2
Neighbor
Because I’m easy come, easy go,
Little high, little low,
Any way the wind blows doesn’t really matter to me, to me.
(Bohemian Rhapsody – Queen)
“Julien Kim?” Yindi memegang erat naskah yang sedari tadi berada dalam genggamannya, tanpa sadar bersikap waspada.
“Siapa?” tanya pria kurus itu dengan raut bingung. Wajahnya menunduk untuk menatap Yindi.
Aroma menthol yang pekat dari napas pria itu menggelitik indera penciuman Yindi. “Kalau begitu… anda yang bernama Naren?”
Pria berwajah tirus itu memandang Yindi dengan tatapan menyelidik, seakan-akan berusaha mengingat siapa perempuan yang berdiri di hadapannya.
“Benar, saya Naren. Ada urusan apa, ya?” tanyanya sambil melipat kedua tangan dan menyandarkan sebelah tubuhnya pada salah satu sisi kusen pintu. Di belakangnya terlihat sebuah rak berisi buku-buku tebal yang disusun dengan rapi. Berpadu kontras dengan botol alkohol kosong dan kaleng-kaleng minuman yang berserakan di sekeliling dasar rak.
“Saya dari Lovebirds Publishing. Beberapa bulan yang lalu ada penulis yang mengirim naskah dan mencantumkan alamat ini. Kami sudah coba menghubungi, tapi tidak ada respons.…”
Salah satu alis Naren terangkat, seakan-akan perempuan di hadapannya baru saja menanyakan hal paling konyol sedunia. “Naskah?”
“Iya, naskah fiksi, novel.”
“Gak salah kamar? Salah rumah?”
“Alamatnya sudah benar. Namanya Julien Kim.”
Raut wajah pria jangkung itu berubah dari heran menjadi geli, “Saya kos sendiri dan saya gak kenal dengan orang yang kamu cari itu.”
“Kemungkinan ini hanya nama pena….” Yindi menyodorkan naskah Julien Kim, yang langsung disambut oleh pria berwajah tirus itu.
Sejenak Naren membolak-balik naskah, kemudian menggelengkan kepala. Yindi meneruskan kalimatnya, “Mungkin dia pernah tinggal disini? Naskah ini sampai ke kantor kami kurang lebih setahun yang lalu.”
“Saya tinggal disini lebih lama dari itu, dan saya juga gak kenal nomor telfon dan e-mail-nya. Sori, gak bisa bantu.” Naren menutup naskah dan mengembalikannya pada Yindi.
Yindi menggigit bibir. Julien Kim, penulis yang diinginkan Ibu Inge, menghilang tanpa jejak. “Bener-bener gak tahu?”
Pria yang bertelanjang dada itu hanya mengedikkan kedua bahunya dengan santai. Tidak terlihat merasa terganggu karena berulang kali harus menjawab pertanyaan yang sama.
“Kalau begitu saya akan meninggalkan nomor yang bisa dihubungi. Boleh minta tolong untuk segera memberitahu saya kalau ada info baru soal ini?” pinta Yindi seraya menyerahkan kartu namanya pada Naren.
“Oke… Yin-di.” Pria tersebut tersenyum, menekankan nama Yindi di akhir kalimatnya. Yindi tersenyum masam, mungkin namanya dianggap aneh, bukan kali pertama orang lain berpendapat begitu. Tanpa sadar, Yindi mencuri pandang sekali lagi ke arah tato bintang-bintang di dada kiri Naren.
Pria itu berdeham, menyadari Yindi yang sedari tadi meneliti bagian tubuhnya. “Ada lagi yang bisa gue bantu?” tanyanya dengan nada jail.
“Eh? Oh, udah kok, terima kasih, kalau begitu saya permisi dulu….” Yindi menganggukkan kepala tanda berpamitan.
“Sama-sama, Yindi….” Naren tersenyum dan menutup pintu. Lampu neon ruangan tersebut kembali dimatikan, hanya seberkas sinar kuning remang yang tetap setia berpendar dari balik jendela.
Yindi berjalan menuju tangga dengan terburu-buru. Samar-samar, Bohemian Rhapsody terdengar kembali dari kamar nomor 9. Lagu itu tidak akan pernah terdengar sama lagi.
***
Dalam cahaya temaram, Naren mengarahkan mouse pada layar monitornya untuk menambah volume suara Freddie Mercury yang melengking tinggi.
Pria itu memastikan bahwa komputer dan kamera DSLR miliknya sudah terhubung menggunakan kabel data. Tak lama, sebuah balon kata muncul di sudut kanan layar monitor, menandakan bahwa dia sudah bisa mengakses gambar dari memory card pada kamera.
Naren mengecek kualitas foto yang baru diambilnya tadi siang, tak lupa menyalinnya ke dalam memori komputer sebagai back-up. Tanpa melihat, pria itu mengulurkan sebelah tangan untuk mengambil rokok menthol yang sejak tadi didiamkan di atas asbak dalam keadaan masih menyala. Sebuah gelas berisi kopi tersenggol olehnya tanpa sengaja, menumpahkan cairan berwarna hitam ke atas meja dan keyboard yang sedang dia gunakan.
Dengan gesit, Naren menyelamatkan kamera DSLR miliknya, meletakkannya di atas CPU yang berdengung pelan. Pria itu segera meraih sebuah boks tisu yang berada di samping tempat tidur lalu kembali menyalakan lampu utama untuk penerangan yang lebih baik. Wajahnya tetap tenang, kejadian barusan sama sekali tidak membuatnya panik.
Pria kurus itu mengangkat keyboard miliknya yang sudah basah, kemudian mengeringkan meja tempatnya bekerja, mencegah cairan kopi tersebut mencapai benda berharga lainnya.
Matanya menemukan selembar kertas kecil berwarna putih yang sekarang dikotori sebagian oleh noda berwarna coklat gelap, kartu nama milik gadis yang belum lama tadi berbicara dengannya.
Yindi Anggraini Junior Editor Lovebirds Publishing |
Senyum Naren terkembang setelah membaca tulisan pada kartu tersebut. Pria itu masih ingat dengan kegugupan Yindi. Gadis itu berkali-kali merapikan ujung rambutnya ke belakang telinga dengan suara yang bergetar. Satu hal yang paling menarik perhatiannya adalah lesung pipi gadis itu yang hanya muncul pada satu sisi wajahnya. Sayang sekali dia tak bisa menolong Yindi. Naren benar-benar tidak pernah mendengar tentang Julien Kim, apalagi mengirim naskah novel ke penerbit—hal seperti itu sama sekali bukan gayanya.
Sekali lagi, Naren memeriksa keyboard-nya yang belum bisa digunakan meskipun dia sudah menggunakan tisu untuk menyerap cairan yang masuk ke sela-sela tombol. Pria itu mencabut kabel papan ketik tersebut dari CPU, lalu menempatkannya di depan sebuah kipas angin yang menyala dengan kecepatan penuh, bermaksud untuk mencoba mengeringkan sisa-sisa air kopi pada komponen yang tak bisa dijangkaunya. Jika memang diperlukan, baru besok dia akan membawanya ke tukang reparasi—atau mungkin membeli yang baru.
Pria itu mematikan komputer miliknya, kemudian berjalan menuju balkon untuk mencari udara sejuk di tengah malam yang terasa begitu lembab, efek dari hujan yang baru saja reda.
Tiba-tiba ponsel miliknya berbunyi, memperdengarkan nada dering standar. Naren menghentikan langkahnya dan merogoh saku celana jeans miliknya, kemudian menekan tombol hijau dengan segera.
Sebuah suara menyapa manja dari speaker ponsel bahkan sebelum Naren berkata halo.
Pria itu diam sesaat, membiarkan si penelepon berbicara, kemudian merespons datar, “Yaudah kesini aja.”
***
Suara pagar besi berderit karena karat. Yindi melangkah masuk ke teras rumahnya. Dia sedang memasang gembok pada slot pagar ketika seorang wanita terlihat mengintip dari jendela ruang tamu yang menghadap persis ke teras—Ibu Indah, penyewa lantai satu rumah Yindi.
“Macet, Mbak Yindi?” tanya wanita berkacamata itu ramah.
“Iya nih Bu, capek banget.”
Ibu Indah tersenyum maklum, paham dengan perjuangan yang harus dihadapi sebagian besar pencari nafkah di kota besar. Tanpa berbasa-basi lebih lama lagi, Yindi berjalan menuju sisi kanan pekarangan, menaiki tangga semen yang meskipun sudah dibayangi kanopi masih saja becek oleh hujan. Dia mendaki setiap pijakan dengan hati-hati, menuju tempat tinggalnya di lantai dua.
Rumah ini milik Yindi, warisan dari ibunya yang sudah meninggal. Ibundanya mendapatkan rumah ini dari orangtuanya—kakek dan nenek Yindi—yang juga sudah berpulang, jauh sebelum Yindi dilahirkan. Kakek dan nenek Yindi adalah pendatang dari luar daerah yang tak diketahui asal-usulnya, sedangkan ibu Yindi adalah anak mereka satu-satunya. Mereka tak punya sanak saudara, sementara ayah Yindi kembali Riau tak lama setelah bercerai dengan ibunya, meninggalkan Yindi yang kala itu masih balita.
Tiga bulan setelah ibunya tutup usia, Yindi memutuskan untuk menyewakan sebagian rumah yang dia tinggali. Karena masih kuliah, tidak banyak penghasilan yang bisa didapatkannya dari bekerja paruh waktu, jadi dia harus mencari sumber pemasukan cadangan. Lagipula kehadiran penghuni lain akan membuat Yindi sedikit lebih tenang karena dia tidak harus hidup sendirian di rumah tersebut.
Sejak itu, Ibu Indah menyewa lantai bawah rumah Yindi. Ibu Indah seorang single parent, wanita itu jauh-jauh mengais rezeki di Jakarta demi masa depan anak yang dititipkan pada keluarga di Solo. Pembawaan Ibu Indah mengingatkan Yindi pada ibu kandungnya yang sudah berpulang : sabar, pekerja keras dan disiplin. Meskipun tidak banyak bicara, Yindi tahu bahwa Ibu Indah peduli padanya.
Gadis itu berjalan melewati teras atas yang merangkap balkon serta area jemur. Tempat itu dilindungi oleh terali pembatas setinggi pinggang. Sepasang kursi dan sebuah meja dari bambu ditempatkan di antara tangga dan pintu.
Yindi masuk ke dalam rumah, lalu menyalakan lampu. Tempat tinggalnya tidak besar, hanya terdiri dari kamar mandi, dapur kecil di sebelah pintu masuk, dan kamar tidur yang dihubungkan oleh sebuah area yang beralih fungsi sebagai ruang makan, ruang tamu, sekaligus ruang keluarga.
Gadis itu melemparkan tas ke sofa panjang berwarna pink pastel di depan televisi berukuran 20 inch. Dia berjalan mendekati kulkas, mengambil segelas air dingin dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Bunyi gelas yang beradu dengan keramik konter dapur berdenting nyaring dalam hening, membuat Yindi merasakan sepi yang sejak tadi tidak dia acuhkan.
Yindi berpindah menuju kamar tidur yang hanya dibatasi oleh sebuah rak dua sisi dengan ruang keluarga. Gadis itu mendudukkan diri pada sisi peraduannya, menghadap sebuah jendela besar dengan tirai yang terbuka.
Diambilnya sebuah bingkai yang terpajang di sisi tempat tidur, lalu dipandanginya lekat-lekat. Diaturnya napas untuk meredam tangis yang mulai mengambang di pelupuk mata. Hatinya terasa seperti ditusuk-tusuk saat melihat foto mendiang ibunya, apalagi di momen seperti ini—hari ulang tahunnya.
Mama, panggilnya dalam hati. Sesuatu yang sangat dia sesali karena kali ini air mata mulai turun membasahi kedua pipinya.
Gadis itu menahan emosi yang mulai memburu. Padahal dia hanya berbicara dalam hati, tapi dia tidak sanggup meneruskan dialog ini lebih jauh lagi. Diletakkannya kembali bingkai foto tersebut ke tempatnya semula. Yindi berdiri menghadap jendela, menghapus sisa-sisa air mata dengan punggung tangannya. Dengan pandangan yang masih kabur, gadis itu menikmati langit malam Jakarta, lukisan objek langit dengan lapis demi lapis polusi yang mengurangi keindahannya.
Di seberang jendela kamar Yindi, seorang pria juga terlihat sedang memandang langit. Pria tinggi kurus bertelanjang dada yang tadi dia temui, Narendra. Rupanya jendela kamar Yindi berseberangan dengan balkon kamar kos yang ditinggali pria itu. Lucu rasanya. Ini bukan kali pertama Yindi mencuri pandang keluar jendela kamarnya, tapi gadis itu tak merasa pernah melihat sosok Naren sebelumnya.
Naren duduk pada kursi plastik putih, kedua kakinya terangkat, bertumpu pada terali besi tempa berpola sulur. Yindi sedang asyik memperhatikan gerak-gerik pria itu, ketika tiba-tiba sesuatu di tangan Naren berpendar sepersekian detik diikuti dengan sebentuk asap putih yang mengambang di udara.
Rokok. Udah kurus gitu masih saja merusak diri dengan nikotin. Yindi teringat dengan aroma menthol pekat dari pria tersebut.
Gadis bermata sayu itu memicingkan pandangan. Bertanya-tanya dalam hati tentang Julien Kim. Mengapa penulis itu seenaknya memakai alamat orang lain? Atau mungkin hanya salah mencantumkan nomor rumah? Mungkin Julien Kim adalah tetangga Naren?
Kalau memang Ibu Inge memaksa, nantinya mungkin Yindi harus mencoba bertanya pada setiap penghuni di kos-kosan tersebut. Bakat Julien Kim terlalu berharga untuk dibiarkan, apalagi dengan kondisi perusahaannya yang masih mencoba unjuk gigi di dunia penerbitan buku.
Naren terlihat baru sadar akan kehadiran Yindi. Pria itu menganggukkan kepala sebagai bentuk sapaan. Sepertinya pria itu juga tersenyum padanya, tapi Yindi tak yakin. Dibalasnya sapaan Naren dengan lambaian tangan kikuk. Gadis itu merasa seperti tukang intip. Dia berniat untuk menutup tirai jendela kamarnya ketika tiba-tiba sebuah siluet lain muncul di balkon seberang—sosok mungil yang terlihat sangat misterius dengan kacamata hitam dan jaket dengan penutup kepala berwarna senada.
Julien Kim? batin Yindi penuh rasa ingin tahu.
Dengan santai, perempuan itu mendudukkan diri dan bersandar manja pada bahu Naren. Diambilnya sebatang rokok dari kotak yang ditawarkan Naren. Kacamata hitam yang dikenakan si wanita misterius berkilau memantulkan cahaya api. Dua orang itu terlihat mulai mengobrol, tapi hanya suara tawa Naren yang sesekali terdengar. Yindi memandangi si figur misterius dengan penuh selidik, mencoba menebak-nebak apakah orang ini adalah penulis yang dia cari. Sayang, kala itu balkon Naren hanya diterangi sinar bulan dan sedikit paparan lampu jalan, sehingga Yindi tidak bisa melihat paras wanita itu dengan jelas.
Kalau memang orang itu adalah kekasih Naren, mungkin saja dia diam-diam menggunakan alamat pacarnya untuk mengirim naskah.
Gadis itu merapatkan bibirnya, rasanya sudah cukup penyelidikan untuk hari ini, tubuhnya lelah dan Ia ingin segera beristirahat. Yindi bersiap menarik ujung tirai, dalam hati berjanji untuk mencoba mencari Julien Kim lagi di lain waktu, tapi tiba-tiba tangannya terasa kaku. Di balkon seberang, Naren dan perempuan misterius saling memagut. Tanpa mematikan puntung rokok yang bertengger di tangan masing-masing, ciuman mereka semakin mesra, semakin memburu. Yindi terbelalak, tidak percaya dengan apa yang sedang disaksikannya.
Sekilas Naren mengalihkan tatapannya ke arah Yindi, seakan-akan sempat lupa bahwa gadis itu masih berada di seberang sana—melihat adegan mesranya. Sadar bahwa pandangan mereka bertemu, Yindi segera membuang muka dan menutup gorden jendelanya rapat-rapat.
Mesum! teriaknya dalam hati. Dia memang lahir dan besar di kota besar seperti Jakarta, tapi tidak pernah menyangka akan melihat hal seperti itu secara langsung.
Gadis itu bergegas menuju lemari pakaian, mengambil handuk bersih dan baju ganti. Hari ini terlalu menyebalkan untuk dijalani lebih lama lagi. Dia ingin segera merebahkan diri dan terbang ke alam mimpi.©2014AmandaBahraini