1
Dear Galih,
I have butterflies flying around inside my tummy when I’m with you
I hear bell chimes ringing blown by wind of spring when I’m with you
(Butterflies in My Tummy – Mocca)
Untuk kesekian kalinya, Yindi memandangi charm bracelet silver yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Pantulan sinar matahari mempercantik lekuk perhiasan tersebut, memperjelas beberapa titik berlian yang berkilau dengan semburat warna pelangi.
“Suka gak sama kadonya?” tanya Galih seraya tetap memfokuskan pandangan pada jalan di hadapannya. Pemuda itu melirik spion, kemudian mengarahkan CRV abu-abu metalik yang dia kendarai untuk berpindah ke baris antrean pintu tol yang terlihat lebih pendek.
Yindi tersenyum simpul di samping Galih. “Banget. Makasih, ya.”
“You’re welcome,” balas Galih kalem. Ditautkannya jemarinya dengan milik Yindi. Pria itu sengaja hanya menggunakan satu tangannya yang lain untuk memindahkan gigi persneling dan mengendalikan setir. Jantung Yindi berpacu sedikit lebih cepat. Gadis itu salah tingkah, tapi dia sama sekali tak berniat untuk mengakhiri genggaman tangan mereka.
Diam-diam, Yindi meneliti paras pria yang duduk di sampingnya. Hidungnya mancung, kulitnya putih, rahangnya selalu bersih tercukur—hanya menyisakan sedikit area abu-abu samar yang membuatnya terlihat maskulin. Dengan tubuh yang tinggi dan dada bidang, penampilan pria itu hampir tak ada cela, bahkan sifatnya pun begitu lembut dan pengertian. Tapi, yang paling membuat Yindi tergila-gila adalah perhatian seorang Galih. Seperti pagi ini, Yindi begitu bahagia saat menemukan Galih berdiri di luar pagar rumahnya dengan membawa sekotak cupcake coklat yang dihiasi lilin ulang tahun. Kejutan tidak berakhir di situ, karena Galih segera memberikan kado gelang yang begitu indah dan sigap menawarkan diri untuk mengantar Yindi ke kantor.
Yindi menggerakkan aksesori barunya sekali lagi, menikmati gemerencing yang terdengar begitu merdu. Ada tiga bandul kecil yang tergantung di sana, masing-masing melambangkan mimpi seorang Yindi Anggraini; buku yang mengungkapkan kecintaan gadis itu akan dunia tulis-menulis, es krim kesukaannya, dan bentuk pulau New Zealand sebagai negara yang selalu ingin dikunjunginya. Yindi memang pernah bercerita tentang mimpi-mimpinya, tapi gadis itu tak menyangka bahwa Galih akan mengingat semuanya dengan baik.
Galih menekan sebuah tombol pada dasbor mobil. Sebentar kemudian, intro musik pop jazz milik Maliq and D’Essentials mengalun diiringi suara Angga si vokalis yang mulai menyanyikan bait awal dari lagu berjudul Dia. Galih mengetuk-ngetukkan jari pada setir, kepalanya mengangguk-angguk sesuai irama.
♫Temukan apa arti di balik cerita. Hati ini terasa berbunga-bunga
Membuat seakan—aku melayang. Terbuai asmara♫
Sambil tetap menikmati entakan nada, Galih menghentikan mobil tepat di sisi loket penjaga tol dan membuka kaca jendela. Seorang wanita berseragam biru menyapa mereka, ekspresi maklum tergambar di wajahnya saat melihat tangan Galih dan Yindi yang saling menggenggam.
Yindi tersipu. Dia menikmati setiap detik yang dilewatinya saat ini. Lalu lintas yang begitu padat masih akan memperpanjang waktu tempuh mereka sampai ke tujuan, namun Yindi tahu bahwa kebersamaan mereka akan terasa begitu singkat—membuat gadis itu berharap alam memberikan tambahan menit—bahkan detik—untuk bisa bersama lebih lama dengan Galih.
Ah, Galih… apa sih kurangnya kamu? batin Yindi sambil menghela napas perlahan.
“Ndi, aku nyesel, deh…,” tutur Galih memelas seraya menambah kecepatan dalam jalur bebas hambatan.
“Kenapa?”
“Aku harusnya minta nomor telfon mbak yang jaga pintu tol tadi.”
Yindi menaikkan kedua alisnya, sedikit terkejut dengan apa yang baru saja diucapkan Galih. Sebuah perasaan tidak senang menghinggapi dirinya. Baru saja dia menyanjung-nyanjung Galih dalam hati dan sekarang pria itu mengatakan hal yang membuatnya sebal.
“Ngapain? Naksir?” tuduh Yindi dengan intonasi yang sebisa mungkin dibuatnya datar.
“Enggak. Tadi aku liat nama mbaknya Bintang, dia pasti alien. Aku tinggal jual info ini ke stasiun televisi dan aku bisa dapet duit banyak!”
Raut sinis di wajah Yindi luntur, tergantikan oleh ekspresi sayang yang tumpah ruah untuk seorang pria yang terlihat sangat bangga dengan leluconnya barusan.
Yindi mencintai semua tentang Galih, termasuk selera humornya yang unik. Biarlah orang lain berkata apa, hati Yindi tetap tertambat pada Galih.
Ping.
Ponsel milik Yindi berbunyi. Dengan satu tangan, Yindi merogoh hobo bag berwarna coklat tua miliknya, kemudian membuka aplikasi pesan berlogo telepon hijau.
Ternyata pesan dari sahabat sekaligus koleganya, Mita.
———————————————————————–
Mita :
Nyet, lo masih di jalan?
Gue nitip beli risol dong di belokan Senopati
———————————————————————–
Yindi memutar mata. Sahabatnya itu memang sangat menggemari kudapan-kudapan tidak sehat, salah satunya gorengan penuh minyak tersebut.
———————————————————————–
Yindi :
Ya ampun gak takut kanker?
Ngemil gorengan melulu lo…
Ada lagi yang bisa dibantu, Nyonyah?
———————————————————————–
Mita :
Biar, ah. Orang gue belon sarapan.
Oke, sekalian titip pesen sama Galih,
Bilang ke si kunyuk itu, sahabat gue si Yindi Anggraini mau digantungin sampe kapan?
———————————————————————–
Tanpa membaca lebih lanjut, Yindi langsung menekan tombol lock pada ponsel miliknya. Seketika, layar telepon genggam tersebut menjadi gelap.
Gadis itu berdecak pelan, sahabatnya yang usil telah mengacaukan suasana hatinya yang barusan bagaikan ditumbuhi bunga berbagai rupa.
Yindi melirik Galih dari sudut matanya, khawatir kalau-kalau pria itu turut membaca pesan dari Mita barusan, tapi Galih terlihat santai, memperhatikan jalan sambil bersenandung kecil mengikuti musik. Bahkan jari-jemari mereka masih bertaut. Yindi menggigit bibir, hatinya gundah. Perlahan, lagu Dia yang dinyanyikan Maliq and D’Essentials mulai memasuki bagian akhir.
♫Dia… seperti apa yang selalu kunantikan, aku inginkan
Dia… melihatku apa adanya, seakan ku sempurna♫
Galih memang sempurna baginya. Tapi, apa Galih juga berpikir sama tentang Yindi? Kurang pantaskah dia menjadi kekasih Galih, hingga pria itu tak kunjung meresmikan hubungan mereka?
***
Galih dan Yindi.
Ing-ga, Lin-di, Gan-dhi.
…Gandhi!
Yindi meneliti halaman Google pada browser. Dia mengetik kata kunci “arti nama gandhi” lalu menekan tombol enter. Sedetik kemudian, hasil pencarian muncul di layar monitor. Dipilihnya salah satu tautan yang menuju pada website yang khusus menyediakan katalog nama bayi.
Nama : Gandhi
Arti : Matahari
Asal : India (Sansekerta)
Gadis itu tersenyum. Pikirannya melambung dalam khayal. Asyik membayangkan jika suatu hari nanti dirinya dan Galih dikaruniai putra bernama Gandhi.
Gandhi Permana. Anak dari Galih Permana dan Yindi Anggraini.
Pipinya memanas. Sebuah sensasi yang tidak bisa dijelaskan berkembang di dalam lambungnya, merambat naik ke atas, membuat jantungnya berdebar lebih cepat.
“Hamil lo, Nyet?”
Panik, Yindi segera mengarahkan mouse-nya untuk menutup browser pada layar.
Seorang gadis bertubuh tinggi semampai duduk pada kursi kubikel di samping Yindi. Kaki-kakinya yang panjang saling bersilang anggun, kedua tangan gadis itu terlipat di dada, wajahnya menunjukkan ekspresi geli. “Namanya bagus kok…,” komentarnya dengan nada usil.
Yindi mencibir. Mita memang suka sekali memergoki dia di saat yang tidak tepat. “Gak usah dibahas…,” balasnya malas.
“Ndi…, Ndi…, bilangnya sih biasa aja, tapi diem-diem cari nama anak. Jadian aja dulu….”
Yindi memejamkan mata sejenak—frustrasi. Mita memang terkenal dengan suaranya yang memiliki tingkat desibel di atas rata-rata. Untung saja ini belum jam kantor. Selain mereka, baru beberapa orang yang hadir di dalam ruangan tempat mereka berada. Kalau tidak, bisa habis dia dipermalukan oleh sahabatnya sendiri.
“Lo udah sampein pesen gue ke Galih belum?” buru Mita lagi.
“Apa sih, Mit…,” Yindi berusaha menyudahi pembicaraan.
Mita tersenyum sinis. “Oh, come on. Lo tuh temen gue yang paling insecure, Ndi. Lama-lama lo bisa depresi kalau terus-terusan digantungin sama Galih kayak gini.”
Tanpa izin, Mita merogoh hobo bag milik Yindi, kemudian mengeluarkan isinya satu-persatu : obat sakit kepala, obat demam, vitamin, dan balsem. Di salah satu sisi tas yang lain tersimpan sandal jepit yang terbungkus dalam plastik, dua payung lipat, tisu basah, pembalut wanita, hand sanitizer, power bank dan perlengkapan darurat lainnya. Semua disusun rapi dan dikelompokkan dalam wadah terpisah.
“Tuh, miss well-prepared. Ke kantor aja udah kayak mau pulang kampung. Yang model kayak lo betah digantungin cowok? Mukjizat!”
Yindi merebut kembali tas miliknya. “Gak ada hubungannya kali…,” tangkisnya ketus.
“My point is, lo selalu mau berada di zona aman. Selalu ada plan B. Gue yakin ya, kalau sampai sekarang lo masih diem soal hubungan lo dan Galih ini, itu pasti karena lo gak mau Galih merasa bersalah karena—“
Telepon di meja Mita berdering, membuyarkan pembicaraan mereka yang baru saja mengarah serius. Tanpa banyak menunggu, Mita segera menjawab panggilan. “Halo? Iya Ika, kenapa?”
Rupanya yang menelepon adalah Ika, resepsionis kantor mereka. Mita melirik jam pada pergelangan tangan kirinya, ekspresinya berubah ceria.
“Oke, saya turun sebentar lagi. Suruh duduk dulu aja. Iya, sip. Makasih, Ika….”
Setelah meletakkan gagang telepon dengan terburu-buru, Mita segera berdiri dan menoleh pada Yindi. “Yoona576!” pekiknya sambil meloncat-loncat kecil.
“Si blogger itu?” respons Yindi seraya mengernyit, kupingnya pengang karena teriakan Mita barusan.
Belakangan ini Mita terus menyinggung tentang seorang blogger dengan nama samaran Yoona576 yang banyak menulis fan fiction di salah satu forum K-Pop. Itu lho, cerita fiksi yang menggunakan bintang-bintang idola Korea Selatan sebagai tokohnya. Menurut Mita, bakat Yoona576 bisa dikembangkan untuk menjadi seorang penulis profesional. Apalagi sekarang zamannya hallyu wave, bisa dipastikan itu akan mendongkrak penjualan nantinya.
Mita menawarkan Yoona576 untuk menerbitkan buku di bawah bendera Lovebirds Publishing—tempat Yindi dan Mita bekerja sebagai junior editor. Perusahaan penerbitan ini baru saja berdiri dua tahun lalu, belum banyak buku best seller yang berhasil diterbitkan. Karena belum terlalu dikenal, jadi seringkali para editorlah yang harus mengejar penulis—seperti yang dilakukan Mita sekarang.
“Iya… kemarin gue hubungin dia via e-mail dan dia setuju untuk dateng. Gue turun ke bawah dulu, ya….” Mita berjalan menuju tangga dengan langkah kelewat gembira. Disapanya kolega yang lain dengan nada sok akrab, sementara yang dipanggil hanya membalas dengan bingung. Begitulah Mita : cuek, putus urat malu, dan pelupa.
Lupa dengan topik yang mereka diskusikan kurang dari lima menit lalu—soal Galih.
Yindi teringat kata-kata Mita. Sahabatnya itu mengenal dirinya dengan sangat baik. Gadis itu bertopang dagu, memandang kosong pada wallpaper monitor komputer bergambar bukit hijau. Pikirannya kembali melayang pada Galih.
***
Dunia Yindi berubah enam bulan yang lalu saat dirinya dan Mita menghadiri reuni akbar SMA mereka. Di antara sapaan dan pelukan dengan teman lama, pandangan Yindi bertemu dengan Galih.
Galih, mantan bendahara OSIS yang digandrungi karena keramahannya. Galih, kakak kelas yang dulu bisa membuat rongga dada Yindi berdegup tiga kali lebih kencang hanya dengan mendengar suaranya.
Cintanya pada Galih perlahan terlupakan setelah pemuda itu resmi menjadi mahasiswa. Yindi yakin perasaannya telah memudar ditelan waktu—tidak pernah tersampaikan. Baginya, Galih hanyalah potongan kisah cinta monyet yang diabadikan dalam buku harian bergambar Candy-Candy. Kenangan manis untuk ditertawakan suatu hari nanti, tidak untuk diharapkan lagi.
Sampai akhirnya, seorang Galih berdiri di hadapan Yindi yang baru memasuki dunia kerja. Saat itu, Yindi tahu bahwa di balik terusan resmi, lipstik merah, dan sepatu pantofel hitam yang dia kenakan, ada seorang gadis berumur 15 tahun yang masih memendam perasaan pada seniornya yang bernama Galih Permana. Detak jantung kala itu mengatakan semuanya.
Sejak malam itu, hari-harinya terasa lebih indah. Kalau dulu dia hanya bisa mengagumi, kali ini nasib berkata lain. Pertemanan mereka berlanjut. Rupanya, salah satu klinik gigi tempat Galih praktik berada tidak jauh dari kantor Lovebirds Publishing. Otomatis, Yindi, Mita, dan Galih sering bertemu saat jam makan siang dan sepulang kantor.
Kedekatan mereka berlanjut sampai akhirnya Mita menyadari bahwa Yindi menyimpan rasa pada sang dokter gigi senior mereka itu. Perlahan, Mita mulai menarik diri, memberi kesempatan pada Yindi dan Galih untuk saling mengenal lebih jauh.
Strategi Mita berhasil. Yindi dan Galih memang menjadi lebih akrab. Mereka mulai memanggil dengan julukan mesra, memberi perhatian ekstra tanpa malu-malu, bertengkar untuk hal-hal sepele, saling melengkapi kalimat satu sama lain, dan menertawai lelucon yang sama. Seperti sepasang kekasih, tapi bukan kekasih. Teman tapi mesra, hubungan tanpa status—begitu orang menyebutnya.
Sungguh, Yindi tidak ingin banyak menuntut. Kalau memang yang ada di hatinya benar adalah cinta, dia ingin mencintai Galih tanpa banyak syarat. Bagai buah simalakama, di sisi lain dia takut perasaannya sia-sia karena tak berbalas, tapi dia juga tidak ingin kehilangan Galih hanya karena tak mau bersabar menunggu laki-laki itu mengambil inisiatif. Hatinya benar-benar tak siap membiarkan lelaki itu pergi. Saat ini, Yindi hanya bisa pasrah. Membiarkan perasaan-perasaan di dalam dirinya itu saling berlomba. Menunggu waktu menentukan siapa yang keluar sebagai juara : Galih, atau egonya.
***
Jarum pendek hampir menunjuk ke angka sepuluh, tapi Mita masih juga belum kembali dari rapatnya. Yindi mengusap mata. Dia mengantuk, entah karena bosan atau karena mendung sedang bergantung pada langit di luar sana.
Ping.
Message tone ponsel Yindi berbunyi, menandakan ada pesan yang masuk. Dengan malas, Yindi mengambil benda tersebut dari dalam tas.
Dari Galih.
———————————————————————–
Galih :
ndi, makan malemnya mau hari ini apa besok?
aku praktik sampe jam 6 nih dari pondok indah
kalau mau malem ini, kamu pulang dulu juga gak apa-apa
nanti aku jemput
———————————————————————–
Yindi :
Terserah kamu mau hari ini apa besok 😛
———————————————————————–
Galih :
yaa biar afdhol sih harusnya hari ini ya 😉
biar pas 25 Juni, kan ngerayain ultah kamu
———————————————————————–
Yindi :
Oke, aku tungguin aja di kantor 🙂
———————————————————————–
Galih :
Oke, doain jalanan agak lowong ya
See you :*
———————————————————————–
Emoticon terakhir yang dikirim oleh Galih membuat Yindi tersenyum lebar. Badannya berguncang karena gembira. Gadis itu menyentuh charm bracelet di pergelangan tangannya. Hatinya berdesir, teringat dengan kejutan manis dari Galih tadi pagi.
“Yindi?”
Suara feminim namun tegas itu mengembalikan Yindi pada kenyataan. Dengan cepat, dia menurunkan ponsel miliknya dan melirik Ibu Inge yang sudah berdiri di belakang gadis itu. Seorang wanita oriental berambut pendek menatap Yindi tajam dari balik kacamata tanpa bingkai. Sebelah tangannya mendekap beberapa jilid naskah. Postur tubuh mungil menyamarkan reputasinya sebagai kepala editor yang paling disegani. Beliau tersenyum ramah, tapi tetap saja mengintimidasi.
“Iya, Bu?” ucap Yindi gugup. Setelah sempat ragu apakah dia harus tetap duduk atau bangkit, Yindi memutuskan untuk berdiri. Terburu-buru, dirapikannya ujung lengan kemeja yang sedikit kusut.
“Pagi-pagi begini kamu senyum-senyum sendiri sambil liat handphone. Apa kamu sehat, Yindi?”
Takut-takut, Yindi melirik atasannya. “I-Iya sehat, Bu. A-ada yang bisa saya bantu?”
“Kamu tinggal di daerah Setiabudi, kan?” tanya Inge dengan nada tegas.
“Iya benar, Bu.”
Setelah mendengar jawaban Yindi, kepala editor tersebut mulai mencari-cari sesuatu di antara naskah dalam dekapannya sambil meneruskan pembicaraan, “Ada penulis, namanya Julien Kim. Sudah hampir setahun yang lalu dia mengirim naskah via pos. Karyanya ternyata cukup menarik untuk diterbitkan. Memang ada kesalahan dari pihak kita yang terlalu lama merespons, tapi staff yang lain sudah coba menelepon nomor yang dicantumkan, selalu saja tidak aktif. E-mail tidak dibalas.”
Inge memberikan jilid naskah setebal kurang lebih 150 halaman A4 kepada Yindi. Naskah Julien Kim. Secarik kertas post-it berwarna pink bertuliskan nomor telepon, e-mail, dan alamat rumah tertempel pada cover, menutupi sebagian dari judul naskah tersebut.
“Seperti yang kamu lihat, Julien Kim tinggal di Setiabudi. Boleh saya minta tolong kamu untuk memberitahu dia soal tawaran kita?”
Yindi membaca tulisan pada post-it tersebut dengan seksama.
Julien Kim 08941112xxx Jalan Setiabudi Timur 3 no. 21 kamar 9 Jakarta Pusat |
Hey, ini kan…
“Ini jalan yang sama dengan tempat saya tinggal….”
“Bagus. Kalau begitu urusan ini saya serahkan sama kamu. Saya tunggu follow-up kamu secepatnya, Yindi.” Setelah menepuk pundak gadis itu, Ibu Inge berjalan cepat menuju mejanya di ujung ruangan.
Sekarang Yindi bisa bernapas lega. Dipergoki atasannya saat sedang membalas pesan pribadi di jam kantor bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Dia bergegas menyimpan naskah Julien Kim di dalam tas. Setelah menenangkan diri, secara otomatis pikirannya kembali pada Galih. Rasa bahagia kembali menjalari setiap bagian tubuhnya, tapi kali ini, dia memastikan senyumnya tidak menarik perhatian kepala editornya lagi.
***
“Heran, deh. Kenapa gue yakin banget ultah lo itu 25 Juli, ya?
Yindi memutar bola matanya. Bukan Mita namanya kalau otaknya tidak terus-menerus mengacaukan informasi. Percaya atau tidak, ini bukan kali pertama Mita melupakan bulan ulang tahunnya. “Juni, Nyet,” koreksi Yindi malas.
Sejenak, Mita terlihat berusaha keras untuk mengingat, lalu mengangkat bahu tanda tak peduli. Diputarnya keran pada wastafel di hadapannya. Bunyi aliran air seketika bergema pada dinding-dinding toilet kantor tempat mereka berada.
Yindi menyimpan lip gloss ke dalam tas kosmetik kecil, lalu mengambil sebuah sisir bergigi rapat. Dia merapikan rambutnya yang lurus sebahu dengan tekstur halus, membuatnya selalu terlihat seperti habis keramas.
“Jadi itu gelang hadiah dari Galih?” tanya Mita dengan senyum penuh arti.
Yindi mengangguk mantap, digoyangkannya pergelangan tangan kirinya di udara, memperdengarkan bunyi gemerencing yang tak kunjung membuatnya bosan.
“Terus, malam ini diajakin Galih candle light dinner dimana, Ndi?”
“Apaan sih…, palingan makan shabu-shabu….”
Mita membuka mulutnya takjub. “Gila ya si Galih. Gak bosen, ya?”
Yindi tersenyum maklum. Pujaan hatinya itu memang penggemar masakan sehat dari negeri matahari terbit. Dari seluruh kencannya bersama Galih, hampir delapan puluh persen mereka habiskan di restoran Jepang.
“Udah tau lo ultah, bukannya diajak makan romantis malah makan rebusan lagi. Lama-lama dia yang gue rebus.”
Yindi tergelak seraya meletakkan sisir miliknya pada tempat semula.
“Kok malah ketawa sih, Nyet? Sekali-kali lo dong yang pilih tempat. Sky dining kek, masakan Perancis kek, biar Galih ada mood buat nembak. Gimana dia bisa napsu ma lo kalau tiap kali lo kalah menarik sama daging rebus?”
Seperti biasa, Mita tidak bisa berhenti berkomentar soal hubungan pribadi Yindi. Perempuan itu menutup keran dengan kasar, lalu menerima dua lembar tisu yang disodorkan Yindi.
“Emang ngaruh gitu?” respons Yindi sekenanya. Dia meluruskan rok span-nya yang berwarna abu-abu terang.
“Sebenernya gue juga asal kasih ide aja, sih. Gak expert juga gue untuk soal begini….”
Yindi mengernyit tidak setuju. Diliriknya sekali lagi sahabatnya yang bertubuh tinggi semampai itu. Sejak zaman sekolah dulu, Mita sudah menjadi idola. Status jomlo memang hampir tak pernah disandangnya, namun belum pernah ada cowok yang bisa benar-benar menaklukkan hati Mita. Selama setahun ini saja, Mita sudah dekat dengan banyak pria. Untung saja sahabatnya itu tidak menyimpan rasa pada Galih, kalau tidak, entah bagaimana Yindi harus bersaing dengan seorang Paramita Tobing.
Yindi memandang bayangannya sendiri. Seorang gadis dengan tinggi standar dan bermata sedikit sayu balas menatapnya. Hidungnya mancung, meskipun cupingnya sedikit tebal dan ujungnya melengkung ke bawah. Kulit Yindi berwarna pucat, begitu pula dengan bibirnya. Kalau tidak sedikit diberi pemanis, wajah Yindi akan seperti pasien rumah sakit. Memang tidak buruk, dan Yindi selalu bersyukur dengan apa yang diturunkan kepadanya. Tapi kalau boleh jujur, rasanya sulit sekali untuk tetap percaya diri saat dia harus berdiri berdampingan dengan Mita.
“Galih bakal jemput jam berapa, Ndi?”
“Paling bentar lagi. Tadi sih dia telfon, katanya satu pasien lagi, abis itu langsung jemput gue.”
“Di luar ujan, lho.” Mita menunjuk sebuah jendela kecil buram di ujung lorong toilet.
Yindi menengok ke arah yang sama, wajahnya berubah cemas. “Iya gue tau, semoga aja gak makin deres.”
“Yaudah, gue duluan, ya? Si Aryo tiba-tiba minta ketemuan.” Mita berkata malas, menyebut nama seorang pria yang baru dipacarinya selama sebulan ini. Sahabat Yindi itu berjalan santai dan menghilang di balik pintu toilet.
Yindi kembali mematut dirinya di depan kaca. Tiba-tiba ponsel Yindi berdering, di layarnya terpampang nama Galih beserta foto seorang pria tampak samping yang sedang tersenyum.
“Halo?” jawab Yindi gugup.
“Yindi? Aku kedatengan kerabat dari luar kota. Mama suruh aku jemput ke bandara. Makan malamnya kita undur besok, gimana?”
***
Dua jam kemudian. Setelah berjuang menembus kemacetan Jakarta, akhirnya Yindi berhasil pulang. Seakan meledek, rintik hujan turun semakin deras saat Yindi keluar dari taksi. Tidak cukup dengan batalnya rencana makan malam bersama Galih, alam seakan ingin membuat Yindi merasa lebih buruk lagi dengan macet, argo taksi yang membengkak, dan cuaca yang kurang peka.
Setelah membuka payung miliknya, Yindi bergegas menjejakkan kaki pada jalan beraspal yang basah. Ditutupnya pintu taksi dengan keras—setengah melampiaskan kekesalan. Diiringi deru mesin mobil yang semakin menjauh, Yindi mengorek tas dengan satu tangan, mencari-cari kunci pagar rumahnya. Tanpa sadar, ujung jarinya menyentuh naskah milik Julien Kim. Yindi hampir saja lupa untuk mengunjungi tempat tinggal penulis yang satu itu. Kalau sampai dia tidak memeriksa alamat tersebut, bisa habis dia diomeli kepala editornya.
Yindi mengeluarkan naskah Julien Kim seraya berjalan beberapa meter melewati pagar miliknya. Langkahnya berhenti di depan sebuah bangunan dua tingkat dengan gaya minimalis—tepat disamping rumahnya.
Jalan Setiabudi Timur 3, nomor 21, kamar nomor 9. Gadis itu membaca dalam hati alamat pada post-it lalu mendongak dan mengedarkan pandangan. Ditelitinya sebuah rumah berdinding abu-abu dengan jendela-jendela besar berkusen senada. Di lantai duanya yang terhubung dengan teras sambung, berjejer banyak pintu. Pagarnya terbuat dari kayu, diapit oleh tembok bata merah. Dua deret angka yang terbuat dari logam terpajang di sana, nomor 21.
***
Yindi mendorong pagar kayu yang dibiarkan tidak terkunci, lalu melangkahkan kaki memasuki garasi rumah tersebut yang dinaungi atap carport berbahan baja ringan. Yindi melipat payungnya seraya mengedarkan pandangan. Di sudut kanan terparkir dua mobil dan beberapa motor, sementara taman kecil menguasai sisi yang berlawanan. Aroma tanah basah menguar dari sela-sela paving berlubang yang ditumbuhi rumput-rumput kecil.
Seorang laki-laki tambun dengan rambut penuh uban keluar dari sebuah ruangan yang berfungsi sebagai pos jaga. Kaus putih bertuliskan ‘Bento’ dengan vektor wajah Iwan Fals sangat kontras dengan warna kulitnya yang gelap.
“Cari siapa, Neng?” tanya si penjaga dengan suaranya yang serak.
“Malam, Pak…, saya cari… kamar nomor 9?” jawab Yindi ragu.
“Mau ketemu mas Naren, ya?”
Yindi tidak tahu siapa Naren, tapi mungkin dialah Julien Kim yang dia cari. Awalnya dia mengira Julien Kim adalah wanita, tapi tak menutup kemungkinan bahwa si penulis adalah pria.
“Ehm… iya, Pak.”
“Naik aja, terus belok kanan. Ketok pintu paling ujung. Orangnya ada, kok.” Si suara serak menunjuk pada sebuah kamar di sudut lantai dua.
“Ooh…, terima kasih, Pak.”
Yindi bergegas menuju tangga di tengah bangunan. Saat kakinya memijak anak tangga pertama, seorang cowok berwajah oriental dengan rambut pirang bergerak turun dengan terburu-buru dan menabraknya. Untung saja tidak ada yang terluka, hanya naskah Julien Kim yang terjatuh dengan pasrah di lantai.
“Pake mata, dong!” hardik si rambut pirang dengan ketus. Suaranya begitu melengking dan memekakkan telinga.
Sejenak pandangan keduanya bertemu. Pria bermata sinis itu segera melewati Yindi—dengan cepat menghilang di balik pagar kayu. Yindi berdecak sebal, diambilnya naskah Julien Kim yang menjadi korban, memilih untuk kembali fokus pada tujuannya semula.
Gadis itu menaiki tangga, lalu mengikuti arah yang ditunjukkan penjaga kos barusan. Udara dingin bertiup di sepanjang balkon, namun untungnya hujan tidak sampai membasahi lantai. Yindi melewati beberapa pintu, dan berhenti di depan kamar kos yang dia cari. Sepotong kertas laminating bertuliskan angka “9” menempel di kusen atas pintu. Dari dalam ruangan terdengar suara kipas angin yang berisik berpadu dengan alunan lagu dari grup Queen. Lampu kuning bersinar samar dari dalam jendela yang ditutupi tirai biru bermotif bunga. Yindi sempat bimbang, namun memutuskan untuk mengetuk pintu kamar tersebut.
Tok tok tok,
Tidak ada jawaban. Padahal jelas-jelas ada orang di dalam. Yindi memperkeras ketukannya.
TOK TOK TOK,
“Siapa?” Sebuah suara bertanya dengan nada jengkel.
Yindi merasa sungkan, takut mengganggu si pemilik kamar. “Maaf, saya mencari Julien Kim.”
“Cari siapa?!” Kali ini si pemilik kamar memutuskan untuk mematikan alunan musiknya.
“Julien Kim!”
Sesaat tidak terdengar suara apa pun dari kamar itu, lalu Yindi mendengar derap langkah yang mendekat. Jendela yang tadinya hanya bersinarkan seberkas cahaya kuning remang sekarang berpendar terang setelah si pemilik kamar menyalakan lampu utama.
Klik, pintu yang barusan diketuknya membuka ke arah dalam. Yindi mengerjapkan mata. Di hadapannya berdiri seorang pria tinggi jangkung. Rambutnya lurus melewati telinga, panjang tidak beraturan, hanya diikat asal-asalan dengan gaya kuncir kuda. Rahangnya tajam dan sempit, kulitnya pucat, membuat wajahnya terlihat sangat tirus. Tapi yang paling mengejutkan adalah, lelaki tersebut hanya mengenakan celana jeans yang menggantung tepat di pinggul. Di badannya yang kurus namun atletis, melintang sebuah tato bergambar tiga bintang berjejer, tepat di dada kiri.
Tiba-tiba Yindi lupa cara bernapas.©2014AmandaBahraini