Amora Menolak Cinta – Chapter 1 “Ilmuwan Cinta”

Amora Menolak Cinta – Chapter 1 “Ilmuwan Cinta”

Amora Menolak Cinta – Chapter Map

1

Ilmuwan Cinta


“Cinta itu gak ada,” kataku serius.

Kedua alis Erin menyatu seraya menatapku. Sahabatku itu tersedu, air matanya berlinangan membasahi pipi.

“Yang orang bilang ‘jatuh cinta’ itu cuma reaksi kimia dari otak yang mempengaruhi kerja organ-organ tubuh kita,” jelasku lagi.

Erin menyeka mata dan hidungnya dengan tisu. “Ap-apa sih, Ra?” katanya terbata.

“Jantung deg-degan, tangan keringetan, kemampuan logika menurun, itu semua kerja hormon. Gak ada istimewanya, Rin.”

Pundak Erin bergerak naik-turun. Beberapa kali dia terlihat menarik dan melepas udara dengan perlahan. Matanya bengkak. Tak heran, Erin tidak berhenti menangis sejak mengetuk pintu kamar kosku sepuluh menit yang lalu. Kekasihnya kedapatan jalan bersama cewek lain untuk kesekian kalinya. Sebagai sahabat, aku pun memaksakan diri untuk mendengar keluhan Erin, tak peduli bahwa waktu tidurku harus terganggu di tengah malam buta.

Tak lama setelah Erin menenangkan diri, aku membuka suara, bertekad untuk membuatnya kembali berpikir jernih.

“Salah satu zat yang terstimulasi saat lo merasa ‘jatuh cinta’ itu serotonin. Reaksinya bisa membuat lo hanya terfokus pada satu hal. Ada juga dopamin, efeknya sama kayak otak yang sedang dalam pengaruh kokain. Jadi—“

“Mora, gue lagi gak mood untuk belajar, deh…” potong Erin serak.

“Jadi,“ ulangku dengan penekanan, tak kugubris penolakan Erin. “Gak heran kalau sekarang rasanya berat banget. Itu karena lo lagi dalam kondisi terobsesi kayak stalker dan sakaw kayak pemakai narkoba. Tapi itu kan otak lo—elo yang pegang kendali. Lo gak akan nangis kayak gini kalau tahu cara menyiasatinya.”

Erin memutar bola matanya. “Mana bisa ngatur perasaan…” ujarnya dengan nada meremehkan.

“Bisa!” tegasku. Kuraih sebuah buku dari rak pendek di samping tempat tidur, kemudian kusodorkan pada Erin. Air muka sahabatku itu berubah malas saat melihat desain sampul yang sudah sangat dikenalinya. Memang bukan sekali aku merekomendasikan buku tersebut padanya, tak peduli meski dia terus menghindar.

The Science of Love. Kitab suci lo, ya?”

“Baca deh, Rin. Disini juga dijelasin tentang asupan nutrisi dan gaya hidup yang bisa normalin hormon. Biar move on-nya gampang.”

Namun sia-sia, kata-kataku malah membuat raut Erin bertambah kecut, air matanya mengalir lebih deras. Erin menggeser duduknya ke arahku, kemudian sahabatku itu melebarkan kedua tangannya—seperti yang biasa dilakukannya saat membutuhkan dukungan.

Kusambut pelukannya. Kubiarkan Erin menenangkan diri dalam dekapanku selama beberapa saat.

“Meskipun lo kayak gini, gue akan tetep jadi temen lo, Ra.”

“Maksudnya apa, tuh?” Kudorong cewek itu menjauh. Tampangku sengaja kubuat curiga, meskipun dalam hati aku tahu bahwa Erin hanya bercanda.

“Lagian, orang patah hati lo hibur pake teori. Pake buku. Gak sensi banget, sih!” omel Erin dengan mata yang masih berkaca-kaca.

“Ini logis, Erin. Logika.”

Erin tertawa hambar. Cewek itu mengambil selembar tisu lagi untuk menghapus air mata.

“Iya gue tahu. Lo emang selalu gitu. Dasar ilmuwan cinta.” Erin mengucapkannya dengan nada geli—julukan yang dimaksudkan untuk meledek obsesiku akan reaksi kimiawi otak manusia saat jatuh cinta.

“Tapi apapun yang terjadi, gue gak mau kalah. Gue harus kasih pelajaran ke si brengsek itu. Gue mau buktiin kalau gue juga bisa cari cowok lain!” Erin melanjutkan kata-katanya dengan semangat berapi-api.

“Gak usah buru-buru juga sih, Rin….”

“Enggak. Gak bisa, Ra. Gue udah curiga banget dia selingkuh. Sekarang terbukti, kan? Dia udah gak bisa bohong lagi!”

Sebenarnya, ingin sekali aku mengingatkan kalau dugaannya belum tentu benar dan niatnya itu tidak akan mengubah apa-apa, tapi aku paham bahwa tidak ada gunanya aku menasihati sahabatku sekarang. Saat ini Erin hanya butuh pelampiasan emosi.

“Makasih ya, Ra… mau dengerin curhatan gue. Sori ya, gue tadi lupa kalau lo pasti udah tidur….”

Aku bersimpati dengan mengelus punggung sahabatku itu. Kubiarkan Erin mengatur perasaannya dalam hening.

Ah cinta, deritanya memang tiada akhir, tapi tetap saja membuat manusia tergila-gila, itulah sebabnya aku tak bisa menyalahkan Erin. Tapi seandainya sahabatku mau benar-benar mengerti bahwa cinta yang dia agung-agungkan itu tak lebih dari persepsi dan memori yang menstimulasi otak untuk melepas senyawa kimia.

Mungkin dengan begitu, dia tak akan kecewa.

—–

Ini bukan pagi favoritku.

Mataku masih berat karena mengantuk, perutku kembung, dan seperti biasanya rambutku berulah. Kupandangi refleksi diriku di cermin dengan putus asa. Sebuah sisir bergigi jarang mencuat dari salah satu sisi rambutku yang mirip semak-semak. Sudah lima menit aku berusaha—baru sepertiga dari perjuangan yang biasa kulewati—tapi aku merasa lelah.

Pertarungan panjang untuk mengatur mahkotaku yang berjenis kribo adalah sarapanku sehari-hari. Aku harus berjuang mati-matian untuk menjinakkan rambut yang tak pernah mau menurut, tak peduli berapa banyak pun produk kecantikan yang kugunakan.

Alat catok tidak bisa diandalkan—hasilnya tak maksimal, rambutku akan kembali menggeliat kacau dalam waktu beberapa jam. Bonding atau servis apapun yang ditawarkan salon bukan pilihan karena kulit kepalaku sensitif, mudah alergi.

Kuhela napas frustrasi. Perlahan, aku meluruskan helai demi helai rambutku yang saling berbelit. Butuh waktu lama sampai akhirnya aku berhasil membaginya menjadi tiga bagian, setelah itu kukepang, lalu kuikat ujungnya dan kusematkan jepit di beberapa titik.

Beres. Batinku meski sadar bahwa masih ada beberapa anak rambut nakal yang mencuat di sana-sini.

Aku berdiri, membetulkan celana panjang berbahan jeans yang kukenakan dan sekali lagi mematut diri di depan kaca. Terusan selutut ungu muda kesayanganku terlihat manis, tapi lagi-lagi warna kulit kecoklatan dan rambutku yang acak-acakan merusak suasana hati. Rasanya aku selalu terlihat seperti belum mandi, seperti yang sekarang terpantul pada cermin di hadapanku ini.

“Udah mau jalan, Ra?” Aku menoleh pada Erin yang tiba-tiba sudah muncul di depan pintu kamar yang kubiarkan terbuka. Cewek itu menguap sesaat sebelum berbalik menjauh dan mendudukkan diri di sofa panjang pada lorong antara kamarku dan kamarnya. Pakaian tidurnya kusut di sana-sini, selaras dengan raut wajahnya. Matanya sembap, sudah pasti akibat kurang tidur dan menangis semalaman.

“Kok jurusan lo banyak kuliah pagi, sih? Kasian banget,” sambung sahabatku itu dengan nada meledek.

“Gue doain kualat. Semester depan lo kuliahnya dari subuh.” Aku mendengar gumaman protes dari Erin. Pertemanan kami memang banyak diwarnai sumpah-serapah dan ancaman, begitulah cara kami saling mengungkapkan perhatian.

“Jadi bolos?” tanyaku seraya meraih ransel dari atas meja belajar.

“Niatnya begitu, tapi ternyata gue mesti dateng kuliah sore. Gue lupa kalau hari ini mau ada presentasi.”

Setelah mengunci pintu, aku mengambil sepasang sneaker pada rak sepatu kecil di sisi kananku, kemudian kubawa menuju sofa di seberang Erin. Kududukkan diriku di sana, kemudian kulanjutkan obrolan kami di sela-sela kegiatanku memasang kaus kaki.

“Kalo gitu, nanti mata lo dikompres aja pake es, biar bengkaknya cepet ilang,”

Erin merespons saranku dengan anggukan. Semua itu dilakukannya sambil memijat kulit di sekeliling indera penglihatannya perlahan.

“Ngomong-ngomong… cowok lo gimana?” Seingatku, Erin bahkan masih sempat bertengkar dengan kekasihnya via telfon, tak lama sesudah dirinya selesai mengadu di kamarku.

Erin hanya menjawab dengan pernyataan pendek, “Jangan dibahas.”

“Perlu gue labrak?” Aku berlagak kesal. Tentu saja aku tak bermaksud untuk benar-benar menegur kekasih Erin, tapi paling tidak aku ingin menghibur sahabatku walau sedikit.

Erin terkekeh, kali ini tawanya terdengar lebih tulus. “Lo kasih pelajaran hormon aja kayak kemaren. Biar muntah.”

Sesaat aku kehabisan kata-kata. Padahal aku bermaksud untuk memberinya dukungan mental, tapi Erin masih bisa-bisanya mengejekku.

Aku yang baru saja selesai mengenakan sepatu segera berdiri, kemudian mengalungkan salah satu tali ranselku pada sebelah bahu. “Yaudah, jangan nangis terus, ya. Gue jalan dulu.”

Erin melambai lemas padaku yang berjalan menuruni tangga. Diam-diam, aku menghela napas panjang, lagi-lagi mengasihani sahabatku yang sedang patah hati.

—–

“Nanti pulang kuliah ada kumpul pengurus angkatan.” Alif, teman sekaligus ketua angkatanku itu berbicara pelan sambil tetap memandang ke arah Pak Anas yang sedang mengajar di depan kelas.

Aku tidak berkomentar, sementara Heidy yang duduk di sebelahku merengek protes, “Yah… gue sore ini ada kumpul klub Jepang….”

“Bolos dulu aja. Rapat ama senior, nih. Entar pada bawel kalau kita gak komplit,”

Saran Alif membuat Heidy memajukan bibirnya. “Serba salah ya jadi mahasiswa baru. Mana senior klub gue juga gak kalah ganas….”

“Sabar Dy, itu kan derita lo,” Alif menimpali kata-kata Heidy dengan raut datar, kemudian mengaduh pelan saat Heidy menyikut lengannya tanpa ampun.

“Lagian, lo juga sih. Gara-gara lo kan gue sama Mora jadi pengurus angkatan? Dari awal juga gue gak minat jadi sekretaris,” serang Heidy. Alif yang menjadi sasaran kekesalan malah memasang cengirannya.

Pertengkaran antara Alif dan Heidy itu sudah seperti hobi. Saat ini pembicaraan mereka memang hanya terdengar seperti desisan dan gumaman, tapi cukup mengganggu. Benar saja, tak lama kemudian salah satu cewek yang duduk di hadapan kami bertiga menengok dengan tampang sebal. Aku hanya memberinya tatapan memohon maklum sebagai respons.

Inilah risiko terjebak di antara Heidy dan Alif, terpaksa menjadi pihak yang ikut merasakan malu.

Di hari pertama kami resmi tergabung dengan jurusan biologi Universitas Negeri Bandung, senior mengumpulkan kami dan menggelar voting untuk menentukan ketua angkatan. Entah bagaimana, Alif lolos sebagai salah satu kandidat dan terpilih untuk mengemban tanggung jawab tersebut.

