Satu Karcis Saja, Mungkin Dua

*postingan ini dibuat dalam rangka program “Hear and Write”

Satu Karcis Saja, Mungkin Dua?

By : Rainy Amanda

[youtube https://www.youtube.com/watch?v=DANYP9wXGi0]

Terinspirasi dari lagu “Terlalu Lama Sendiri” oleh Kunto Aji

Sudah terlalu lama sendiri
Sudah terlalu lama aku asyik sendiri
Lama tak ada yang menemani rasanya
Sudah terlalu asyik sendiri
Sudah terlalu asyik dengan duniaku sendiri
Lama tak ada yang menemani rasanya

“Maaf, ya.”

Kumundurkan posisi dudukku, kemudian kurapatkan kedua kakiku menyamping ke kiri. Dua sosok berjalan melewatiku. Wajahnya tak bisa kukenali karena suasana yang gelap. Bahan celana jeans yang dikenakan oleh salah satu dari mereka menggesek lututku, membuatku semakin kesal.

Maksudku, apa susahnya sih datang sebelum film dimulai? Kalau begini kan jadi orang lain yang merugi, sementara mereka enak saja bilang permisi sana-sini, kemudian dengan polosnya mengganggu pandangan sesama penonton yang jelas-jelas membayar tiket dengan harga yang sama.

Kedua orang yang kuduga sepasang kekasih itu duduk pada area kosong di sampingku. Belum apa-apa, sang perempuan sudah melipat kakinya ke atas kursi, kemudian menggelendot pada lengan pacarnya.

Dia pikir ini rumahnya? Benar-benar tidak tahu sopan santun.

Tapi tentu saja, betapapun aku terusik, aku hanya bisa berpura-pura santai dan tetap memfokuskan diri pada scene demi scene pada layar besar di hadapanku. Untuk apa aku menegur mereka? Kesendirianku kali ini bisa-bisa dianggap sebagai pemicunya.

Makanya cari pacar biar gak emosian.

Makanya jangan nonton sendirian biar gak kesepian.

Tanpa bisa kuhindari, pikiran-pikiran semacam itu pun mulai muncul di benakku. Kata-kata yang untungnya belum pernah kudengar dari orang lain sepanjang hidupku, tapi di situasi seperti ini selalu berngiang di benakku – seperti alarm yang berusaha membangunkanku dari mimpi indah.

Tapi kalau memang begitu perumpamaannya, maka kali inipun aku hanya menekan tombol snooze sebelum kembali menikmati istirahat panjang yang entah kapan akan kuakhiri.

Bukannya tak mau membuka hati. Bukannya tak ingin berbagi suka dan duka. Bukannya tak berbakti pada orangtua.

Hanya saja, kesendirianku ini sudah berlangsung begitu lama, sampai-sampai aku sudah terlalu nyaman dengan diriku sendiri. Seperti saat ini, aku menonton film di bioskop sendirian.

Beberapa orang pernah bertanya padaku : Apa enaknya sih pergi sendirian seperti itu? Tidak takut dianggap kesepian.?

Kalau ditanya kesepian atau tidak, jawabanku adalah tidak selalu. Tapi aku jelas menikmati saat-saat dimana aku bisa bebas memilih tempat duduk, snek dan film yang ingin kutonton tanpa perlu memikirkan orang lain. Kalau aku tidak suka kenapa terus kuulangi?

Awalnya, kegiatan membeli satu tiket bioskop jelas terasa canggung. Apalagi jika petugas penjual tiket yang melayaniku berteriak  lantang : “SATU TIKET UNTUK JAM TUJUH MALAM, YA!”

Jangan ditanya rasanyanya seperti apa. Saking malunya aku hanya bisa memasang wajah datar, kemudian segera berjalan menjauhi keramaian.

Dulu mungkin aku masih berpura-pura mengutak-atik ponsel – seolah aku sedang menunggu seseorang, tapi sekarang tidak lagi. Aku menjadi terlalu santai, bahkan pakaian yang kugunakan pun seakan aku hanya bermaksud untuk pergi ke warung kompleks saja, tapi di tengah jalan aku berubah pikiran : aku akan menonton film di bioskop.

Mendadak, tubuhku berkelejot ringan, mulutku mengucapkan sebuah makian yang melibatkan hewan berkaki empat. Semua karena satu adegan menyeramkan yang menyergapku di saat yang tidak kuduga. Sial, kenapa juga aku memberanikan diri untuk menonton film horor seperti ini. Betapapun sutradaranya tersohor, seharusnya aku tahu bahwa ada beberapa genre yang tak cocok ditonton tanpa teman. Adegan demi adegan menegangkan berentetan muncul, membuatku tanpa sadar mengoceh seperti merapal mantra : “Jangankesanajangankesana, begobegobego, sumpah bego. TUH KAN. Gue bilang juga apa? Setan kok disamperin.”

“Iya tuh pake disamperin segala. Gak ada kerjaan.”

Aku melirik ke arah kanan, pandanganku menangkap siluet tampak samping dari seorang pemuda yang terlihat begitu meresapi setiap momen yang ditampilkan di layar lebar. Cowok itu sepertinya tak sadar bahwa dia baru saja merespon perkataan orang tak dikenal, mungkin dia salah mengiraku sebagai temannya. Aku tersenyum geli.

Ah, mungkin memang sudah saatnya aku berhenti nonton sendiri. Mungkin aku harus bergabung dengan komunitas pecinta film dan mulai berpakaian lebih baik.

Sendirian memang enak, tapi… berdua mungkin akan lebih menyenangkan.

– THE END –

2 thoughts on “Satu Karcis Saja, Mungkin Dua

Leave a Reply to Mandhut Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *