Sebelum gue mulai menulis My Love G, gue sempet menulis satu cerpen. Dibuat sekitar bulan Juni 2012. Sekarang kalau dibaca2 lagi rasanya pengen ketawa karena banyak banget yang salah diksi :)) (sekarang juga masih banyak sih yang salah2 :P). Tapi gak mengurangi sayang gue akan karya ini. Tema-nya post apocalypse, di Jakarta. Gue emang selalu tertarik sama tema pasca kiamat :D. Enjoy!
Last 3 Hours / 3 Jam Terakhir
Jakarta, 01:45 a.m.
Inka merapatkan jaket tebalnya, sesekali dia menarik sepatu boot plastiknya yang agak kedodoran. Perlahan, dia berjalan kaki menyusuri jalanan Sudirman yang sepi. Hari ini hari Selasa, tapi tidak ada aktifitas kesibukan Jakarta seperti biasanya. Mobil-mobil yang biasanya saling salip dan berlomba di antara kemacetan, sekarang terbengkalai sembarangan, ditinggalkan oleh pemiliknya.
Jalanan yang licin membuat Inka harus ekstra hati-hati melangkahkan kakinya. Usahanya terbantu oleh adanya mobil-mobil di sekelilingnya. Ketika tangan kanannya berpegangan pada sebuah mobil Ferrari merah, diapun termenung sejenak.
Dulu, hampir semua orang pasti sangat senang untuk bisa memiliki, mengendarai, bahkan sekedar melihat mobil mewah ini, tapi sekarang…
Inka memejamkan matanya, hatinya serasa ditusuk jarum, air matanya menggenang. Dia rindu akan hiruk pikuk lalu lintas Sudirman, rindu akan hiruk pikuk kota Jakarta. Hiruk pikuk yang dulu selalu menjadi beban dalam kesehariannya, yang selalu dimakinya. Sekarang, semua kebisingan itu digantikan oleh gaungan suara doa dan peringatan yang bersahut-sahutan dari Masjid, Gereja dan Kuil terdekat. Semua memanggil Tuhan, semua meminta pertolongan.
Inka masih terdiam meresapi pemandangan di sekitarnya, hamparan putih menutupi hampir seluruh permukaan di jalanan ini. Hampir tidak ada manusia selain Inka, dan 2 orang yang juga sedang berjalan tidak jauh di depan Inka. Mungkin sepasang kekasih, atau suami istri, batinnya. Kedua orang tersebut berbicara sambil berpegangan tangan erat. Nafas mereka membentuk uap-uap putih, udara dingin menusuk tulang tidak menghalangi mereka untuk menikmati saat-saat terakhir di tengah kekacauan ini.
Inka menghela nafas, dia juga harus bergegas, ada seseorang yang ingin dia temui. Karena besok mungkin tidak akan ada kesempatan lagi. Besok mungkin dia dan orang itu sudah tidak ada disini. Dipandanginya salju tebal di bawah sepatu bootnya. Kalau dia diam lebih lama lagi di udara dingin ini tanpa berbuat apa-apa, apa dia akan mati lebih cepat? Apa itu lebih baik? Apa perbedaannya mati sekarang dan nanti? Seakan menghapus pikiran-pikiran buruk yang mampir ke benaknya,Inka tersenyum pahit dan meneruskan perjalanannya.
Sudah seminggu Jakarta bersalju. Sudah seminggu langit Jakarta dan seluruh tempat di bumi kehilangan sinar suryanya, digantikan oleh gulita malam dingin yang tak berkesudahan. Matahari redup dengan tiba-tiba, tanpa ada yang tahu penyebabnya. Sistem orbit menjadi kacau dan diperkirakan hari ini pukul 3 pagi lewat 10 menit, bumi akan berbenturan dengan Venus. Sudah seminggu, dan mungkin hari ini. Hari ini. Adalah hari terakhir untuk Inka. Hari terakhir untuk seluruh umat manusia.
—
Jakarta, 02:20 a.m.
“Inka! Inka!”
Inka menengok ke arah sumber suara. Suara yang dia kenal sejak SMA dulu. Suara yang dulu, bahkan sampai sekarangpun, masih membuat hatinya terasa diremas-remas.
“Kei..”
Kei bergegas menghampiri Inka.
“Hai Inka..”
“Hei…”
Sejenak mereka tidak tahu harus berkata apa, hanya bisa tersenyum canggung satu sama lain. Pertanyaan standar seperti Apa kabar? Bagaimana kuliah? Terasa menggelikan. Semua kehilangan kehidupannya yang dulu, semua kehilangan rutinitas, semua merasakan hal yang sama. Untuk apa bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya?
“Lo pasti capek jalan kaki dari Benhil sampai sini, ayo masuk dulu, kita ngobrol di lobby aja.. ada yang nyediain teh jahe dan makanan seadanya, jadi lumayan ngehangatin badan…” Ajak Kei.
“Ah… eh.. iya, oke!” ujar Inka, masih canggung. Degup jantungnya masih belum bisa diajak kompromi.
“Hehehe, yuk buruan, bisa beku entar, muka lo udah kayak nugget!” kali ini Kei langsung menggenggam lengan Inka dan menuntunnya masuk ke arah kamp pengungsian Bunderan HI.
Pipi Inka yang tadinya beku karena angin dingin, langsung menghangat seketika. Dulu Inka akan panik karena takut wajahnya memerah dan Kei tahu akan perasaannya, tapi tidak hari ini.
—
When your world trembles and quakes
And your footing suddenly shifts and shakes
Take my hand
We’ll hide in the corner
Hide in the corner
Take my hand
We’ll hide ’til it’s over
‘Til it’s all over
(Allie Moss – Corner)
Jakarta, 02:30 a.m.
Lobby Hotel Indonesia masih megah sama seperti dulu, hanya saja kali ini tidak dipenuhi oleh tamu hotel yang menginap , tapi ratusan bahkan ribuan pengungsi yang mendiami kamar-kamar di lantai atas. Sebagian Lobby digunakan sebagai pos pengobatan dan makanan, sebagian lagi diperuntukkan untuk pengungsi. Baik pengungsi maupun relawan, berdoa memohon ampunan dosa, beberapa di antara mereka masih berharap akan datangnya mukjizat.
Inka duduk di salah satu sofa di lobby hotel tersebut. Kei sedang mengambil teh di pos makanan di ujung kanan lobby. Sejenak pikiran Inka terlempar ke masa dimana Inka bertemu Kei untuk pertama kalinya.
Inka dan Kei kenal saat mereka sama-sama bersekolah di sebuah SMA di daerah Menteng. Mereka dekat, dan terus bertukar kabar satu sama lain, bahkan saat mereka menginjak bangku kuliah dan tidak berada di universitas yang sama.
Dekat, tapi hubungan mereka tak pernah lebih dari sahabat. Inka terlalu takut untuk mengungkapkan perasaannya, karena Kei adalah kekasih dari sahabat Inka sejak kecil, Maya. Bahkan setelah Kei dan Maya putuspun, Inka tak berani mengambil langkah lebih jauh soal hubungannya dan Kei. Sebagian karena tidak mau Maya merasa dikhianati, sebagian lagi karena takut Kei menolaknya dan hubungan Kei dan Inka jadi jauh.
Tapi itu dulu. Setelah matahari meredup dan kehidupan ada di ambang batas, semua norma dan pertimbangan yang sebelumnya Inka pegang teguh menjadi buyar. Inkapun berpikir, siapa orang yang ingin dia temui di saat-saat terakhirnya. Ada yang memilih untuk bersama keluarga, ada yang ingin sendiri, ada yang ingin berdoa bersama-sama, ada juga yang ingin bertemu kekasihnya, Inka ingin bersama Kei. Dan tanpa pikir panjangpun Inka langsung menghubungi Kei di hari kelima setelah matahari menghilang. Merekapun berjanji untuk bertemu di hari terakhir bumi.
Kei dan keluarganya tinggal di daerah Menteng, tapi karena kepanikan yang terjadi sejak seminggu yang lalu, keluarga mereka memutuskan untuk menjadi relawan di kamp pengungsian terdekat, membantu orang-orang yang tidak memiliki rumah dan kedinginan di luar sana. Pemerintah memutuskan untuk membuka hotel-hotel untuk tempat bernaung bagi siapa saja yang membutuhkan. Selimut, obat, dan makanan gratis dibagikan, semua berlomba-lomba untuk beramal. Kei sebagai mahasiswa kedokteran di tahun ketiganya, bertugas di Pos Kesehatan kamp tersebut.
“Inka, ini tehnya, langsung diminum biar badannya anget” ujar Kei sambil menyodorkan gelas ke tangan kanan Inka, yang langsung tersadar dari lamunannya.
“Thanks Kei..”
Inka menyeruput teh hangatnya, seketika kebekuan di ujung jari tangan dan perutnya terasa mencair.
“Gimana orangtua lo, Ka? Keluarga lo?” tanya Kei sambil mendudukkan dirinya di sofa sebelah Inka.
“Oh. Mereka semua ke gereja dekat rumah, sudah seminggu ini kami berdoa di sana, pulang hanya untuk tidur dan mandi.” Jawab Inka.
“Oh.. terus… apa lo gamau bersama mereka.. sekarang?”
Kei dan Inka saling berpandangan. Sekarang, saat bumi hanya memiliki waktu 2 jam sebelum bertabrakan dengan Venus? Para pengungsi di lobby Hotel Indonesia saling bersahutan melantunkan doa, bersama keluarga mereka. Inka bisa kembali saat ini juga, menuju keluarganya, kalau Inka mau.
Inka tersenyum “Gue sudah cukup bersama mereka seminggu ini, dan kami memutuskan untuk tidak terlalu membesar-besarkan situasi yang ada, berdoa dan pasrah saja. Lo gimana? Keluarga lo ada dimana?”
“Oh.. mereka lagi bertugas di pos masing-masing, nyokap masih mengurus konsumsi, bokap di pos kesehatan, sama kayak gue, kami juga sepakat untuk pasrah dan melayani pengungsi dengan baik.” Ujar Kei mantap.
“Gue ga akan ambil waktu lo lama-lama Kei, 3 menit aja , habis itu lo bisa segera bergabung dengan mereka, oke?”
“Ga perlu gitu juga, Inka. Take your time. Lo udah gue anggap keluarga, jadi gue gak akan merasa keberatan bersama lo sekarang…”Kei mengacak-acak rambut Inka sambil tersenyum.
Kei yang selalu baik. Kei yang selalu pengertian dan sayang pada Inka. Kei yang bahkan sekarangpun tidak egois. Di hari lain Inka akan langsung putus harapan begitu mendengar Kei menganggapnya selayaknya keluarga. Di hari lain. Tapi tidak hari ini.
Inka menghela nafas, menyiapkan dirinya untuk mengungkapkan apa yang sudah disembunyikannya sejak bertahun-tahun yang lalu.
“Tapi buat gue, lo bukan keluarga, Kei.”
Kei menaikkan sebelah alisnya. Inka tersenyum lalu meneruskan kalimatnya, Jantungnya berdebar lebih kencang dari sebelumnya, tapi tidak terselip keraguan sedikitpun.
“dari dulu, dari sejak kita SMA, sejak lo masih pacaran sama Maya, gue selalu.. selalu sayang ma lo, Kei.”
“Inka..”
“Karena gue takut hubungan kita berubah, dan gue sama lo ga bisa temenan dekat kayak dulu lagi, gue ga pernah bilang. Tapi dari dulu sampaisekarang, gue sayang sama lo, gue cinta sama lo, Kei…”
“……..”
“Paling tidak, hari ini saja, gue ingin lo tahu perasaan gue.. sebelum..sebelum…” suara Inka tercekat, keberaniannya sudah habis terkuras untuk menyatakan perasaannya.
Tangan kanan Kei membekap mulutnya, seakan tak percaya dengan kata-kata Inka. Tak lama, mata Kei menangkap mata Inka, Inka mengalihkan pandangan, berusaha untuk berdiri dan lari, tapi Kei segera berlutut di hadapan sofa Inka dan memeluknya erat.
Inka terkejut, air mata seketika membajiri kedua pipi Inka. Tubuhnya bergetar karena semua emosi yang ditahannya seminggu ini. Mungkin seminggu ini dia hanya berpura-pura pasrah, mungkin kepasrahan itu tidak pernah ada, Inka tak tahu. Tiba-tiba ketakutan dan penyesalan menyesap ke dalam hatinya.
Kei melepas pelukannya dan memegang kedua pipi Inka.
“Kalau kita bertemu lagi, entah kapan, entah dimana, menjadi siapa, suatu hari nanti. Semoga kita berdua bisa lebih berani untuk mengungkapkan perasaan. Semoga kita punya lebih banyak waktu untuk bersama…”
Napas Inka tertahan.
“..sayang.. lo, Inka…”suara Kei pun tercekat, sejenak mata mereka bertemu. Penyesalan. Hanya penyesalan yang ada di hati. Seandainya Inka lebih berani, mungkin saat ini…
Tiba-tiba konsentrasi mereka dibuyarkan oleh suara sirine dan teriakan dari segala penjuru.
“SEMUA DALAM POSISI AMAN. SEMUA BERLINDUNG. SEMUA BERLINDUNG!!!”
“Kei?”
Kei mendekap tubuh Inka erat. “Jangan takut, Inka. Jangan takut.”
…
Jakarta, 03:10 a.m.
Jakarta, 03:11 a.m.
Jakarta 03:15 a.m.
….©2014-Putri Amanda Bahraini
—
🙂 thank you for reading!