Saat senior meminta Alif untuk menunjuk jabatan pengurus angkatan lainnya, cowok itu berinisiatif mendaulat aku dan Heidy untuk bergabung. Wajar, kala itu para mahasiswa baru belum cukup mengenal satu sama lain. Bagi Alif, aku dan Heidy adalah wajah-wajah yang familiar karena kami bertiga berasal dari SMA yang sama. Sejak itu, kami hampir selalu bersama-sama di kampus—baik belajar, makan siang, mengerjakan tugas, dan tentu saja urusan tetek-bengek angkatan yang merepotkan.

Mendadak, sebuah ketukan menggema, membuat perhatian peserta kuliah beralih ke pintu di ujung kanan ruangan. Bahkan Alif dan Heidy menghentikan sejenak adu mulut mereka dan ikut memperhatikan.

“Masuk,” perintah Pak Anas sambil membetulkan letak kacamatanya.

Seorang pemuda kurus bertubuh jangkung menyapa sopan seraya tersenyum simpul, “Selamat pagi, Pak.”

Kulirik jam yang tergantung di dinding atas papan tulis. Kegiatan belajar-mengajar sudah berlangsung lebih dari 30 menit. Benar-benar tidak tahu diri, seharusnya cowok itu menunggu jadwal kuliah berikutnya, bukannya mengganggu suasana kelas dan bersikap seakan tanpa dosa.

Sayangnya, Pak Anas merupakan satu dari sekian dosen yang tak ingin ambil pusing dengan kelakuan mahasiswanya, jadi beliau mempersilakan pemuda itu masuk dengan satu anggukan pelan, kemudian lanjut menerangkan materi yang sedang dibahasnya.

“Ganteng banget…” bisik Heidy dengan ekspresi mendamba. Tatapannya melekat pada si cowok telat yang sekarang sedang berjalan cepat menuju tempat duduk langganannya di barisan belakang. Sorak-sorai dan ledekan terdengar samar, sepertinya datang dari teman-teman si pemuda yang menyambut kedatangannya.

Aku mengernyitkan dahi. Menyatakan ketidaksetujuanku dengan kekaguman Heidy.

“Lo sama Shinji tuh kayak bumi dan langit, Dy.” Rupanya Alif berniat meneruskan percekcokan yang sempat tertunda.

Namun kali ini Heidy tidak segera mengacuhkan kata-kata Alif, cewek itu terlalu sibuk memuja pemuda bernama Shinji tersebut. “Kok bisa sih tampangnya mirip banget sama Eita-kun…” pujinya menyebut aktor yang biasa dilihatnya di drama-drama negeri sakura favoritnya.

“Ya bisa lah, Shinji kan emang blasteran Jepang. Kecuali dia asli Kenya, baru lo boleh heran.”

Heidy melempar pandangan sinis pada Alif sebelum membalas cowok itu dengan kalimat sakti miliknya, “Lo pasti ngiri ama Shinji gara-gara kalah tinggi.”

“Jadi orang tuh yang penting baik hatinya.”

“Pantes aja jomblo terus. Yang kayak lo tuh berapa puluh tahun lagi juga udah punah. Kena seleksi alam.”

“Lo ama Shinji tuh, dari segi taksonomi[1] aja udah ga mungkin. Kalau lo gak sadar-sadar ya bentar lagi lo juga punah,” balas Alif menyiram api dengan bensin.

“Beda taksonomi? Lo pikir gue apa? Siput?”

“Udah dong, jangan pada ribut, entar ganggu yang laen… lagi ada dosen nih…” Aku berbisik menegur keduanya. Sebenarnya aku tak ingin ikut campur, tapi kalau masih kubiarkan, Heidy dan Alif bisa lupa diri. Jarak antara kami bertiga dan meja Pak Anas memang cukup jauh, tapi aku tak mau mengambil risiko. Kami sudah pernah ditegur dosen kelas lain karena Heidy dan Alif yang terlalu asyik berdebat.

“Ngefans doang, kali. Gue kan juga tau diri. Lagian… Shinji kan udah punya cewek….” Intonasi Heidy berubah lemas di akhir kalimat. Pandangan matanya beralih ke arahku. “By the way… Shinji masih pacaran sama Erin gak sih, Ra?”

Ah. Belum cukup aku dibuat sebal dengan topik Shinji, sekarang Heidy malah menanyakan hal utama yang membuatku benci setengah mati dengan cowok itu. Sahabatku Erin menangis semalaman sampai matanya bengkak seperti bakso, sementara Shinji bisa tersenyum-senyum ceria seakan tidak terjadi apa-apa. Jelas saja aku sedikit dendam.

Heidy tengah menunggu jawabanku. Setelah menimbang-nimbang sesaat, aku memberi respons ragu, “Kayaknya sih gitu.”

“Soalnya kemarin temen kos gue ada yang liat Shinji jalan sama cewek lain. Nonton berduaan.”

Aku menaikkan kedua alisku, seakan-akan terkejut dengan info dari Heidy. Padahal sebenarnya tadi malam Erin sudah memberitahuku lebih dulu tentang kabar tersebut.

“Sama siapa?” tanya Alif ingin tahu.

“Itu…” Heidy menengok kiri dan kanan sebelum memperkecil volume suaranya setingkat lebih rendah, “…si Tita. Katanya sih gandengan mesra. Tapi gue yakin Tita-nya aja tuh yang gatel pengen glendotan.” Heidy melempar pandangan sebal ke barisan belakang, merujuk pada sesosok cewek modis berambut lurus panjang yang sedang asyik mengobrol dengan Shinji.

Sebelum semua ini terjadi pun, Erin sudah berkali-kali mengeluh soal sikap Shinji yang terlalu baik pada semua orang, terutama pada perempuan-perempuan genit penggemarnya yang terus mencari celah—salah satunya cewek bernama Tita itu.

“Mungkin kalau cowoknya bukan Shinji udah ditinggal dari kapan tau kali ya sama Erin,” komentar Heidy.

“Erin arab-arab cantik gitu… gimana gak laris. Pas SMA aja yang naksir banyaknya kayak antrian sembako,” timpal Alif berlebihan. Cowok menggeleng sambil mengulang argumennya beberapa saat lalu, “Makanya gue bilang juga apa, cari cowok tuh yang baik hatinya aja. Gak usah yang ganteng. Yang baik.”

“Shinji tuh ganteng dan baik. Terima kenyataan aja, deh…” cibir Heidy.

Sadar bahwa ronde kesekian antara Alif dan Heidy baru saja dimulai, aku memutuskan untuk tak lagi terlibat dengan pembicaraan mereka. Aku berusaha berkonsentrasi memperhatikan penjelasan Pak Anas, tapi percuma, pikiranku lagi-lagi terlempar pada sahabatku Erin.

Aku memang tidak sepantasnya menilai karena ini bukanlah masalahku. Tapi apapun alasannya, tidak seharusnya Shinji menyakiti sahabatku berkali-kali. Erin lebih berharga dari itu dan dia pantas diperlakukan lebih baik. Titik.

—–

Jadwal kuliahku sudah selesai sejak tadi, tapi aku tertahan oleh rapat sosialisasi diklat jurusan. Aku berjalan menyusuri bulevar—jalan lebar menuju gerbang kampus yang diapit oleh dua lapangan besar dan barisan pepohonan. Heidy pergi lebih dulu menuju Klub Jepang, Alif sudah pulang sejak tadi, sedangkan aku masih harus menemui Erin yang sudah menunggu di gedung fakultasnya—menepati janji kami untuk pulang bersama.

Senja sudah hampir berganti malam, menyisakan semburat oranye di langit dan siluet burung-burung yang kembali ke sarang. Seandainya aku punya sayap, aku pun akan terbang dan langsung mendarat di kamar kosku yang nyaman. Sayang sekali aku masih harus berjalan kaki dan menumpang angkutan umum. Belum lagi kemacetan di perempatan Simpang Dago yang pasti memakan waktu.

Ah, kulit wajahku sudah begitu berminyak dan pakaianku lengket karena keringat. Rasanya aku ingin cepat-cepat mandi.

Gerbang Universitas Negeri Bandung yang terletak tepat di ujung bulevar menyambutku. Jurusan Planologi tempat Erin menunggu terletak tidak jauh dari situ, bahkan puncak gedungnya yang bercat putih sudah tertangkap mata. Aku mempercepat langkah, melewati deretan gerai-gerai ATM dan toserba yang berjejer rapih tidak jauh dari situ.

Tanpa sengaja, aku menemukan sosok Erin yang sedang berdiri di dekat salah satu taman kecil, tepat di hadapan toko buku kampus yang sudah tutup. Aku berbelok, bermaksud untuk menghampirinya, tapi sesosok pemuda bertubuh jangkung yang berdiri menghadap Erin membuatku mengurungkan niat.

Erin sedang berbicara empat mata dengan Shinji, dan dari raut keduanya, topiknya tidaklah ringan.

Tidak ingin mengganggu, aku memutar arah, memutuskan untuk mampir ke toserba terdekat. Perutku mulai keroncongan dan aku butuh sesuatu untuk mengganjal rasa lapar.

Setelah selesai membeli kudapan dan minuman ringan, aku mendudukkan diri pada kursi kayu panjang di pelataran toserba yang berkanopi. Ternyata posisi yang kupilih tersebut memungkinkan aku untuk memantau Erin dan Shinji dari kejauhan.

Kulihat ekspresi sahabatku itu semakin lama semakin keruh, seperti siap meledak kapan saja. Tadinya aku sudah setengah berniat untuk pulang lebih dulu, tapi sekarang aku tak yakin. Apa sebaiknya aku menunggu saja? Atau mengirim pesan pada Erin untuk mengajaknya segera angkat kaki dari sini?

Aku sedang asyik berpikir sambil menyeruput susu moka favoritku, ketika kusadari sesuatu yang ganjil. Sesosok pria mencurigakan bertopi hitam berjalan melewati Erin. Tidak ada yang memperhatikan, tapi aku bisa melihat tangan pria itu dengan gesit mengambil sesuatu dari kantung luar ransel sahabatku.

Sebuah benda berbentuk persegi panjang dengan motif polkadot hitam-putih. Dompet Erin.

Dengan langkah cepat, pencuri itu berjalan ke arah gerbang kampus, tapi aku jelas tidak bisa membiarkannya begitu saja.

“MALING!” seruku sambil bergerak secepat mungkin menuju tempat Shinji dan Erin berdiri. Keduanya smenatapku bingung, tapi aku tak membuang-buang waktu untuk memberi mereka penjelasan lengkap.

“Rin! Dompet lo dicopet!” Aku berteriak seraya berlari melewati Erin dan Shinji, mengejar si pria bertopi hitam yang sosoknya menghilang di balik bilik pos jaga sedetik kemudian.

Aku menajamkan pandangan, mengharap bantuan dari bagian keamanan, tapi ternyata pos jaga tersebut sepi tanpa petugas. Yang benar saja, kemana satpam-satpam kampus saat benar-benar dibutuhkan?

Dengan susah payah aku berusaha menambah kecepatan. Tiba-tiba Shinji sudah menjajari langkahku.

“Yang mana?” tanyanya seraya mengedarkan pandangan. Aku langsung menunjuk sosok bertopi hitam yang baru saja sadar bahwa dirinya resmi menjadi target pengejaran.

Shinji mendahuluiku, cowok itu bergerak secepat angin. Si maling memang tidak kalah gesit, tapi Shinji berhasil menyergapnya tepat sebelum pria bertopi hitam itu menyeberang jalan besar di depan gerbang UNB.

Tanpa membuang waktu, Shinji berhasil menahan gerak maling tersebut dengan satu tangan sementara tangan yang lainnya menggeledah untuk mencari barang yang dicuri. Aku merasa lega saat tahu bahwa dompet Erin berhasil ditemukan, tapi emosiku tersulut saat aku menyaksikan si maling berhasil melepaskan diri dengan menyikut perut Shinji—menyebabkan dompet Erin terlempar ke tengah jalan dan tergilas oleh sebuah motor yang melaju cepat.

Saat itulah, tanpa banyak berpikir aku melemparkan susu moka milikku yang sedari tadi masih kugenggam erat. Botol susu plastik yang masih terisi setengah itu melayang di udara dan mengenai si maling bertopi hitam.

Setidaknya begitu yang kuharapkan, tapi tidak. Susu moka itu malah mendarat tepat di atas kepala Shinji, menumpahkan seluruh isinya pada rambut dan kausnya yang sebelumnya berwarna putih bersih.

Setelah itu, semuanya seakan bergerak dengan sangat lamban.

Shinji yang berlumur cairan lengket berwarna kecoklatan. Si pencopet yang meninggalkan dompet Erin begitu saja dan menghilang di antara kerumunan pejalan kaki dan penjual kaki lima. Satpam kampus yang terlambat datang. Raut terkejut Erin. Shinji yang menatapku dengan ekspresi bingung. Angkot bercat biru yang merapat tepat di hadapanku…

…dan aku yang menaiki kendaraan umum tersebut tanpa berpikir panjang. Meninggalkan Erin dan Shinji yang berdiri mematung memandang kepergianku.

—–

Aku kabur setelah melempar pacar sahabatku dengan susu moka.

Seandainya aku mendalami olahraga tolak peluru, mungkin insiden memalukan itu tak akan terjadi. Seandainya aku tidak terbakar emosi, mungkin botol susu moka itu tak akan melayang. Seandainya saja aku langsung menyapa Erin dan mengajaknya pulang, mungkin si maling brengsek itu tak akan mendapat kesempatan untuk mencuri dompet sahabatku—dan aku tidak akan berakhir melakukan sesuatu yang memalukan.

Penyesalanku terus bertambah, laksana tiada akhir. Sama seperti tawa Erin yang tak kunjung usai segera setelah dia melihat wajahku.

“Kenapa lo siram, sih…?!” tanya Erin geli sambil mengempaskan tubuhnya pada kursi di depan meja belajarku. Cewek itu langsung menerobos masuk ke kamarku dan meminta penjelasan segera setelah menginjakkan kaki di rumah kos kami.

Aku bergerak malas menuju sisi tempat tidur yang berhadapan dengan Erin kemudian mendudukkan diriku di sana.

“Jelas gak sengaja lah, Rin…”

“Terus kenapa lo langsung naik angkot?” tembak Erin tanpa ampun. Sejenak, aku kehilangan kata-kata. Aku sendiri tak tahu mengapa aku pergi tanpa sempat meminta maaf pada Shinji. Aku benar-benar tak mengerti.

“Gue emang mau pulang,”

Erin tetap mendesakku. “Kan udah janjian baliknya sama gue?”

“Ya… lo kan lagi sibuk ngobrol sama Shinji. Lagian… lagian gue laper! Gue pengen cepet-cepet pulang terus makan…” balasku mencari-cari alasan.

Tapi kalau kupikir lagi mungkin semua kejadian tersebut terjadi karena aku memang sedang dalam kondisi kelaparan. Gula darah menurun, otak tidak mendapatkan asupan glukosa yang cukup untuk berpikir optimal, berujung pada kondisi emosi yang mudah tersulut dan kontrol saraf motorik yang buruk.

Ya, pasti itu sebabnya.

“Tapi lo tuh kocak banget, Mora….” Erin kembali asyik tergelak, membuatku semakin merasa tidak enak.

“Gimana tadi?” tanyaku.

Tanpa kujelaskan pun, Erin tahu arah pembicaraanku. Tawanya pudar, air mukanya berubah sendu. Sahabatku itu mengaitkan kedua telunjuk tangannya sebelum memisahkannya dengan gerak lambat.

“Lo yang mutusin?” kataku memastikan. Erin merapatkan bibirnya dan mengangguk lemas. Aku sudah bisa menebaknya.

“Terus pulangnya gimana?” Sekarang aku menyesal meninggalkan Erin begitu saja, seharusnya aku mendampinginya, bukannya malah kabur karena panik.

“Tetep dianterin Shinji, kok. Naik motornya.”

Aku memberikan ekspresi simpati pada Erin. “Lebih gampang gak sih buat lo, secara dia pasti lagi kelihatan kurang oke gitu. Abis apes ketumpahan susu… eh diputusin!” Aku bermaksud untuk mencairkan suasana, tapi sepersekian detik kemudian niatku itu berubah menjadi sesal karena tentu saja semua ini tak mudah bagi Erin.

Meskipun begitu, Erin memaksa tawa, tak lama kemudian, sahabatku itu kembali bicara. “Dia udah kasih penjelasan sih, Ra. Dia bilang itu salah paham. Dia gak maksud pergi berduaan, tapi tiba-tiba temen-temennya yang lain pada ga bisa dateng, padahal itu traktiran ultah Tita. Modus banget kan tuh cewek?” Erin terlihat geram. Aku mengangguk mantap, memberikan dukunganku.

“Gue udah coba biar gak kemakan emosi. Tapi ini udah terlalu sering. Gue… capek.” tambah Erin.

“Gue rasa sakit hati lo selama ini wajar kok. Alasannya jelas, dan cowok lo itu bisa mencegah itu kalau dia mau. Tapi dia sendiri kayaknya gak niat, kan? Buktinya udah berkali-kali dia terlalu baik sama cewek lain dan lo udah bilang kalau lo gak nyaman dengan itu, tapi masih aja diulangin.”

Erin mengusap sebelah pipinya yang lagi-lagi dibasahi air mata, kemudian sahabatku itu menarik napas dan mengembuskannya perlahan, berusaha menenangkan diri.

“Sabar aja beberapa bulan. Cara yang paling cepet untuk ngelupain ya cari cowok baru, biar otak lo bisa fokus sama yang lain. Tapi gue sih gak nyaranin itu.”

Erin memutar bola matanya. “Baca dari buku mana lagi, tuh?”

“Dari artikel di internet. Yang penting jangan maksa lupain, dijadiin pengalaman untuk belajar aja.”

“Ra, ini bukan pertama kali gue putus, lho. Santai, lah.”

Aku tersenyum tipis. Bukannya aku tak tahu, aku hanya khawatir dengan sahabatku. Orang lain mengenal Erin sebagai pribadi yang kuat dan berani, tapi sedikit yang tahu bahwa semua itu tak berlaku saat dia berurusan dengan cinta. Tak peduli berapa banyak cowok yang pernah dipacarinya, Erin seringkali menjadi pihak yang menderita. Cewek ini tak pernah hati-hati, semua awal hubungan baru terasa seperti cinta pertama baginya.

“Ya makanya jangan gampang suka ama orang, Rin,” komentarku pada akhirnya. Erin menaikkan kedua alisnya sebelum menimpali kata-kataku.

“Lo coba deh jatuh cinta. Jadi ngerti kalau perasaan tuh gak bisa diatur-atur.”

“Lo tuh bukannya gak bisa tapi gak mau. Waktu Shinji deketin lo gue juga udah ingetin lo, kan? Gue udah kasitau lo kalau ada yang bilang dia playboy. Tapi gak sampe seminggu udah jadian, kenal baik aja belon. Sekarang baru empat bulan udah putus.” Kelihatannya kalimat balasanku cukup telak mengena, karena kali ini Erin tidak menyangkalku. Dia memandang ke bawah, memainkan jemari tangannya.

Suara derap langkah kaki yang mendekat membuat pembicaraan kami terhenti sejenak. Tak lama, Kak Astrid melongokkan wajahnya dari balik dinding di samping pintuku yang terbuka. Teman satu kos sekaligus seniorku di kampus itu memberikan senyum khasnya sebelum memberikan pengumuman menggiurkan, “Gue iseng bikin rujak, nih. Makan bareng-bareng yuk. Yang lain juga udah pada ngumpul di bawah.”

Mendengar makanan kesukaannya disebut-sebut, Erin segera berdiri, kemudian bergerak menyusul Kak Astrid yang sudah lebih dulu pergi.

Dasar, batinku. Padahal aku sedang berusaha untuk membuat sahabatku berpikir lebih rasional, tapi dia malah melarikan diri.

Dengan malas, aku menegakkan tubuh dan berjalan keluar dari kamar. Nanti, aku akan berbicara lagi dengan Erin. Kurasa aku akan memaksanya membaca buku The Science of Love untuk membantunya membuat keputusan cinta yang lebih baik. Mungkin besok, mungkin lusa, tapi yang jelas lebih cepat lebih baik.©2015RainyAmanda

—–

What do you get when you fall in love?

A guy with a pin to burst your bubble

That’s what you get for all your trouble

I’ll never fall in love again

I’ll never fall in love again

(I’ll Never Fall In Love Again by Burt Bacharach)

————————————————

[1] Taksonomi –> Penggolongan makhluk hidup. Contohnya : manusia dan makhluk hidup selain manusia (hewan, tumubuhan, fungi atau mikroba).

Next -> Amora Menolak Cinta Chapter 2

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *