*postingan ini dibuat dalam rangka program “Hear and Write”
Sorrow into Silk
by : Rainy Amanda
[youtube https://www.youtube.com/watch?v=F_IhJq-Jpdc]
Terinspirasi dari lagu “Silk” by Giselle
You make me sleep like a young child with warm milk
You held me tighter when I pushed you away
You turn my sorrow into silk
You turn my sorrow
Kau tetap disini. Tak peduli berapa kali pun aku menyuruhmu untuk pergi.
Dunia tak lagi sama.
Begitu kau selalu berkata.
Semuanya pergi. Tapi kita bisa menjadi keluarga.
Kalimatmu itu selalu terasa ganjil bagiku. Apa kau bilang? Apa maksudmu? Aku tidak tertarik untuk menjadi milikmu. Tidak sekarang ataupun nanti.
Bumi memang baru saja meregang nyawa, tapi hatiku tidak lantas mencari cinta. Aku hanya ingin sendiri. Diam-diam menanti matahari yang tak tentu kapan akan kembali. Menikmati batas air yang kian mengejar ujung-ujung jari kaki. Merasakan dingin yang menusuk sampai ke tulang, tak peduli berapa banyak lapis selimut yang membungkusku.
Aku bahkan tak ingin lagi menyalakan televisi. Aku jijik dengan mereka yang marah – mengamuk pada keadaan. Aku muak dengan mereka yang menangis meminta ampunan. Aku tak tahan dengan mereka yang seenaknya menyuruhku untuk segera kembali bersama orang-orang terkasih.
Apa mereka menyuruhku mati lebih dulu? Menyusul ayah dan ibuku di alam sana?
Aku bahkan tak pernah mengenal wajah kedua orangtuaku. Apa mereka tak takut aku salah mengenal orang?
Lalu kau pun tertawa.
Luapkan saja kemarahanmu, toh kita sudah tak bisa menyalakan televisi lagi.
Katamu sambil menyodorkan sebatang lilin padaku.
Apinya berpendar kekuningan, menari-nari tanpa ritme yang jelas. Kadang cepat, kadang lambat – seakan melambangkan alam yang tak pernah bisa ditebak. Membuatku rindu akan lampu-lampu yang sudah lama padam, menyisakan kegelapan tanpa ujung.
Aku tak memintamu menjadi milikku. Aku tak pernah berniat seperti itu.
Lanjutmu lagi sambil meletakkan sebuah bantal di antara belakang punggungku, kemudian mendorong bahuku perlahan, menuntunku untuk duduk bersandar pada dinding yang dinginnya masih begitu terasa.
Lalu? Apa alasanmu? Tanyaku sambil menyatukan kedua alisku.
Tak ada alasan khusus. Aku hanya ingin bersamamu.
Katamu seraya mengalungkan sebelah tanganmu di pundakku.
Kemudian kau pun berhenti bicara. Kita terhipnotis oleh kesunyian, terhibur oleh suara percik api lilin yang berkeletuk-keletuk, terbius oleh suara angin dan deburan air yang saling bersahutan.
Lalu perlahan, suara napasmu mulai berjarak panjang-panjang. Teratur, membentuk dengkuran halus yang menenangkan.
Kau meninggalkanku terlelap lebih dulu, tapi anehnya aku sama sekali tak merasa sepi. Kehangatan tubuhmu masih mengajakku bercanda, membuatku tersenyum karena lelucon-leluconnya.
Aku tahu bahwa beberapa menit lagi aku mengikuti langkahmu, menuju ke alam mimpi. Mungkin raga kita akan berakhir hari ini, tertelan volume air yang mengejar kita tanpa hati, terbekukan oleh suhu minus yang mematikan. Mungkin – ini adalah kali terakhir aku dan kau berada di bumi.
Namun, kalau besok kita masih bisa membuka mata, aku berjanji akan menolakmu kembali. Menyuruhmu pergi. Supaya kau bisa bertahan di sisiku, menggenggam tanganku dan berkata bahwa kita bisa menjadi keluarga, lagi.
Tapi kali itu, aku berjanji bahwa akulah yang akan merangkulmu. Kemudian kepala kita akan saling bersandar, memandang api lilin yang bergerak ke kiri dan kanan.
Tak ada alasan khusus. Aku hanya ingin bersamamu. [@Amanda – Nov2014]
————
One thought on “Sorrow into Silk.”