tak percaya dengan kebodohanku sendiri. Saat ini aku berdiri di dalam kubikel toilet, memandangi terusan putihku yang kusampirkan pada gantungan baju di pintu. Noda merah tua di bagian belakang pakaianku itu seakan tersenyum mengejekku, membuatku semakin gundah.

Firasatku mengatakan bahwa membersihkannya sekarang hanya akan memperbesar ukuran noda tersebut. Lagipula toilet ini tidak dilengkapi sabun jenis apapun dan aku tak mungkin pergi membelinya. Jadi kuputuskan untuk membiarkannya seperti itu. Sebagai solusinya, aku akan memakai atasan putihku itu terbalik depan-belakang, sehingga bagian yang bernoda akan berada di bawah pusarku nantinya. Dengan begitu, akan lebih mudah untuk menutupinya dengan ransel.

Ya. Sudah kuputuskan, ini adalah jalan keluar yang terbaik untuk saat ini.

Setelah membereskan urusanku dan memastikan bahwa ransel yang kuposisikan di depan paha menutup aibku dengan baik, aku membuka slot kunci bilik toilet tempatku berada, kemudian berjalan keluar dengan langkah terburu-buru. Pemandangan bulevar kampus kembali menyambutku. Hujan sudah tidak sederas tadi, tapi masih menyisakan rintik-rintik kecil yang membuat riak pada genangan air di sana-sini. Sekumpulan mahasiswa yang berjalan tidak jauh dariku membuatku gentar, tapi segera kumantapkan hati. Aku harus segera pergi dari sini, tak bisa kutunda-tunda lagi.

Kedua lututku terasa sakit karena membentur barang-barang milikku yang berada di dalam tas, tapi aku terus melangkah.

Aku begitu berkonsentrasi dengan ransel dan pakaianku, sampai-sampai aku hampir tak sadar bahwa aku baru saja berpapasan dengan Shinji. Cowok itu duduk di atas motor yang dia parkirkan tepat di sisi gerbang kampus. Karena malu, aku segera menundukkan wajah saat pandanganku bertemu dengannya, berdoa semoga cowok itu tidak membahas insiden ‘jus stroberi’ barusan.

“Mora,” panggilnya saat aku berpura-pura tak melihat, aku pun terpaksa membalas tatapannya.

Kedua alis Shinji bergerak naik, mungkin sedikit heran dengan pakaianku yang jelas-jelas terbalik dengan kerutan yang tidak wajar di daerah leher dan lengan, tapi dia sama sekali tak berkomentar tentang itu. Shinji melepas standing tengah motornya dengan segera dan menyalakan mesin, “Ayo, gue anter.”

Aku merapatkan bibir, mempertimbangkan tawaran Shinji. Pemuda di hadapanku ini sudah basah kuyup karena barusan mengejarku di tengah hujan. Jaket birunya yang tadi Ia tawarkan kepadaku sekarang hanya teronggok pasrah di salah satu sisi bahunya, tak lagi berguna untuk menghangatkan badan. Setelah semua yang dia lakukan untukku, Shinji masih berusaha menolongku dengan mengambil motornya dan menungguku di sini?

Dia memang terlalu baik pada semua orang, tak heran hati Erin babak belur dibuatnya.

“Woi,” tegurnya lagi setelah melihatku termenung.

Aku tahu bahwa menolak untuk kesekian kali bisa diartikan sebagai sikap tidak sopan, tapi aku benar-benar merasa sungkan. Tidak ada alasan yang pasti, instingku hanya mengatakan bahwa sebaiknya aku tidak menerima kebaikannya begitu saja. Lagipula, aku tak sanggup menanggung malu lebih dari ini.

“Gak usah. Nanti motor lo… kotor,” jawabku gelisah, mataku bolak-balik melirik ke arah jalan raya, mencari-cari angkot yang biasa kutumpangi.

“Gak apa-apa, kok.”

Thank you, Nji. Tapi gue gak mau ngerepotin.” Tepat saat itu, angkutan umum berwarna biru muncul perlahan. Tanpa banyak menunggu, aku segera berbalik dan berjalan menjauh dari Shinji, menuju kendaraan yang akan membawaku pulang.

—–

“Kok gak minta dicuciin Bibi?”

Aku menoleh pada Erin yang tahu-tahu sudah berdiri di teras taman belakang rumah kos kami. Dari tas ransel yang tergantung di salah satu pundaknya serta sepatu yang masih dikenakannya, aku tahu bahwa dia baru saja sampai.

“Tadi tembus.” Kuperas atasan putihku yang sudah bersih dari noda menstruasi, kemudian kugantungkan pada salah satu tali jemur. Mana mungkin aku membiarkan penjaga rumah kos kami untuk menangani hal seperti ini? Aku harus membersihkannya sendiri.

“Serius?”

Aku menggangguk sebagai respons. Erin menanggapinya dengan ekspresi yang kuartikan sebagai simpati, kemudian cewek itu menyandarkan punggungnya pada kusen pintu.

“Kok lo dapet duluan, sih? Biasanya kita bareng, lho.”

Benar juga. Mungkin ini salah satu sebabnya mengapa aku bisa kecolongan seperti ini. Jangan-jangan aku terlalu lelah atau stress sampai-sampai hormonku bersikap lain dari biasanya?

“Terus lo kehujanan?” terka Erin setelah menyadari diriku yang sudah menggunakan celana dan kaus santai berbahan katun favoritku, lengkap dengan handuk yang membalut kepala.

“Seratus untuk anda!” jawabku seakan aku ini pembawa acara kuis.

“Untung aja tadi pas gue pulang hujannya udah berhenti. Padahal gue gak bawa payung juga, lho.” Diam-diam benakku mulai bertanya apakah alam mulai memihak? Nasibku beberapa hari ini benar-benar kurang mujur.

“Eh, gue beliin nasi goreng kambing buat lo. Makan, yuk.” Erin mengacungkan sebuah bungkusan plastik hitam yang rupanya dijinjingnya sedari tadi.

“Baru juga jam lima, Rin…” ledekku sambil mengosongkan ember yang barusan kugunakan dari sisa air yang menggenang, kemudian meletakkannya dalam posisi terbalik, tidak jauh dari deretan tali jemur.

“Udah laper…,” Erin mengelus perutnya, lengkap dengan ekspresi keroncongan yang dibuat-buat.

“Oke, deh.” Akhirnya aku mengalah. Erin memekik gembira dan masuk ke dalam rumah lebih dulu. Aku menyusulnya, kemudian kami berjalan beriringan menaiki tangga. Sesampainya di lantai dua, Aku dan Erin mendudukkan diri pada sofa panjang favorit kami.

Erin melepaskan sepatunya dengan terburu-buru, kemudian segera meraih plastik hitam yang barusan diletakkan di atas meja. Dikeluarkannya bungkusan berwarna coklat dan sendok plastik, masing-masing dua.

Tadinya aku sama sekali tidak lapar, tapi aroma sedap dari nasi goreng kambing tak urung menerbitkan air liurku.

“Shinji apa kabar, Ra?”

Ha. Ternyata Erin menanyakan hal yang sama dengan yang ditanyakan Shinji padaku sore tadi. Sahabatku itu bersikap sambil lalu, tapi aku tahu bahwa dia menanti-nanti kabar tentang Shinji, apapun itu.

Aku mengernyit, teringat dengan kejadian ‘jus stroberi’ yang membuatku malu setengah mati. Sebenarnya tidak ada salahnya kalau Erin tahu bahwa Shinji-lah yang memberitahu perihal ‘insiden tembus’-ku. Tak apa juga kalau aku mengadu pada Erin perihal Shinji yang membuatku masuk ke daftar hitam Ibu Haida. Namun ada yang lebih penting dari itu, jadi aku tak akan membuang-buang waktu dengan membicarakan Shinji.

“Tadi gue ketemu Daniel, Rin….”

Sebelah tangan Erin berhenti di udara, membatalkan niatnya untuk memasukkan sesendok nasi goreng ke dalam mulut. Sahabatku itu menatapku terkejut.

“Daniel SMP?” Erin membelalakkan matanya, sepertinya dia setengah tak percaya dengan informasiku barusan.

“Iya…” jawabku lemas.

“Daniel… kakak kelas kita dulu, kan? Daniel mantan lo?”

“Bukan mantan, ah,” kilahku. Aku benci sekali dengan julukan yang satu itu. Hubunganku dan Daniel terlalu singkat untuk dikenang, apalagi diakui sebagai bekas kekasih.

“Kok bisa? Dia emang anak UNB?”

Aku menceritakan detail pertemuanku dengan Daniel beberapa jam yang lalu, tentu saja tanpa menyebut-nyebut bahwa aku sedang berbicara dengan Shinji sebelumnya. Aku tak mau Erin tahu kalau aku baru saja ikut campur mengenai kehidupan cintanya. Toh aku sudah bertekad untuk tidak mengulangi perbuatan lancangku itu.

Oh my God, jangan bilang Daniel kuliah di Biologi?”

Aku bisa merasakan rahangku yang mengeras. Satu kampus, apalagi satu jurusan dengan Daniel adalah kemungkinan terburuk yang harus kuhadapi. Aku tak akan pernah memilih kuliah di UNB kalau aku tahu Daniel berada di tempat yang sama. Aku lebih baik meneruskan pendidikanku di Jakarta, mengikuti saran ibuku saja.

Sadar dengan suasana hatiku, Erin menepuk-nepuk pundakku.

“Tenang. Siapa tahu dia cuma main doang, nemuin temennya…” tutur Erin dengan nada penuh keyakinan.

“Eh tapi, kalau cuma berkunjung ngapain juga ya ketemu dosen di fakultas lo?” Kata-katanya kali ini bernada ragu, membuatku semakin resah. Aku tak berhenti memikirkan Daniel sejak aku bertemu dengannya tadi, dan aku berharap Erin bisa membuatku tenang—setidaknya memberikan logika atau kesimpulan yang bisa membuatku yakin bahwa aku tidak akan bertemu Daniel lagi di masa depan—tapi sahabatku ini tidak banyak membantu.

“Terus, kalau emang kuliah di Biologi, masa lo gak pernah liat?” celetuk Erin seraya meneruskan proses mengunyahnya.

Aku meringis seraya mengedikkan bahuku, itulah yang menjadi ganjalan di benakku.

“Lo siwer kali? Rabun?”

“Asal aja, lo.”

“Udah cek akun sosmed-nya belum?”

“Gue gak temenan ama dia. Lagian ngapain gue nyari-nyari?” jawabku lagi dengan intonasi yang lebih tinggi dari biasanya.

“Dih… jangan ngambek, dong.” Erin membagi sepotong daging kambing miliknya untukku. Aku segera mengunyah pemberiannya tanpa malu, pertanda bahwa permintaan maafnya kuterima dengan senang hati.

“Tapi ya, Ra… gue mau nanya deh. Emang… lo masih suka sama Daniel?”

Aku merapatkan bibir. Sejujurnya, aku ingin menyangkal, tapi Erin terlalu mengenalku. Dia tahu apa yang terjadi antara aku dan Daniel bertahun-tahun yang lalu, saat kami baru saja beranjak remaja.

Saat kami baru saja mencicipi pahit-manisnya cinta monyet.

Erin mengernyit simpati, tahu bahwa pertanyaannya barusan adalah sesuatu yang tak bisa kujawab. Setidaknya tidak saat ini.

“Tapi baguslah kalau Daniel beredar di UNB.”

“Kok gitu?”

“Bagus, jadi kalau ketemu, bisa gue labrak itu anak. Gara-gara dia kan lo jadi susah move on ampe sekarang? Biar tahu rasa!” maki Erin berapi-api.

“Apa sih? Susah move on gimana?”

“Ra… Ra… gue tau lagi kalau Daniel tuh pacar pertama dan terakhir lo. Gak heran sekarang lo jadi skeptis banget soal cinta, itu semua karena first love lo berakhir tragis, dan itu salah dia, si Daniel brengsek itu.” Erin bertutur panjang lebar seakan-akan dia sedang menceritakan plot film layar lebar. Kata-kata Erin terasa bagai sebilah pisau kecil yang menusukku tepat di bagian diriku yang paling rapuh. Perasaan yang terasa familiar bagiku. Perasaan yang tidak ingin kumiliki lagi.

Seingatku, aku sudah mengakhirinya hari itu, bertahun-tahun yang lalu. Aku berjanji untuk tidak lagi melakukan kebodohan yang sama. Aku berjanji untuk tidak lagi memuja cinta.

Aku berjanji untuk tidak lagi mengejar bayang-bayang kenangan akan Daniel.

Cinta itu tidak ada. ‘Cinta’ adalah reaksi kimia akibat hormon dari otak yang mempengaruhi kerja organ tubuh kita. ‘Cinta’ yang kita kenal merupakan hasil romantisasi penyair-penyair melankolis.

Dan itu, adalah satu-satunya teori cinta yang perlu kupercaya.©2015RainyAmanda

—–

I’m wide awake

Yeah, I was in the dark

I was falling hard

With an open heart

I’m wide awake

How did I read the stars so wrong?

(Wide Awake by Katy Perry)

Next -> Amora Menolak Cinta Chapter 3

One thought on “Amora Menolak Cinta – Chapter 2 “Moka Stroberi”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *